Prof Dr Yusti Probowati Rahayu dan Analisisnya tentang Jagal Asal Jombang fathulhusnan August 10, 2008

Prof Dr Yusti Probowati Rahayu dan Analisisnya tentang Jagal Asal Jombang

Kasus pembunuhan berantai yang dilakukan Very Idham Henyansyah alias Ryan begitu menyita perhatian publik. Prof Dr Yusti Probowati Rahayu, psikolog asal Universitas Surabaya, sempat memeriksa kondisi psikologis sang pembunuh berdarah dingin tersebut.

Ryan itu Cerdas secara Kognitif
———————————————

Bagaimana Anda bisa dilibatkan dalam pemeriksaan Ryan?

Kebetulan, posisi saya sekarang adalah ketua Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia. Posisi itu pula yang membuat saya diminta psikolog Mabes Polri dan Polda Jatim untuk terlibat. Kami diminta memeriksa apakah Ryan bertanggung jawab atas perbuatannya. Juga dari sisi mental dan kompetensi psikologisnya.

Kemarin, kami mencoba mengecek itu. Sebab, kalau kita lihat pasal 44 KUHP, seseorang yang dikatakan mengalami gangguan dari sisi mentalnya tidak bertanggung jawab atas tindak pidana. Ternyata, Ryan sangat sadar atas semua perbuatannya. Kontak realita ada, komunikasi bagus, logikanya bagus. Kami simpulkan bahwa dia bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan.

Artinya, secara kejiwaan Ryan normal?

Ya. Karakteristik Ryan itu sangat manipulatif. Dia mudah bohong. Kalau ingin sesuatu, dia tidak melihat sisi moral norma. Ryan itu juga egosentrik. Tidak mau memikirkan orang lain. Sisi lainnya, Ryan agresif tapi manipulatif. Tidak mudah menebak apakah dia itu akan berbuat jahat atau tidak. Bahkan, kita terkadang bisa merasa nyaman berada di dekat dia.

Orang seperti Ryan itu justru berbahaya karena tidak bisa dideteksi. Beda kalau kita bertemu preman yang penampilannya sangat sangar. Begitu ketemu orang seperti itu, radar kita seakan memberi tanda, ini orang gawat, jangan deket-deket.

Ryan juga agak obsesif kompulsif. Jika punya keinginan, dia akan terus memikirkan. Banyak orang yang punya sifat obsesif kompulsif. Misalnya, orang yang suka cuci tangan berkali-kali atau kepikiran terus pintu rumah sudah dikunci atau belum. Tapi, tidak semua orang seperti itu punya kecenderungan berbuat kriminal. Dalam kasus Ryan, dia tak hanya obsesif kompulsif, tapi ditambah agresif dan manipulatif. Karena itu, ketika sekali tidak ketahuan membunuh, dia membunuh lagi, akhirnya keenakan.

Bisa jadi, Ryan berbohong selama penyidikan di kepolisian?

Polisi juga harus memperhatikan masalah itu. Lihat saja waktu tes kebohongan menggunakan lie detector. Dia itu justru menipu dengan pura-pura kangen pada Noval. Sangat manipulatif. Dia mencoba berbagai cara supaya tidak menyatakan sesuatu yang benar.

Begitu juga ketika kami bertemu. Ryan menangis. Air matanya betulan. Tapi, belum tentu ekspresinya itu jujur. Dia seperti pemain sinetron. Kalau dia artis, mungkin aktingnya melebihi Dedi Mizwar (Yusti lantas tertawa lepas).

Beberapa kali dia menangis bersandiwara agar dianggap stres. Tapi, saat kami temui, omongannya bagus, komunikasi lancar, logikanya bagus, tidak ada gangguan halusinasi. Makanya, polisi harus waspada. Dia harus melanjutkan proses hukum selanjutnya. Kami akan terus mengawal. Sebab, dia harus bertanggung jawab atas kasus pembunuhan berantai yang dilakukan.

Apakah orang seperti Ryan itu bisa disebut cerdas?

Dari segi kognitif, dia sangat pandai dan cerdas. Orang menipu tidak ketahuan itu namanya cerdas. Kalau orang ketahuan bohong, berarti dia terlihat bodohnya. Dia punya kualitas intelektual. Terutama dari cara bicaranya.

Ketika diperiksa polisi atas sebuah tindakan kejahatan, orang biasanya stres atau menyesal. Ryan tidak begitu. Dia malah memperhatikan segalanya. Misalnya, ruang tahanan kotor, tikusnya segede botol, bajunya tidak ganti, atau minta minyak wangi. Kalau normal, pasti dia stres dan tidak mungkin memikirkan penampilan.

Polisi menyebut motif pembunuhan karena harta dan asmara. Benarkah seperti itu?

Dari hasil pemeriksaan terhadap dia, motifnya memang ada dua. Yakni, materi dan percintaan. Banyak orang berorientasi pada materi. Begitu pula Ryan. Keinginannya pada materi sangat luar biasa. Dia tinggal di Desa Tembelang, Jombang. Kemudian bergaya hidup seperti artis. Di Jakarta, dia tinggal di apartemen dan punya banyak HP. Padahal, gaya hidup seperti itu tidak sesuai dengan pendapatannya.

Ryan butuh eksis serbamewah, tapi tidak punya duit. Karena itu, dia membunuh dan mengambil harta korbannya. Tapi, ada beberapa korban yang karena hubungan percintaan. Misalnya, Heri Santoso yang dibunuh dan dimutilasi karena menggoda Noval. Dia (Ryan) tidak mau kehilangan orang yang dicintainya.

Apakah dalam hubungan asmara, Ryan bisa disebut posesif?

Aku tidak mengatakan dia posesif. Tapi, dalam interaksi sosial, dia dominan. Kalau ingin sesuatu, harus terpenuhi. Penyimpangan seksual tidak berhubungan dengan perilaku kriminal. Buktinya, orang yang punya orientasi seksual normal seperti terpidana mati Rio Martil juga melakukan kejahatan yang luar biasa. Dia membunuh banyak orang.

Ryan membunuh karena materi. Apakah orang yang mementingkan materi memang cenderung berbuat jahat?

Materi dan gaya hidup yang wah belum cukup membuat seseorang melakukan serial killer seperti Ryan. Materi itu faktor eksternal. Tinggal sekarang bagaimana internal seseorang. Apakah dia punya benteng atau tidak untuk tidak bertindak kriminal atau berbuat jahat. Kalau dari sisi sosial, masyarakat kita arahnya memang ke sana, materialistis. Orang cari kerjaan susah. Sementara tayangan televisi memperlihatkan kemewahan. Itu bisa memicu banyak orang khilaf dan melanggar norma hukum.

Tapi, kalau dia punya internal yang bagus, tentu tidak akan sampai berbuat jahat. Ada sebuah penelitian di Amerika Selatan. Ada anak-anak di sebuah keluarga yang bermasalah secara ekonomi. Tapi, mereka bisa survive tanpa berbuat jahat. Sebab, interaksi dengan orang tuanya baik. Sesibuk apa pun, mereka selalu berkomunikasi.

Apakah Ryan tergolong anak salah asuh?

Kasus ini adalah sebuah gambaran. Kalau anak seperti itu, berarti ada something wrong pada keluarganya. Karena itu, bisa saja nanti muncul beribu orang seperti Ryan. Lihat saja lapas (lembaga pemasyarakatan) anak. Di Blitar, lapas dihuni 150-an, di Tangerang hampir 250-an. Berarti, sudah 400-an anak bermasalah. Berapa banyak se-Indonesia? Mereka bisa berpotensi seperti itu.

Kebanyakan, akar permasalahannya adalah harmonisasi dalam keluarga. Misalnya, sang ibu jadi TKW, bapak tidak jelas, anak keleleran, dan masuk dalam pergaulan yang enggak bener. Tayangan kriminalitas secara vulgar di televisi juga menanamkan hal yang tidak baik. Nilai-nilai dalam tayangan media bisa ditelan mentah-mentah. Belum lagi peredaran VCD porno yang begitu mudah didapat. Dampaknya luar biasa di masyarakat. Belum lagi peredaran narkoba.

Bagaimana untuk memfilter permasalahan itu?

Pemerintah harus turut campur, terutama untuk memfilter tayangan di media. Masak, di media begitu mudah melihat darah berceceran. Dulu, orang merinding kalau melihat pembunuhan. Sekarang ternyata sudah biasa. Orang semakin bisa menoleransi pembunuhan. Filter dari pelajaran etika dan agama juga penting, sehingga orang bisa mengontrol penyampaian yang tidak bener.

Keluarga juga harus memegang peran penting. Dalam mendidik, harus ada dialog dengan anak. Misalnya, kenapa wajib puasa. Orang tua harus bisa berdialog memberi penjelasan. Juga soal narkoba. (hafid abdurahman/fat)

Selalu Singkirkan Rasa Takut

SEJAK 2001, Yusti mulai bergelut dengan psikologi perilaku kriminalitas. Dia keluar masuk sel tahanan untuk melakukan pendampingan atau konsultasi psikologi. Karena ketekunannya itulah, alumnus UGM tersebut dinobatkan sebagai ketua Asosiasi Psikologi Forensik Seluruh Indonesia pada 2007. ‘Awalnya, saya hanya membawa mahasiswa-mahasiswa ke lapas. Lama-lama menjadi keterusan. Saya menemukan banyak hal dari dunia kriminal,’ ucapnya.

Wanita kelahiran Probolinggo itu pun mengembangkan sayap dengan menangani kasus-kasus besar yang terjadi di Indonesia. Ketika bertemu penjahat kelas kakap, di benak Yusti sempat tebersit rasa takut. ‘Lama-lama terbiasa juga. Mendekati mereka itu, butuh sentuhan hati. Jangan menganggap mereka lebih rendah atau lebih tinggi,’ ucapnya.

Dari sisi keluarga, Yusti sebenarnya akrab dengan bidang hukum sejak kecil. Maklum, kedua orang tuanya adalah hakim yang biasa menjatuhkan vonis kepada pelaku kejahatan. ‘Mengapa saya tidak jadi hakim, ceritanya cukup panjang. Yang pasti, bidang saya akhirnya tidak jauh-jauh dari hukum. Bidang psikologi yang saya tekuni adalah psikologi hukum,’ tutur ibu dua anak itu.

Di antara sekian panjang pengalaman bertemu pelaku kejahatan, Ryan termasuk paling mengesankan bagi dia. ‘Saya bilang kepada teman-teman bahwa keseharian Ryan itu menyenangkan. Dia menakutkan karena kaki dan tangannya diborgol,’ ujarnya. Karena itu, ketika bertemu Ryan, dia minta polisi melepas borgol pria pencabut 11 nyawa tersebut.

Begitu pula ketika dia ke lapas mendampingi anak didiknya di Fakultas Psikologi Ubaya, ketakutan kerap muncul. ‘Kadang mahasiswa saya takut. Saya bilang sama dia, kamu badannya gede kok takut sama penjahat. Saya yang tubuhnya jauh lebih kecil saja tidak takut,’ katanya. (fid/fat)

dikutip dari Jawapos, Minggu 10 Agustus 2008