Analisis Kebiasaan Bermain Petasan di Bulan Ramadhan fadjar July 24, 2012

Analisis Kebiasaan Bermain Petasan di Bulan Ramadhan

Listyo Yuwanto

Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

Bulan Ramadhan merupakan bulan penuh berkah bagi umat muslim, bulan yang harus dihidupkan dengan kekhusyukan beribadah. Di malam-malam bulan Ramadhan, masjid-masjid ramai terisi jamaah untuk menjalankan ibadah sholat Tarawih, suara Tadarus Al Quran berkumandang menambah suasana religius bulan Ramadhan. Namun, saat memasuki bulan Ramadhan suara petasan yang memekakkan telinga juga mulai bermunculan. Mereka yang memainkan petasan mendatangkan kesenangan bagi pelakunya, namun dibalik perilaku tersebut terdapat hal-hal negatif yang dapat ditimbulkannya.

Beberapa dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari bermain petasan antara lain ancaman ledakan petasan yang dapat mengakibatkan luka secara fisik. Beberapa data tahun terakhir tentang korban petasan juga sudah ada. Suara petasan yang memekakkan telinga juga berpotensi membuat terkejut orang-orang yang sedang lelap tidur ataupun beristirahat karena bunyi petasan yang tiba-tiba, dan dapat mengancam keselamatan jiwa orang lain yang memiliki gangguan jantung ataupun yang tidak terbiasa mendapatkan kejutan seperti suara petasan. Terutama bermain petasan di jalan yang tentunya dapat mengganggu pengendara di jalan. Hal-hal ini seringkali diabaikan oleh orang-orang yang bermain petasan. Demi kesenangan pribadi maka orang lain dirugikan. Apakah seperti ini yang namanya berkah bulan Ramadhan? Bulan suci umat Muslim akhirnya juga dinodai oleh perilaku negatif dan pelakunya orang-orang yang mengejar kesenangan pribadi.

Pertanyaan yang muncul apakah tidak ada larangan bermain petasan ataupun larangan berjualan petasan? Jawabnya sudah ada larangan, bahkan sudah ada peraturan menjual petasan yang dapat meledak dan menimbulkan bunyi dilarang diperjual belikan, bahkan penjual dan penyulut petasan juga diancam hukuman. Namun kenapa sampai saat ini perilaku menyalakan petasan terus terjadi? Jangan terlalu menyalahkan atau menggantungkan kondisi ini pada pihak eksternal seperti pembuat atau penjual petasan bahkan pemerintah. Bagaimana dengan diri internal sebagai pelaku? Jawabnya adalah karena kesadaran diri yang kurang dan pemaknaan merayakan sesuatu secara keliru yang sudah turun temurun.

Bulan Ramadhan seharusnya diisi dengan peningkatan ibadah sehingga kesadaran akan hal-hal yang sifatnya negatif perlu ditingkatkan untuk berubah menjadi lebih positif. Perlu adanya kesadaran bahwa memainkan petasan hanya merupakan kesenangan sesaat dan kurang bermanfaat baik bagi diri sendiri ataupun orang lain. Seharusnya kita tidak boleh merugikan orang lain itu sebagai salah satu bentuk ibadah dalam relasi dengan orang lain di dunia. Bermain petasan dapat dilakukan kapanpun tidak harus menunggu momen bulan Ramadhan ataupun Idul Fitri dan di tempat yang tepat sehingga tidak mengganggu orang lain. Sangat keliru bila bermain petasan di bulan Ramadhan dianggap sebagai tradisi. Hal ini disebabkan karena kebiasaan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Orangtua memiliki peran yang besar untuk mencegah kebiasaan bermain petasan dianggap sebagai tradisi. Orangtua perlu memberikan psikoedukasi bahwa bermain petasan tidak memberikan manfaat positif bagi anak-anak. Selain itu orangtua juga harus memberikan contoh untuk tidak bermain petasan. Perilaku orangtua adalah contoh terbaik bagi anak-anak. Orangtua jangan hanya sekadar memberikan materi kepada anak-anak dalam bentuk uang sebagai kompensasi cara membahagiakan anak-anak. Anak-anak masih perlu kontrol orangtua demikian juga remaja sehingga bermain petasan di bulan Ramadhan tidak lagi menjadi tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi. Semoga tulisan ini dapat menstimulasi pembaca terkait dengan perilaku bermain petasan.