ACFTA, Kelistrikan, dan Industri Manufaktur fadjar April 25, 2011

ACFTA, Kelistrikan, dan Industri Manufaktur

Oleh: Yuwono B Pratiknyo, ST, MT

Dosen pada Program Studi Teknik Manufaktur

Universitas Surabaya

Bangsa Indonesia mulai kelabakan dengan membanjirnya produksi China yang masuk ke Indonesia akibat perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN-CHINA atau disebut ACFTA. Bagi Indonesia, perdagangan yang tidak fair menjadi alasan utama membanjirnya produk China di Indonesia sehingga neraca perdagangan Indonesia dan China mengalami defisit. Namun, dikala Indonesia mengalami defisit mengapa justru Singapore, Malaysia, Brunai dan bahkan Pilipina memiliki neraca perdagangan yang surplus dengan China?.”

Berbicara mengenai ACFTA maka tidak akan terlepas dengan Kelistrikan dan Industri Manufaktur. Kelistrikan/ketersediaan energi dan Industri Manufaktur merupakan pilar utama dalam memenangkan ACFTA. Kedua hal ini saling bersinergi, Ketersediaan listrik dalam Industri Manufaktur diibaratkan bak aliran darah dalam tubuh yang terus menghidupi sel-sel kecil untuk tetap tumbuh dan berkembang. Sehingga boleh dikatakan bahwa Industri manufaktur tidak akan bisa lepas dan dilepaskan dari ketersediaan pasokan listrik. Tentu saja kita masih ingat, apa yang terjadi ketika terjadi pemadaman listrik bergulir di tahun 2009 lalu, bahkan pada beberapa wilayah di Kalimantanpun, saat ini masih terjadi pemadaman listrik, beberapa industri manufaktur merasa dirugikan dan tentu saja juga tidak memberikan adanya rasa nyaman bagi Industri Manufaktur itu sendiri. Mengapa?, karena secara langsung hal ini akan berpengaruh pada skedule produksi yang ujung-ujungnya akan terjadi peningkatan biaya produksi. Hal nyata ini bisa kita lihat dari bagaimana pusingnya mereka dan pontang-pantingnya Industri Manufaktur menghadapi pemadaman listrik yang masih sering terjadi saat ini. Efek pemadaman ini sangat dirasakan sekali khususnya bagi Industri Manufaktur menengah kebawah. Bagaimana dengan industri besar? Meskipun pada umumnya industri besar memiliki power plant sendiri, namun harus juga diingat bahwa rantai pasokan (supply chain) industri besar juga berhubungan industri menengah kebawah. Sehingga bisa dipastikan kalau pasokan komponen atau bahan dari supplier terhambat gara-gara pemadaman listrik, maka industri besarpun juga was-was.

Pemadaman listrik bagi Industri Manufaktur jelas akan mengganggu rangkaian proses dari sistem manufaktur itu sendiri. Mesin-mesin dan peralatan tidak bisa beroperasi dan juga akan mengakibatkan high employer cost. Ya tentu saja pemadaman yang tiba-tiba, ataupun jika ada pemberitahuaan, tidak mungkin industri manufaktur menyesuaikan jam karyawannya sesuai jam pemadaman listrik. Akibatnya, karena tidak beroperasinya mesin, maka aktifitas pekerjaan juga tidak ada. Karena tidak adanya aktifitas pekerjaan, maka jadwal produksi akan molor karena tidak bisa beroperasinya peralatan produksi, dan over time pun menjadi pilihan untuk mengejar target produksi.

Disisi lain, ASEAN-CHINA Free Trade Agreement (ACFTA) menjadi tantangan tersendiri bagi Industri Manufaktur Indonesia. Sudah siapkah Industri kita menghadapi hal ini?. Sebetulnya kalau dilihat secara teknis, baik dari sisi tools, mesin-mesin perkakas, tenaga kerja dan SDM yang dimiliki bangsa ini sebetulnya tidak kalah bersaing dengan luar negeri. China misalnya, peralatan produksi kita tidak kalah dengan China, kalau China punya mesin-mesin CNC (Computer Numerical Control) kitapun juga punya mesin yang sama. Kalaupun China bisa “menjiplak” desain suatu produk, kita pun juga punya mesin rapid prototyping. Dari sisi design, Engineer-engineer kita juga sudah banyak yang menguasai beberapa software CAD (Computer Aided Design) dan mampu merancang produk dengan tingkat kesulitan yang tinggi.

Nah kemudian apa yang menjadi permasalahan sehingga di beberapa bidang industri manufaktur (tekstil misalnya) masih “takut” menghadapi ACFTA. Memang harus kita sadari produk kita kurang punya “taji” dalam pertarungan dengan produk yang lain. Ada beberapa permasalahan diluar hal-hal teknis yang kita hadapi, misalnya high cost economy (seperti regulasi yang kontra produktif dengan perkembangan dunia usaha) dan ketersediaan pasokan aliran listrik. Pada dunia kelistrikan, pasokan bahan bakar untuk pembangkit-pembangkit listrik merupakan salah satu hal non teknis yang sering menjadi kendala dalam ketersediaan listrik.

Kalau boleh mengintip sedikit Industrialisasi di China, disana Industri Manufaktur merupakan Lokomotif penggerak perekonomian China dan pemerintah berkomitmen bahwa kebutuhan industri terhadap listrik harus dipenuhi. China ndash;mungkin- sadar betul, negaranya bukan negara penghasil minyak yang merupakan salah satu bahan baku pembangkit listrik. Dengan mengandalkan penggunaan Batubara, China sadar betul hal itu akan menjadi sorotan dunia terkait dengan masalah polusi dan kelestarian lingkungan. Akhirnya, China kini memiliki pembangkit tenaga angin dan terus mengembangkannya. Keberadaan pembangkit listrik tenaga angin bagi dunia tidak saja merupakan bukti bahwa mereka mampu memproduksi listrik dengan sumber daya ramah lingkungan, tetapi juga menunjukkan bagaimana komitmen China dalam mensuplai listrik bagi Industri Manufaktur. Pertanyaanya kemudian, dimana posisi kelistrikan kita jika dibandingkan dengan China?.

Industri Manufaktur Indonesia

Pada Tahun 2011 sebetulnya merupakan angin segar bagi Industri Manufaktur, meskipun pada tahun-tahun sebelumnya Industri Manufaktur masih stagnan dan mungkin malah justru menurun. Keyakinan itu berdasar, harus kita akui bahwa sektor Industri Manufaktur masih memberikan kontribusi tertinggi terhadap Total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yaitu sekitar 26 persen. Dan bagaimanapun juga Industri Manufaktur masih menjadi tulang punggung pemerintah untuk mengurangi penggangguran. Sebetulnya, jika saja pemerintah lebih menggarap serius Industri ini dengan beberapa fasilitas dan regulasi yang mengguntungkan Industri Manufaktur dalam negeri, bukan tidak mungkin kita akan menjadi raja di negeri sendiri dalam penguasaan produk-produk industri dan kita tidak akan pernah takut dengan membanjirnya produk-produk, seperti China seperti yang terjadi saat sekarang ini.

Bagaimana Kelistrikan sangat berperan dalam perkembangan Industri Manufaktur? Bidang kelistrikan merupakan salah satu faktor penggerak Industri Manufaktur di Indonesia. Kita masih ingat kenaikan BBM pada tahun 2007 telah berimbas terhadap kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) dan kenaikan di banyak komponen produksi pada Industri Manufaktur. Imbasnya, produk kita tidak kompetitif di pasar global dan kalah bersaing dengan produk-produk luar negeri.

Komitmen Manajemen baru PLN untuk tidak menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) diharapkan bukan isapan jempol dan terealisasi, karena hal ini akan secara linier memicu pertumbuhan Industri Manufaktu. Beban yang ditanggung pengusaha untuk tetap survive saat ini sangat berat. Kenaikan TDL akan berimbas pada kenaikan biaya produksi dan juga kenaikan upah tenaga kerja.

Oleh karena itu, diperlukan beberapa strategi untuk menghadapi ACFTA, strategi ini tentu saja harus diupayakan antara Pemerintah dengan Swasta. Beberapa hal yang harus difokuskan dalam menghadapi ACFTA antara lain adalah:

Pertama. Ketersediaan tenaga terampil di Bidang Manufaktur. Pendidikan keilmuan manufaktur yang meliputi Perancangan Produk dan Sistem/Proses Manufaktur perlu mendapatkan perhatian yang khusus dari pemerintah. Tenaga terampil yang siap kerja di bidang manufaktur akan sedikit banyak mengurangi penggangguran dan menaikkan produktifitas.

Di Indonesia Perguruan Tinggi yang berani membuka keilmuan manufaktur ini sangat sedikit sekali, padahal lulusan yang dihasilkan sangat dibutuhkan oleh Industri Manufaktur dimasa mendatang.

Kedua. Kemudahan permodalan untuk Industri Manufaktur. Modal bukan yang utama tetapi harus ada. Pembiayaan/modal dari kalangan perbankan sangat diharapkan oleh Industri Manufaktur.

Ketiga. Pasokan listrik yang kontinu dan harga listrik yang kompetitif. Kelistrikan harus mampu membantu percepatan akselerasi pembangunan ekonomi nasional melalui ketersediaan energi yang berkelanjutan (sustainable) dan murah. PLN seharusnya tidak hanya mencegah atau menghindari pemadaman listrik saja atau hanya sekedar melayani kebutuhan energi masyarakat namun juga menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi. Akselerasi pembangunan nasional bergantung pada pasokan listrik yang memadai.

Keempat. Percepatan standarisasi Industri, hal ini perlu dilakukan untuk menghambat membanjirnya produk-produk asing. Pemerintah juga perlu mendorong industri berwawasan lingkungan dan standarisasi industri yang hemat energi.

Jika saja keempat hal ini bisa terwujud, bukan tidak mungkin Industri Manufaktur Indonesia akan disegani oleh Industri Manufaktur dari negara-negara lain dan kita akan memenangkan persaingan ACAFTA. Semoga.