Kala Lapas Anak Menyentuh Hati fadjar April 16, 2009

Kala Lapas Anak Menyentuh Hati

Kala Lapas Anak Menyentuh Hati
Oleh: Yuliana Puspasari

RUMAH dan tempat kerjanya di Surabaya) yang berjarak sekitar 150 km dari lokasi (Blitar) tak membuatnya lelah dan berhenti. Perempuan itu, Prof Dr Yusti Probowati Rahayu Psi, masih saja menjadi ibu dari anak-anak yang sudah dilupakan dunia itu.

Demikian dalam keterlibatan Yusti dengan anak-anak penghuni lapas, sampai-sampai sang suami pernah berkomentar, Ngapain sih? Apa nggak ada pekerjaan lain?

Sebuah pertanyaan bernada gugatan yang wajar. Maklum, Yusti bukanlah nama sembarangan di jagat psikologi. Dia adalah guru besar Fakuiltas Psikologi Universitas Surabaya (Ubaya). Dia juga menjabat Ketua Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia periode 2007 – 2011. Tiap ada kasus kriminal (terutama pembunuhan) besar, Yusti selalu menjadi langganan konsultasi polisi. Untuk kasus Ryan (jagal dari Jombang) yang menghebohkan itu, semisal, polisi membutuhkan Yusti untuk melakukan analisa psikologi terhadap Ryan. Demikian pula kasus mutilasi di Jakarta beberapa waktu lalu.

Artinya, banyak sekali yang bisa dikerjakan Yusti, di luar mengurusi anak-anak bermasalah itu. Tapi toh seabrek aktivitas itu tidak membuat Yusti pergi meninggalkan anak-anak lapas.

Memang, awalnya Yusti sempat memikirkan sentilan suaminya. Ya juga sih, ngapain saya melakukan semua ini? katanya dalam perbincangan dengan Surabaya Post di ruang kerjanya di ruang Ketua Magister Profesi Psikologi Ubaya.

Tapi memang inilah yang seringkali disebut panggilan hati. Ibu dua anak ini tak tahan untuk terlibat ke dalam kehidupan anak-anak hilang yang ada di lapas ini karena melihat banyak ketidakberesan. Sejak 2001 saat menempuh studi S3 di bidang psikologi hukum di UGM, dia memang mulai berkeliling ke lapas-lapas, mulai Lapas Wanita Malang, Lapas Porong, Rutan Tulungagung, Rutan Gresik, Lapas Kerobokan, dan Lapas Anak Blitar.

Lapas-lapas itu memberitahunya satu hal: semua kondisi lapas sama, sepi dari sentuhan psikologis. Tidak banyak psikolog yang peduli. Memang ada beberapa teman seperjuangan, tapi tidak semua lapas memiliki psikolog, katanya.

Yusti lalu berpikir, Kalau semua orang nggak peduli, kenapa tidak saya saja? Saya jadi berpikir, apa yang bisa saya berikan pada orang lain?

Saat gelar doktor sudah digaet (dan lalu guru besar), Yusti terus bertanya-tanya, ‘Ini buat siapa? Saya harus bisa memberi sesuatu pada masyarakat. Itu amanah yang juga harus saya kembalikan kepada masyarakat dalam berbagai bentuk.’

Nah, mengurus anak-anak penghuni lapas adalah salah satu pilihannya. Sebenarnya lapas bukanlah hal baru bagi Yusti. Kedua orangtuanya berlatarbelakang hukum (hakim), dan terkait mata kuliahnya di strata S1 serta S2, Yusti sudah sering menangani kasus di Lapas Wirogunan.

Yusti tertarik dunia lapas tak hanya lantaran terkait bidang psikologi hukum yang ditekuninya. Dia juga sering dilanda iba dan jatuh hati kepada penghuni lapas. ‘Terutama penghuni anak-anak. Kenapa anak-anak? Mereka kan generasi kita ke depan. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi kalau generasi kita ini bermasalah. Kalau tidak dilakukan penanganan secara baik, imbasnya juga akan jatuh ke masyarakat,’ ujarnya.

Sejak 2003, dia intens menjadi pendamping penghuni Lapas Anak Blitar. Tak hanya dirinya, dia juga sering mengajak mahasiswa S-1 di Fakultas Psikologi Ubaya mengunjungi lapas ini. Bahkan ada mahasiswa S-2 di fakultas itu yang sampai dimagangkan di sana. Di Lapas Blitar, Yusti memberi memberi konseling, motivasi dan beragam pelatihan sehingga begitu keluar, anak-anak itu bisa survive.

‘Yang namanya pemberdayaan kan di situ, bukan seumur hidup saya memberikan sesuatu buat Lapas Blitar. Itu namanya saya tidak memberdayakan, karena saya tidak memberi pancing tapi hanya ikan. Pada akhirnya nanti, lapas ini bisa berdiri sendiri tanpa perlu psikolog, tapi mereka menangani konseling sendiri,’ katanya.

Hari-hari ini, Yusti tengah sibuk mempersiapkan pementasan kelompok teater anak-anak penghuni lapas itu. Nama kelompok teaternya Anak Raja. Kamis (16/4) besok pagi, mereka mementaskan lakon berjudul Tinta Merah di aula lapas. ‘Saya memfasilitasi pembentukan kelompok teaternya sampai mendatangkan pelatih,’ katanya.

Beban Jadi Anugerah

Yang mencemaskan Yusti adalah arah lapas yang lebih mengarah pada keamanan (security), bukan pembinaan. Bagi lapas, yang penting penghuni tidak kabur. Itu sebabnya, pembinaan atau rehabilitasi tidak tertangani dengan baik. Kalau dirunut-runut, masalahnya balik ke soal dana.

‘Dana rehabilitasinya nggak ada. Itu seharusnya tugas stakeholder dan masyarakat. Saya kan juga bagian dari masyarakat, jadi harus ikut bertanggung jawab. Ya kalau mereka nggak punya uang, gimana caranya saya cari duit,’ ujarnya.

Yusti lalu mencoba mencari dana melalui jaringan LSM. Dia pernah mendapat dana dari PLAN Foundation dari AS, dan kini dikucuri dana dari KNH Jerman. KNH membiayai Yusti membuat manual pendampingan ke petugas lapas sampai nantinya ada semacam shelter untuk persiapan anak-anak ketika mereka keluar. Atas biaya KNH juga Yusti membuat film pengembangan anak lapas di Lapas Anak Blitar, Kutoarjo, dan Tangerang.

Setelah sekian lama keluar masuk lapas, apa yang dipelajari Yusti? ‘Tiap pengalaman punya kekhasan. Tapi pengalaman lama di Lapas Blitar membuat saya selalu ingat mereka. Kalau kita bekerja dengan hati, beban tidak akan terasa. Itu membuat enam tahun mendampingi Lapas Anak Blitar ibarat beban yang berubah menjadi anugerah.

Sampai sekarang, kalau lagi punya banyak makanan, saya selalu ingat mereka. Coba dekat mungkin saya kirimi. Melihat mereka jadi lebih baik adalah reward luar biasa buat saya.’ Begitulah Yusti.

*BIODATA

Nama : Prof. Dr.Yusti Probowati Rahayu, Psi
Tempat/tanggal lahir : Probolinggo, 22 September 1964
Pekerjaan :

  • Dosen Fak. Psikologi Ubaya,
  • Kepala Lab. Psikologi Sosial Ubaya
  • Kepala Magister Profesi Psikologi Ubaya
  • Ketua Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia

Anak : dua

Pendidikan : Fak. Psikologi UGm (S1)
Fak. Pascasarjana UGM (S2 dan S3)

dikutip dari Surabaya Post, 15 April 2009