Kreativitas Pengungsi Merapi dalam Proses Rekonstruksi fadjar December 4, 2012

Kreativitas Pengungsi Merapi dalam Proses Rekonstruksi

Listyo Yuwanto

Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

Dua tahun sudah letusan gunung Merapi terjadi namun dampaknya masih dirasakan penduduk sekitar Merapi termasuk mantan pengungsi yang tinggal di Hunian Sementara (Shelter) Gondang 1 Wukirsari Cangkringan Sleman. Saat ini mereka baru saja menempati hunian tetap sehingga secara fisik kondisi mereka lebih nyaman dibandingkan saat di shelter. Adanya rumah permanen membuat pengungsi merasa lebih aman ketika di rumah saat hujan deras ataupun untuk beraktivitas.

Psikologi bencana mengenal tahapan bencana yaitu predisaster, heroic, honeymoon, disillusionment, dan reconstruction. Saat ini pengungsi Merapi berada pada tahapan reconstruction, yaitu memulai segala sesuatunya dari awal, memulai kehidupan baru setelah bencana yang menghancurkan berbagai aspek kehidupan pengungsi. Saat tinggal di shelter, fase rekonstruksi sudah dimulai. Dengan tinggal di hunian tetap fase rekonstruksi ini menjadi tahapan pemantapan. Di hunian tetap, masa depan para pengungsi digantungkan dan dimulai untuk mencapai kondisi kehidupan yang lebih baik. Salah satu modal yang terbukti penting untuk proses rekonstruksi adalah kreativitas.

Tulisan ini menggambarkan tentang kreativitas pengungsi Merapi yang pernah tinggal di shelter Gondang 1 Wukirsari Cangkringan Sleman Yogyakarta. Kreativitas pengungsi Merapi ini menjadi salah satu tonggak tetap bertahannya roda perekonomian pengungsi saat kondisi menekan. Keterbatasan dan keinginan untuk bertahan hidup menjadi dua faktor yang melandasi munculnya kreativitas pengungsi Merapi. Tanpa adanya tekanan hidup tersebut, para pengungsi akan tetap hidup nyaman sehingga ide-ide kreatif tidak akan pernah muncul.

Pengungsi Merapi tidak pernah membayangkan akan menjadi seorang wirausahawan di bidang olahan makanan saat tinggal di rumah yang dulu mereka tempati. Saat mengalami bencana dan adanya pendampingan dari pihak-pihak yang memiliki kepedulian, mereka mampu berwirausaha dengan membuat olahan makanan seperti bakpia telo, stik cabai, dan beberapa olahan makanan khas lereng Merapi.

Beberapa peternak sapi yang dulunya hidup dari mata pencaharian memeras susu dan daging sapi, sekarang menjadi peternak lele ataupun jamur. Lele dan jamur hasil ternaknya diolah menjadi berbagai makanan siap saji ataupun dalam bentuk kemasan. Saat proses rekonstruksi mereka berupaya kembali ke pola perekonomian seperti sebelum bencana Merapi dengan menjadi peternak sapi perah, namun mereka punya penyambung perekonomian sampingan yaitu budidaya lele dan jamur selain usaha di bidang wisata.

Salama ini tidak ada koperasi syariah, saat bencana terinspirasi dari beberapa pengungsi untuk membentuk koperasi sehingga hasil olahan makanan ataupun berbagai kreativitas ditampung dan dipasarkan secara profesional. Sebelum bencana tidak terpikirkan untuk mengadakan berbagai macam pelatihan berbasis Internet, dengan adanya bencana dan pendampingan pengungsi membuat merapi media center dan web untuk promosi wisata shelter ataupun huntap dan bekas rumah mereka di lereng merapi.

Terakhir adanya majalah yang dituliskan oleh kaum perempuan pengungsi bernama Srikandi Merapi. Isi dari majalah tersebut ditulis oleh para ibu dan remaja putri, dengan hanya sedikit pendampingan dan mereka bergerak untuk berwirausaha dalam bentuk media. Majalah yang mereka hasilkan didistribusikan secara komersial sehingga menghasilkan pendapatan yang memberikan manfaat bagi mereka. Peralatan yang digunakan untuk mendapatkan bahan tulisan sangat sederhana, salah satu contohnya semua dokumentasi foto diambil menggunakan kamera telepon genggam.

Tidak terbayangkan bagaimana cara bertahan hidup dengan kondisi bencana tanpa modal kreativitas. Di balik bencana pasti ada berkah, begitu model afirmasi diri yang digunakan pengungsi Merapi.