Ibu Rumah Tangga Bukan Simbol Kegagalan Perjuangan Kartini fadjar April 22, 2019

Ibu Rumah Tangga Bukan Simbol Kegagalan Perjuangan Kartini

Listyo Yuwanto
Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

Cita-cita Kartini, memperjuangkan persamaan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan terutama pendidikan dan pekerjaan. Perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama besarnya dengan laki-laki dalam mencapai cita-citanya. Melalui pendidikan perempuan menempa kemampuan, jejaring, dan kesempatan untuk mencapai cita-cita. Beragam cita-cita yang digantungkan antara lain menjadi perempuan karir karena semakin sesuai dengan tuntutan masa. Namun tidak sedikit perempuan yang kemudian dalam menempuh pendidikan masih memiliki cita-cita menjadi ibu rumah tangga. Beragam pendapat bermunculan ketika mendengar cita-cita seorang perempuan yang menempuh pendidikan terutama sampai di pendidikan tinggi ingin menjadi ibu rumah tangga. “Hanya untuk menjadi ibu rumah tangga? Kenapa harus bersekolah tinggi? Demikian umumnya yang terpikirkan. Apakah perempuan yang menempuh pendidikan tinggi dan memiliki cita-cita menjadi seorang ibu rumah tangga merupakan sebuah simbol kegagalan perjuangan Kartini? Jawabnya tidak, apakah salahnya seorang perempuan memiliki cita-cita menjadi ibu rumah tangga dengan tujuan mewujudkan keluarga yang berfungsi dengan baik.

Tujuan menempuh pendidikan tinggi memang bertujuan membekali kemampuan kognitif, afektif, dan konatif. Dengan bekal kemampuan tersebut maka seorang perempuan juga dapat menerapkan kemampuan-kemampuan tersebut dalam kehidupan rumah tangganya secara penuh dengan memilih tidak menjadi perempuan karir. Terdapat keuntungan seorang perempuan memilih menjadi ibu rumah tangga di masa sekarang ini. Keluarga adalah pondasi awal bagi anak-anak untuk dapat berfungsi di masyarakat baik secara personal, sosial, dan profesional. Dibutuhkan adanya peran orangtua yang optimal dalam mewujudkan hal tersebut. Salah satu peran orangtua adalah menjalankan peran family functioning.

Family functioning adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi atau menjalankan fungsinya sehingga setiap anggota keluarga dapat mencapai perkembangan fisik, psikologis, dan sosial (Epstein, Baldwin, Bishop, 1983). Family functioning terdiri atas problem solving, communication, roles, affective responsiveness, affective involvement, behavior control, dan general functioning (Epstein, Baldwin, Bishop, 1983).

Problem solving adalah kemampuan keluarga dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah yang terjadi secara efektif. Communication adalah kemampuan keluarga dalam membangun komunikasi yang hangat baik secara verbal dan non verbal antar anggota keluarga. Roles adalah kemampuan setiap anggota keluarga menjalankan peran masing-masing yang sesuai. Affective responsiveness adalah kemampuan keluarga untuk merespon secara tepat terhadap perilaku setiap anggota keluarga. Affective involvement adalah kemampuan keluarga menunjukkan ketertarikan dan penghargaan terhadap perilaku atau aktivitas yang dikerjakan setiap anggota keluarga. Behavior control adalah kemampuan keluarga untuk membuat aturan, menerapkan, dan konsekuensinya dalam mengatur perilaku setiap anggota keluarga. General functioning adalah keseluruhan fungsi keluarga yang merupakan ringkasan dari semua bentuk keberfungsian keluarga sebelumnya mulai dari problem solving hingga behavior control.

Secara naluriah, perempuan lebih dapat berfungsi menjalankan peran sebagai agen optimalisasi family functioning dibandingkan laki-laki. Namun bukan berarti laki-laki tidak dapat menjalankan peran tersebut, karena peran laki-laki juga dibutuhkan untuk menyeimbangkan peran perempuan dalam keluarga. Di tengah masyarakat kita yang masih menekankan pada budaya patriarki dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga, maka masih memungkinkan peran besar perempuan dalam keluarga sehingga pilihan menjadi ibu rumah tangga secara penuh masih menjadi pilihan yang secara normatif dapat diterima secara positif.

Setiap pilihan terdapat sisi positif dan negatifnya, melalui artikel ini mencoba untuk melihat sisi positif perempuan yang menempuh pendidikan tinggi dan memilih menjadi seorang ibu rumah tangga. Mari kita apresiasi pilihan tersebut dan tidak menggunakannya sebagai simbol kegagalan perjuangan Kartini.