Refleksi dari Hari Buruh 1 Mei fadjar May 4, 2015

Refleksi dari Hari Buruh 1 Mei

Listyo Yuwanto

Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

Tanggal 1 Mei merupakan peringatan hari buruh internasional. Hari buruh yang peringatannya identik dengan aksi buruh untuk menyuarakan hak-hak yang selama ini tidak terpenuhi baik oleh pemerintah ataupun perusahaan. Perlahan secara bertahap beberapa tuntutan buruh terutama dalam hal peningkatan kesejahteraan melalui upah yang diterima menjadi kenyataan misalnya saja upah minimum provinsi dan upah minimum kota/kabupaten. Untuk peringatan tahun ini buruh juga menyuarakan mempertimbangkan gaji buruh, yang sesuai untuk lima tahun ke depan sehingga kenaikan upah mereka masih mampu memenuhi kebutuhan hidup buruh.

Masih berkaitan dengan kesejahteraan, buruh juga memperjuangkan tentang fasilitas yang diterima buruh misalnya jaminan pensiunan buruh, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan hari tua. Tidak lupa, salah satu isu marak tentang BPJS juga disuarakan buruh, buruh meminta iuran untuk BPJS dibayarkan perusahaan karena menilai pendapatan buruh masih rendah bila harus membayar iuran BPJS tersebut. Beberapa aksi buruh dalam peringatan hari buruh juga berfokus pada penghapusan outsourching. Outsourching merupakan sistem kerja yang selama ini ditolak oleh para buruh karena posisi buruh dengan status pekerja outsourching sangat lemah dalam hal pemenuhan hak dan fasilitas yang diterima serta memiliki job securityyang rendah artinya sewaktu-waktu dapat mengalami pemutusan hubungan kerja atau digantikan pekerja lain.

Beberapa hal yang dapat direfleksikan dari aksi buruh untuk tuntutan peningkatan kesejahteraan, ternyata tidak semua buruh dapat menikmati peningkatan fasilitas yang telah diperjuangkan para buruh. Mengapa demikian? Karena tidak semua buruh bekerja di bidang yang mendapatkan perlindungan dari peraturan pemerintah tentang kesejahteraan buruh. Terdapat buruh yang bekerja sebagai buruh tani, buruh serabutan, buruh bangunan, buruh tidak tetap, dan pekerja rumah tangga. Selain itu juga masih ada pekerja yang bukan buruh tetapi setelah bekerja sedemikian lama tetapi kenaikan gajinya tidak signifikan dengan besarnya biaya hidup. Tentunya perusahaan dan terutama pemerintah juga perlu memikirkan dan mempertimbangkan kondisi demikian.

Refleksi kedua adalah, mengenai iuran BPJS yang harus ditanggung perusahaan karena upah buruh masih dinilai rendah. Apabila perusahaan mampu maka sangat mungkin tuntutan tersebut dipenuhi, namun apabila kemampuan perusahaan rendah mungkin dapat menggunakan skema lain. Sebagai contoh nyata terdapat pekerja dengan gaji yang dibawah UMK ternyata mengenai iuran BPJS menggunakan skema bagi dua. Jadi pekerja membayar setengah dan setengahnya lagi dibayarkan perusahaan.

Ketiga, beberapa kasus kenaikan upah buruh secara periodik ternyata masih belum mensejahterakan buruh. Salah satu faktornya adalah ketika upah buruh dituntut untuk naik namun kenaikan tersebut tidak berbanding lurus dengan kenaikan kualitas kinerja dari para buruh itu sendiri, hal ini menyebabkan banyak perusahaan yang tadinya banyak menggunakan jasa buruh menjadi gulung tikar atau beralih menggunakan tenaga mesin atau mengambil buruh dari negara lain yang lebih murah. Jika kondisi demikian terus berlangsung, tentu para buruh di Indonesia tidak lama lagi justru akan menjadi pengangguran kembali. Tingginya biaya produksi dibandingkan dengan penjualan yang mungkin didapatkan membuat para investor asing juga banyak yang menarik investasinya yang menjadi salah hal yang pengaruhi naiknya inflasi. Tuntutan kenaikan upah demi mencukupi biaya hidup, lagi-lagi tidak berdampak signifikan.

Faktor yang lain yang juga memengaruhi adalah gaya hidup buruh yang masih perlu di perhatikan. Ketika upah naik ternyata perilaku konsumtif buruh juga makin meningkat. Kenaikan yang diperjuangkan untuk meningkatkan kualitas hidup buruh yang bisa dilakukan dengan cara menyekolahkan anak di sekolah yang lebih baik, menyisihkan sebagian gaji untuk kebutuhan mendadak dan masa depan, dsb, sangat jarang dilakukan setelah terjadi kenaikan upah tersebut. Pada akirnya kenaikan upah tersebut tetap tidak akan berdampak sesuai dengan harapan-harapan baik ketika kenaikan tersebut diupayakan, namun lebih kepada pemenuhan hasrat untuk membeli kita.

Secara umum, dari hari buruh kita dapat merefleksikan bahwa masih banyak kesejahteraan buruh di Indonesia masih perlu diperhatikan, tertama juga pekerja-pekerja di sektor informal yang tidak mendapatkan perlindungan pemerintah terutama tentang jaminan kesejahteraan. Dengan demikian harapan ketimpangan sosial ekonomi di Indonesia tidak menjadi semakin besar. Selain itu, kita juga harus memperhatikan kesejahteraan lain dari para buruh seperti pendidikan, motivasi kerja, dsb, agar kenaikan upah buruh benar-benar setara dengan kenaikan kesejahteraan hidup rakyat Indonesia.