Mitos: 1 Suro hingga minuman serbuk fadjar November 16, 2012

Mitos: 1 Suro hingga minuman serbuk

1 Suro sebagai tahun baru Jawa atau 1 Muharram sebagai tahun baru Islam bermula pada pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 Masehi). Pada saat itu masyarakat Jawa mengenal Tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu. Untuk memperluas penyebaran Islam di Tanah Jawa, Sultan Agung memadukan tradisi Islam dengan tradisi Jawa dengan menetapkan 1 Muharram sebagai tahun baru Jawa. Sintesis kebudayaan Islam dengan Kebudayaan Jawa, pada kenyataannya berjalan lambat dan tertatih-tatih. Hal tersebut terjadi karena akar kebudayaan Jawa-Hindu sudah sampai pada suatu taraf fusi yang mendalam dengan puncak prestasi yang luar biasa pada kerajaan Singasari, Mataram, hingga Majapahit. (Sachari, 2001:96). Kepercayaan Jawa Kuno tetap dipertahankan hingga saat ini. Hal ini salah satunya ditunjukkan dengan adanya kepercayaan yang didasarkan pada mitos dalam menyambut bulan Suro di tanah Jawa.

Salah satu kepercayaan masyarakat Jawa dalam menyambut bulan Suro adalah larung sesaji di Laut Selatan Jawa. Larung Sesaji merupakan salah satu prosesi menghanyutkan Jolen atau sesaji ke tengah Laut. Menurut kepercayaan, upacara Larung sesaji ini adalah bentuk rasa syukur kepada Tuhan dan menghormati penguasa laut selatan yaitu Nyai Roro Kidul. Nelayan percaya, sedekah laut bisa menghindarkan diri dari kecelakaan laut. Selain itu, nelayan berharap agar di tahun mendatang hasil tangkapan ikan akan naik sehingga bisa meningkatkan pendapatan keluarga.

Sosok Nyai Roro Kidul sendiri sangat dihormati oleh nelayan di pantai selatan. Berbagai macam hal dikaitkan dengan cerita mistis keberadaan ratu pantai selatan Nyai Roro Kidul. Seperti kepercayaan tidak boleh memakai baju berwarna hijau, karena akan ditelan ombak, apabila korban laki-laki akan dijadikan menantu dan apabila perempuan akan dijadikan dayang-dayang. Apabila sedang berlayar ditengah laut dan mendengar suara gamelan kebo giro, harus segera mencari daratan karena kanjeng Nyai sedang mengunduh mantu, kita tidak boleh mengganggunya. Di bulan Suro, masyarakat percaya sebagai bulan yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur, dan introspeksi untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa, bulan Suro sebagai awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan yang sakral atau suci sehingga tepat untuk melakukan berbagai macam ritual, termasuk menghormati Nyai Roro Kidul.

Kepercayaan adanya Nyai Roro Kidul di pantai selatan Jawa disebut dengan Mitos. Mitos menampakkan dirinya pada tingkatan semiotik lapis kedua, yang disebut tingkat konotatif. Namun, tingkatan tanda yang penandanya mempunyai tingkatan konvensi atau kesepakatan yang tinggi ditengah masyarakat dan sebaliknya memiliki tingkat keterbukaan yang sangat rendah (arbiter, terbuka, plural dan konotatif). Menurut John Fiske (2012:145) Mitos memistifikasi atau mengaburkan asal-usul mereka, dimensi politis atau sosial mereka. Mitos menambatkan atau mematok makna yang sebetulnya mengapung bebas dan terbuka menjadi makna yang pasti dan terpatok. Mitos mengalamiahkan sesuatu yang arbiter. (Piliang, 2010:353). Mitos-mitos tersebut hanya dapat hidup dan diwariskan melalui semacam kendaraan , yaitu bahasa dan tanda. Nyai Roro Kidul akan tetap hidup dari cerita yang turun temurun ditengah masyarakat tanpa kita ketahui apakah memang benar ataupun tidak adanya.

