Mengapa Cacat Moral Lebih Mudah Diterima Dibandingkan Cacat Fisik? fadjar January 16, 2017

Mengapa Cacat Moral Lebih Mudah Diterima Dibandingkan Cacat Fisik?

Listyo Yuwanto

Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

Penyandang disabilitas seringkali dipandang sebagai komunitas yang marginal sehingga terpinggirkan hak-haknya yang berdampak pada kurangnya kepedulian dan kesadaran orang lain terhadap kehadiran mereka. Penyandang disabilitas memiliki dinamika kehidupan yang istimewa dengan kondisi yang dialami. Kekurangan yang tidak pernah diharapkan sebagai bentuk upaya penyandang disabilitas untuk dapat membuat kehidupan mereka menjadi harmonis. Penyandang disabilitas tidak hanya menjadi yang harus dikasihani, tetapi sosok yang dikasihi, layaknya penyandang disabilitas mengasihi orang lain. Banyak penyandang disabilitas yang tidak dibantu dalam hidupnya, namun mereka membantu orang lain. Penyandang disabilitas juga mampu menunjukkan kelebihan diri sehingga tidak hanya dipandang sebagai individu yang lemah. Penyandang disabilitas pada gilirinnya dapat menjadi sumber insipirasi dalam menjalani kehidupan bagi siapa yang mau belajar kepada mereka.

Salah satu pembelajaran yang dapat kita petik adalah dari sebuah tulisan yang terpampang di sebuah Pusat Rehabilitasi Penyandang Disabilitas “Mengapa Cacat Fisik Tidak Diterima Tetapi Cacat Moral Diterima. Tulisan yang memiliki makna dalam di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang makin krisis moral. Tulisan tersebut merupakan analogi bahwa lebih mudah menerima orang yang memiliki moralitas buruk dibandingkan menerima penyandang disabilitas. Tulisan tersebut juga merupakan hasil pengalaman nyata seorang penyandang disabilitas dalam menjalani kehidupannya hingga akhir hayatnya. Ilustrasi penjelasannya sebagai berikut.

Penyandang disabilitas dengan segala kekurangannya seringkali tidak diterima masyarakat karena dianggap tidak dapat berfungsi dengan baik dalam kehidupan. Dengan kekurangan yang dimiliki umumnya ada perasaan malu dan rendah diri sehingga penyandang disabilitas berusaha untuk membekali dirinya dengan serangkaian proses pemulihan diri, pemberdayaan diri, okupasi terapi, dan bahkan proses fisioterapi. Mereka yang telah terbentuk motivasi untuk menyatakan pada diri sendiri, dan pada orang lain bahwa “MESKIPUN KEADAANKU BEGINI, AKU PUN BISA” dapat dengan lapang dada menerima realita kehidupan. Meskipun sudah seperti itu, tidak mudah bagi penyandang disabilitas untuk dapat diterima di masyarakat. Masih terdapat penolakan-penolakan untuk dapat bekerja di suatu instansi, sekolah umum, ataupun dalam relasi sosial di kehidupan sehari-hari hanya karena cacat secara fisik.

Bandingkan dengan orang-orang yang memiliki cacat moral, seperti orang-orang yang suka mencaci maki orang lain, merendahkan orang lain, memanfaatkan orang lain untuk kepentingan pribadi. Di level yang lebih besar mereka yang melakukan korupsi, sering bolos kerja atau tidak disiplin, dan memecah belah masyarakat lebih mudah diterima di masyarakat. Mereka dapat bekerja di suatu institusi, mendapatkan gaji yang manusiawi, dapat bersekolah di manapun yang mereka inginkan, dan lebih bebas dalam pergaulan di masyarakat. Sudah banyak contoh kasus di negara ini yang menunjukkan hal demikian. Mereka yang korupsi dalam waktu singkat seolah sudah dilupakan masyarakat sehingga tetap dapat menjalani kehidupan seperti biasanya. Demikian juga sebuah contoh kasus video porno, kasus pemerasan, kasus pembunuhan, dan yang serupa. Mungkin masyarakat tetap ingat tetapi seolah ya sudahlah itu masa lalu dan sekarang sudah berubah. Bandingkan yang dialami penyandang disabilitas, karena kekurangan fisik mereka akan menjadi stigma dalam waktu yang lama bahkan selama kehidupan mereka. Sebuah renungan bagi kita, dengan cacat fisik yang mereka miliki yang tidak merugikan orang lain dan hanya karena berbeda dengan orang yang tidak mengalami cacat fisik, mereka mendapatkan perlakuan yang tidak setara dengan orang yang cacat moral tetapi tidak mengalami cacat fisik.