Anna Katharina Lemke, Mahasiswa Jerman yang Menjadi Relawan AIDS fadjar October 10, 2008

Anna Katharina Lemke, Mahasiswa Jerman yang Menjadi Relawan AIDS

Pembesuk pun Bilang Ich Liebe Dich

Kepedulian terhadap AIDS terus datang dari berbagai kalangan. Kepedulian itu bahkan melintasi batas negara. Anna Katharina Lemke, mahasiswa dari Jerman, khusus datang ke Surabaya melihat penanganan AIDS.

Selasa siang (23/9), Unit Perawatan Intermediet Penyakit Infeksi (UPIPI) RSU dr Soetomo sedang ramai. Poliklinik yang khusus menangani penderita HIV/AIDS itu sedang rutin melayani pasien. Beberapa pasien tampak antre di pintu masuk poliklinik sebelah selatan.

Mengenakan kaus oblong tipis putih dan tas selempang, Anna Katharina Lemke memasuki salah satu ruang. Dia ditemani Nizar Dzikri, ketua program Youth Fight Againts HIV-AIDS. Yaitu, sebuah program tahunan yang diadakan AIESEC.

Mereka diterima Sutarno, wakil ketua ruang UPIPI. Karena tak bisa berbahasa Indonesia, mahasiswa semester tiga University Passau, Jerman, itu mengandalkan Nizar. Tiap Sutarno menjelaskan sesuatu, Nizar ganti menjelaskan kepada wanita yang akrab dipanggil Anna tersebut.

”Di UPIPI, penanganan terhadap penderita AIDS dibagi dalam dua bagian. Yakni, mereka yang sudah stadium tinggi dan mereka yang virusnya sudah terkendali,” kata Sutarno yang memberikan penjelasan kepada dua orang tamunya itu.

Lantas, Sutarno mengajak dua orang tersebut berkeliling poliklinik. Saat berjalan di ruang depan yang menjadi semacam front office poliklinik, seseorang hendak keluar dari ruang.

Tubuhnya tinggi dan besar. Hidungnya mancung dan bibirnya tebal. Ukurannya yang terlalu besar membuatnya tampak tidak serasi. Dia menutupi rambut panjangnya dengan penutup kepala yang mirip kerudung.

”Ini namanya Yeni. Dia relawan di sini. Sering bantu-bantu pasien dan keluarganya,” ujar Sutarno. Yeni adalah seorang waria. Tiap hari, dia selalu di poliklinik. Kegiatannya macam-macam. Mulai mengambilkan obat hingga berbincang dengan para penderita.

Are you infected,” tanya Anna kepada Yeni. Setelah celingukan sebentar, Yeni pun mengangguk. Anna kemudian menanyakan penyebab Yeni terjangkit penyakit menular tersebut.

Emm, apa ya. I am mantan waria. So I, you know, emm, oral seks,” tutur Yeni sambil membuka mulutnya dan seperti hendak memasukkan dan mengeluarkan sesuatu dengan tangannya. Anna mengangguk. Dengan bahasa campur aduk, Yeni menjelaskan aktivitasnya di UPIPI. ”Saya datang tiap ten o’clock. Biasanya, saya take medicine,” ucapnya.

Para pelaku transeksual (begitu Anna mengistilahkan waria), menurut Anna, memang memiliki faktor risiko terjangkitnya penyakit AIDS. Karena itu, selain warga biasa, di Jerman waria pun banyak yang mengidap AIDS.

Setelah Yeni berlalu, Sutarno mengajak Nizar dan Anna mengunjungi kamar pasien AIDS. UPIPI memiliki tiga kamar pasien rawat inap AIDS. Masing-masing memiliki ukuran berbeda. Dua kamar berkapasitas dua hingga tiga pasien dan satu kamar berkapasitas delapan pasien.

Ruang pertama yang dikunjungi adalah ruang A. Ruang berukuran 5 x 4 meter yang tepat di belakang bagian pendaftaran pasien itu dihuni tiga penderita AIDS.

Ketiga pasien lelaki terbaring dengan infus menancap di lengan. Mereka terlihat lemas. Daging yang membalut tulang tampak menipis. Tak ada yang bereaksi ketika Anna melihat salah seorang di antara mereka. Hanya dua bola mata pasien-pasien itu yang terlihat bergerak-gerak.

”Kondisi pasien di bagian ini memang agak parah. Mereka masih perlu dirawat intensif,” terang Sutarno yang saat itu mengenakan seragam jingga.

Kemudian, rombongan memasuki ruang kedua. Ruang tersebut lebih lapang karena memanjang sejauh sepuluh meter dengan lebar empat meter. Kapasitas pasien lebih besar dan ruang terasa lebih lega.

Begitu masuk, rombongan disambut pasien AIDS di sebelah kiri pintu masuk. Seorang lelaki tampak terbaring. Tubuhnya tidak sekurus lelaki di ruang sebelumnya. Dia tampak lebih bugar. Namun, infus masih menancap di sela-sela kulitnya yang berhias tato tersebut.