Didalam masyarakat kapital, mitos dapat dihidupkan dengan melekatkanya pada produk. Produk dijual dengan strategi pemasaran tertentu dengan memperhatikan segementasi, posisioning, target, dan diferensiasinya. Dalam pemasaran, menurut Philip Kotler (2011) positioning adalah cara yang dilakukan oleh marketer untuk membangun citra atau identitas di benak konsumen untuk produk, merk atau lembaga tertentu. Sedangkan menurut Rhenald Khasali (1998) Strategi komunikasi untuk masuk kedalam candela otak konsumen agar produk/merek/nama mengandung arti tertentu yang didalam beberapa segi mencerminkan keunggulan terhadap produk/merek/nama lain dalam bentuk hubungan asosiatif. Sehingga, Positioning adalah membangun persepsi relatif satu produk dibanding produk lain. Karena penikmat produk adalah pasar, maka yang perlu dibangun adalah persepsi pasar.

Sebagai contoh, sebuah produk minuman serbuk memposisikan dirinya sebagai minuman dari Jeruk asli. Minuman serbuk ini mampu memasukkan nilai-nilai simbolik bahwa produk ini berasal dari jeruk asli kedalam iklan mereka. Seiring berjalannya waktu, dengan mempertahankan mutu produk, harga, kemampuan daya beli sasaran, persaingan, maupun situasi politik, iklan yang kontinyu mampu mempertahankan posisi produk ini sebagai market leader. Proses ini sangat panjang untuk meyakinkan bahwa produk minuman serbuk ini memang berasal dari jeruk asli, karena iklan tidak serta merta mampu menaikkan penjualan, namun produk minuman serbuk ini memang mampu menjaga kepercayaan konsumen dalam menjaga persepsi akan produknya.

Namun apakah betul minuman serbuk tersebut berasal dari jeruk asli? Atau dapat memberikan asupan gizi vitamin C? Bukankah sebenarnya produk ini berupa serbuk yang mengandung perisa jeruk? Sebenarnya belum ada yang membuktikan. Melalui iklan, masyarakat mempercayai bahwa minuman serbuk ini berasal dari buah jeruk asli, Hal ini telah terbukti dari penjualan dan posisinya sebagai market leader. Menurut Sumbo Tinarbuko (2009:3), bahwa periklanan merupakan usaha untuk mempengaruhi kelompok masyarakat terhadap suatu produk dengan menonjolkan kelebihannya untuk proyeksi jangka panjang. Iklan mampu melanggengkan kepercayaan terhadap produk, kepercayaan tersebut adalah mitos, mitos mengandung sebuah ideologi.

Ditulis oleh Guguh sujatmiko,S.T. , Dosen Fakultas Industri Kreatif Universitas Surabaya

Rujukan:

  • Barthes, Roland. 1998. The Semiotic Challenge. New York: Hill and Wang
  • Eco, Umberto. 1979. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press
  • Fiske, John. 2005 Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Penerjemah Yosal Iriantara dan Idi Subandy Ibrahim. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra, buku asli diterbitkan tahun 1990
  • Hoedoro Hoed, Benny. 1994. “Dampak Komunikasi Periklanan, Sebuah Ancangan dari segi Semiotik:. Jurnal Seni BP Yogyakarta IV/2
  • Kasali, Rhenald. 1998. “Membidik Pasar Indonesia Segmentasi, Targeting, Positioning”. Indonesia: Gramedia Pustaka Utama
  • Kotler, Philip. 2008. “Prinsip-prinsip pemasaran Jilid 1”. Indonesia: Erlangga
  • Sachari, Agus. 2001. “Desain dan Dunia Kesenirupaan Indonesia dalam Wacana Transformasi Budaya. Bandung: ITB
  • Tinarbuko, Sumbo. 2009. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra