Urgensi Anti Kekerasan Seksual Perguruan Tinggi hayuning November 30, 2021

Urgensi Anti Kekerasan Seksual Perguruan Tinggi

Oleh: Dr. Hwian Christianto, S.H., M.H.
Dosen Hukum Pidana dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya)
Masyarakat akademik telah memiliki kebijakan anti kekerasan seksual per 3 September 2021. Mas Menteri Pendididikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menggariskan, kekerasan seksual harus ditangani dengan serius. Pelan namun pasti, Peraturan MEndikmudristek 30/2021 mengubah paradigma kekerasan seksual dari bersifat privasi menjadi publik. Perkara kekerasan seksual bukan hal tabu yang harus disembunyikan korban.
Amanat peraturan menteri itu menekankan sebuah pakem kebijakan perguruan tinggi dan mekanisme penanganan kekerasan seksual yang berpihak kepada korban. Karena itu, korban tidak perlu malu untuk melaporkannya.
Ciri Khas Kekerasan Seksual
Seiring dengan penantian RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, peraturan menteri tersebut menegaskan urgensi kebijakan anti kekerasan seksual di perguruan tinggi. Berbagai kasus pelecehan seksual di perguruan tinggi sekoalh menjadi bukti bahwa tidak cukup ketentuan hukum pidana saja yang dikenakan. Tapi juga perlu dilapisi dengan peraturan yang lebih detail di level kampus.
Penting untuk diingat, kekerasan seksual bukan ‘barnag baru’ sebagai kejahatan kesusilaan. Percabulan, perzinaan, pemerkosana, dan pornografi sudah dikenal sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual tersebut. Menariknya, catatan tahunan Komnas Perempuan mengenai kekerasan terhadap perempuan menurun sebesar 31,5 persen dibanding tahun 2019. Alasannya, kedekatan korban dengan pelaku, korban hanya mengadu kepada keluarga tau diam, penguasaan literasi teknologi kurang, dan layanan daring pengaduan korban yang belum siap.
Terlihat, kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan seksual sangat berkaitan erat dengan relasi kuasa pelaku terhadap korban. Pelaku dengan leluasa melampiaskan nafsu seksualnya dengan memanfaatkan kedudukan dan kewenangan. Sedangkan korban tanpa daya dan kuasa mengikuti keinginan pelaku. Sangat jelas terlihat, penanganan kekerasan seksual haruslah khusus. Peraturan menteri ini boleh dikata lebih progresif dari sisi pencegahan dan penanggulangan.
Perlu diingat, kekerasan seksual tidak terbatas pelaku-korban, kondisi sosial budaya juga bisa jadi pemicu. Ketiadaan peraturan menjadi suatu kondisi anomie bagi masyarakat yang menjunjung tinggi keberadaban. Mengikuti definisi Robert K. Merton, kondisi anomie muncul ketika tidak berpadunya budaya dengan struktur sehingga kekerasan seksual terjadi. SEcara logis, pencegahan dan penanganan kekerasan seksual butuh kebijakan legislasi.
Memang peraturan menteri ini lahir dalam kondisi yang tidak ideal. Mengapa? Sampai saat ini RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual masih belum disahkan. Artinya, belum ada rujukan khusus ‘kekerasan seksual’ secara legalitas formal. Langkah breakthrough Mas Menteri Nadiem dinilai berani menggebrak dengan stidaknya 21 bentuk kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi. Langkah ini sah-sah saja dilakukan mengingat peraturan menteri termasuk dalam peraturan perundang-undangan. Sesuai asas lex superiori derogate legi inferiori, peraturan menteri itu menjadi sah sepanjang substansinya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Masalah Interpretasi
Satjipto Rahardjo pernah mengatakan, the law is the art of interpretation. Sebuah keniscayaan jika pemahaman suatu aturan bisa berbeda, tergantung perspektif dan sudut pandang. Namun, jangan lupa, interpretatio cessat in claris, jika UU sudah jelas, maka tidak perlu ditafsirkan lain lagi. Ke-21 bentuk kekerasan seksual itu merupakan penjabaran dari pasal 5 ayat (1) dari peraturan menteri tersebut. Bentuk kekerasan seksual ini tidak digolongkan sebagai kejahatan ataupun pelanggaran. Tapi, bentuk kekerasan seksual ini diatur untuk dicegah dan ditangani oleh perguruan tingig yang juga sejalan upaya mewujudkan kampus sebagai area yang sehat, nyaman, dan amat.
Kekerasan seksual bisa dilakukan secara verbal, non-fisik dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi dengan pengecualian persetujuan korban. Pemahaman persetujuan korban ini haruslah hati-hati, terbatas pada tindakan itu sebagai kekerasan seksual atau tidak. Persetujuan korban ini tidak merujuk pada pemahaman tindakan seksual yang disetujui pasi sah atau diperbolehkan.
Harus diingat, persetujuan korban dalam hal tindakan seksual juga dibatasi pada norma kesusilaan. Tidak semua persetujuan pelaku pada hal seksual membenarkan perbuatan asusila. Seorang pemudi yang menyetujui hubungan seksual dengan pasangan di luar perkawinan tidak otomatis bebas. Jika perbuatan dilakukan pada pada pemudi yang berusia di bawah umur, dalam kondisi terpaksa, tidak sadar, dan kondisi khusus lain, perbuatan tetap dilarang. Pun dalam kondisi pemudi sadar dan menyetujui tindakan seksual, bisa dipidana sepanjang melanggar perbuatan asusila.
Keberpihakan kepada Korban
Prinsipnya, tidak ada yang setuju dengan kekerasan seksual. Siapa pun kita pasti mengutuk kekerasan seksual berdampak korosif pada korban dan sosial. Pemberlakuan peraturan menteri sudah pasti harus senada dengan ikhtiar memanusiakan manusia dalam hal seksualitas.
Kesadaran akan sifat tercela, terkait relasi kuasa dan perlindungan generasi bangsa, pastinya menjadi alasan pemberlakuan peraturan menteri. Kawah candradimuka tempat menggali ilmu dan keluhuran tidak boleh dinodai kenajisan kekerasan seksual.
Upaya pencegahan dan penindakan kekerasan seksual perlu dipersiapkan secara terencana dan berpihak kepada korban. Tidak berarti penanganan berat sebelah, korban kekerasan seksual tidak mudah menceritakan, apalagi mengadukan, apa yang terjadi dengan dirinya. Terlebih, banyak kondisi kekerasan seksual yang justru dilakukan di tempat tersembunyi, hanya pelaku dan korban yang tahu.
Prosedur penanganan kekerasan seksual perlu diatur lebih proporsional tanpa harus mengorbankan asas praduga tak bersalah. Jangan sampai kobran justru dikorbankan untuk kali kedua dengan ancaman pencemaran nama baik, ancaman kepentingan ekonomi yang menyurutkan nyali penyintas.
Sebuah pendekatan baru dalam penanganan kekerasan seksual perlu dibangun, melibatkan civitas academica perguruan tinggi secara integratif. Bergerak dalam rel komitmen menjaga harkat dan martabal kemanusiaan dan independen dalam melakukan tugasnya.
Satu hal yang perlu diingat, kebijakan anti kekerasan seksual pada hakikatnya merupakan bentuk keberpihakan kita pada kemanusiaan dalam keberadaban. Bagi kampus, kebijakan ini merupakan barometer kehidupan kampus yang sehat, independen, dan berani membela kebenaran demi membentuk calon pemimpin yang beradab. (*)
Sumber: Jawa Pos, 16 November 2021