”Yang ini besok paling sudah pulang. Kondisinya sudah baik. Dia hanya perlu mengonsumsi obat rutin,” jelasnya.

Di samping lelaki tersebut berdiri seorang wanita paro baya. Dia tampak ceria. Sutarno menjelaskan bahwa Anna adalah Local Committee President of AIESEC LC Germanny yang menjadi exchange participant untuk membantu program YoFAA yang diselenggarakan AIESEC Surabaya. yang ingin tahu penanganan AIDS di RSU dr Soetomo. ”Hi, hello. Guten tag (selamat siang, Red). Ich liebe dich (saya cinta kamu, Red),” ucap wanita itu sambil melambai-lambaikan tangan. Anna hanya tersenyum.

Sutarno mengakui, ruang kedua tersebut lebih bersih dan sejuk. Apalagi, pasien di ruang itu tak seberapa banyak. Bed yang digunakan pun tampak lain.

”Ini memang tempat pasien yang membayar sendiri. Mereka bukan yang dijamin pemerintah. Makanya terlihat lebih bagus,” ujar Sutarno.

Anna adalah peserta program YoFAA atau Youth Fight Againts HIV-AIDS. Yakni, salah satu program tahunan AIESEC Surabaya yang mengangkat isu tentang HIV-AIDS. AIESEC merupakan organisasi mahasiswa dan fresh graduate di dunia yang tersebar di 105 negara. Lembaga tersebut memiliki lebih dari 23.000 anggota yang terdaftar di berbagai universitas.

Anna pun sudah berkali-kali menjadi relawan. Mulai relawan penghijauan hingga relawan AIDS. Itu pun dia lakukan di beberapa negara. Salah satunya Afrika Selatan. ”Kebetulan saat itu relawan AIDS juga,” katanya.

Target kegiatan itu adalah pelajar SMA dan mahasiswa di Surabaya. Dua misi utama yang ingin disampaikan melalui kegiatan tersebut ialah meningkatkan kesadaran generasi muda tentang HIV-AIDS serta mengajak mereka tidak mendiskriminasi para penderita HIV-AIDS.

Anna sebenarnya tidak sendiri. Sebelumnya, ada Chuxian Chen dan Yitan Xu dari AIESEC Tiongkok. Juga, Yu Han Liang dari Taiwan. Namun, tiga rekannya sudah terlebih dahulu pulang ke negaranya karena program mereka sudah selesai. ”Kami menyebut mereka exchange participants. Mereka di negaranya juga menjadi anggota AIESEC. Saat ini mereka mengadakan kegiatan di sini,” terang Nizar.

Mahasiswa Jurusan Akuntansi Ubaya itu menuturkan, empat peserta tersebut diajak berkeliling. Mulai LSM hingga sekolah. Pada Juli hingga Agustus, mereka mengunjungi Granat, KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Surabaya, Sebaya, dan Hotline. Salah satunya kunjungan pada Selasa siang tersebut.

Dari kunjungannya ke UPIPI, Anna mengungkapkan, penanganan AIDS di Jerman dan Indonesia kurang lebih sama. Namun, bedanya, di Jerman tidak ada perbedaan kelas soal fasilitas rumah sakit. ”Semuanya dibiyai pemerintah. Apalagi, obat-obatan AIDS sangat mahal,” tandasnya.

Anna, mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional itu, sudah tinggal di Surabaya lebih dari satu bulan. Di Surabaya, dia tidak tinggal di hotel. Dia tinggal di Jalan Gubeng Jaya gang dua. Sekretariat AIESEC LC Surabaya berlokasi di Kantor DPM, Fakultas Ekonomi, Universitas Surabaya, Jalan Raya Kalirungkut Surabaya, Indonesia.

Tinggal di kampung dia manfaatkan untuk bersosialisasi. Salah satunya melalui karnaval. Saat tujuh belasan, Anna diajak memeriahkan karnaval kampung. Dia sudah menyiapkan momen itu.

Anna lantas menunjukkan foto saat dia mengikuti karnaval. Saat itu dia mengenakan sebuah pakaian tradisional Jerman. Pakaian tersebut terdiri atas satu terusan putih dengan pelapis hitam yang mirip daster. Di ujung lengan dan kerah terdapat renda-renda. Di bagian kepala juga terdapat penutup. Sekilas, pakaian tersebut mirip pakaian yang digunakan wanita dalam salah satu cap susu kaleng. ”Ini namanya dirndl. Kalau untuk cowok, namanya lederhosen,” katanya.

Menurut Anna, pakaian tersebut memang pakaian yang banyak digunakan petani zaman dulu. Sekarang pakaian tersebut hanya dipakai saat festival atau acara pesta-pesta. ”Kalau saya sedang di luar negeri, saya kadang membawanya. Yah, sekalian memperkenalkan negeri saya,” tuturnya lantas tersenyum.

AGUNG PUTU ISKANDAR (*/dos)

dikutip dari Jawapos, 30 September 2008