Western Indigenous Psychology dan Eastern Indigenous Psychology fadjar September 1, 2014

Western Indigenous Psychology dan Eastern Indigenous Psychology

Listyo Yuwanto

Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

Indigenous Psychologymerupakan istilah yang sekarang ini makin marak digunakan atau muncul dalam kalangan peneliti atau ilmuwan psikologi. Di beberapa Fakultas Psikologi telah muncul organisasi atau pusat studi tentang indigenous psychologymisalnya Center for Indigenous and Health Psychology(CIHP) Program Studi Psikologi Universitas Udayana Denpasar, Center for Indigenous and Islamic Psychology(CIIP) Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, Center for Community and Indigenous Psychology(CCIP) Program Studi Psikologi Universitas Sebelas Maret Surakarta, Center of Indigenous and Cultural Psychology(CICP) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan di Fakultas Psikologi Universitas Surabaya indigenous psychologyterwadahi dalam misi Laboratorium Psikologi Umum.

Beberapa konferensi bertemakan tentang indigenous psychologyjuga pernah diselenggarakan di Indonesia. Beberapa konferensi yang pernah penulis ikuti diantaranya International Conference of Indigenous Psychology(2011) di Universitas Sanata Darma Yogyakarta, Indigenous and Cultural Psychology(2011) di Universitas Udayana Denpasar Bali, dan Binneal Conference of Asian Association of Social Psychology(BCAASP) (2013) di Universitas Gadjah Mada. Konferensi-konferensi tersebut mengakomodasi sharing dan publikasi penelitian dan pemikiran tentang indigenous psychology. Terdapat 1 tujuan yang sama adanya pusat studi, penelitian, dan konferensi tentang indigenous psychologyyaitu kritik tentang penerapan psikologi Barat (western psychology) untuk memahami, menggambarkan, menjelaskan perilaku individu dan masyarakat di Indonesia ataupun konteks Asia dan mengembangkan tentang indigenous psychology.

Peran ilmu tidak hanya sebatas dalam pembentukan konsep, model, atau teori, namun juga untuk mengembangkan, menjawab permasalahan, dan menemukan solusi terkait individu atau masyarakat. Sehingga muncul pertanyaan kritis, bagaimana mungkin ilmu psikologi bisa memahami perilaku dan segala kaitannya dengan kehidupan individu dan masyarakat apabila kita menggunakan teori-teori psikologi barat, penerapan asesmen berdasarkan budaya barat yang dikembangkan dalam setting dan budaya yang berbeda dan penelitian yang berbasis pada psikologi barat secara tepat dan utuh. Psikologi barat tidak bersifat universal yang dapat diterapkan pada semua konteks perilaku manusia yang berbeda. Sehingga penelitian ataupun penerapan pemahaman perilaku manusia pada konteks yang berbeda tidak melalui pendekatan cross-culturalnamun cross-indigenous.

Sebagai contoh bahan analisis, budaya barat bersifat individualis sedangkan di Indonesia dan sebagian besar negara Asia bersifat relationisme. Sifat budaya ini berperan besar dalam perilaku manusia, misalnya dalam pembentukan kebahagiaan. Pada kasus pengungsi Merapi, ditemukan sumber kebahagiaan yang utama adalah relasi dengan keluarga dan tetangga. Hal ini tidak ditemukan pada sumber kebahagiaan di psikologi barat yang lebih menekankan individualisme. Pada konsep bersyukur, di barat menekankan pada ketercukupannya kebutuhan materi, fisik, psikologis, tetapi tidak menunjukkan adanya syukur karena keterdekatan dengan Tuhan. Berbeda dengan di Indonesia, salah satu bentuk syukur adalah dengan keterdekatan dengan Tuhan. Begitu juga konsep ketakutan terhadap gelap, hampir semua penelitian di Barat menunjukkan sebagai wujud perilaku menghindar dari individual irasional belief yaitu adanya hantu, pencuri, dan sebagainya yang sesuai dengan pengalaman traumatic yang pernah dialami secara langsung sehingga dianggap sebagai bentuk gangguan. Sedangkan beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan ketakutan terhadap gelap sehingga menghindari situasi gelap karena adanya local wisdom terhadap gelap sehingga dianggap sebagai bukan bentuk gangguan. Contoh yang lain adalah perilaku menyakiti diri sendiri (self injury), di barat dinyatakan sebagai bentuk internal aggresion karena tidak tercapainya suatu tujuan (frustrasi), sedangkan temuan penulis salah satunya karena bentuk kekecewaan terhadap Tuhan yang telah menghadirkan ke dunia untuk mengalami kesulitan dan menyalahkan Tuhan telah memberi umur panjang untuk terus merasakan dampak dari kesulitan tersebut.

Begitu juga ketika kita membandingkan konsep kedewasaan antara individu di barat yang berbasis individual dan di Indonesia yang berbasis relationisme. Di Indonesia masih banyak orang yang secara usia telah berusia dewasa, telah bekerja, menikah dan memiliki anak dalam keluarga inti, tetapi masih tinggal bersama orangtuanya dalam satu rumah. Apabila dibandingkan dengan ciri tahapan dewasa teori psikologi barat maka orang-orang dewasa di Indonesia dianggap telah gagal memenuhi tugas perkembangannya. Salah satu alasan utama individu dewasa Indonesia tetap tinggal bersama orangtuanya karena budaya relationisme, bentuk tanggungjawab anak kepada orangtuanya untuk merawat orangtua ketika sudah dewasa.

Mengacu pada contoh-contoh tersebut maka dibutuhkanlah eastern indigenous psychology. Indigenous psychologyadalah studi ilmiah tentang perilaku manusia atau pikiran yang asli atau sumbernya didasarkan pada konteks manusia tersebut berada, yang tidak didasarkan atau diterapkan dari daerah lain, dan yang dirancang untuk orang-orang yang berada pada konteks tersebut (Kim Berry, 1993). Indigenous psychologytelah berkembang selama kurang lebih 30 tahun terakhir di beberapa negara dan benua (Allywood Berry, 2006). Beberapa diantaranya di Amerika Latin, Australia, India, Afrika Selatan, bahkan di Indonesia. Penulis menyebutnya dengan eastern indigenous psychology. Mengapa demikian? Eastern Indigenous psychologymerupakan konsep yang tepat untuk menggambarkan perbedaan aplikasi psikologi sesuai dengan konteks budaya dan setting Indonesia atau Asia dengan psikologi barat (west psychology). Psikologi barat, dikembangkan dengan berbasis pada penelitian-penelitian dengan konteks barat, sehingga juga merupakan indigenous psychology yaituwestern indigenous psychology. Konsep, teori, model psikologi yang didasarkan pada konteks dan setting timur juga tidak berlaku universal, tidak bisa semuanya diterapkan pada perilaku individu dengan konteks budaya dan setting barat.

Professor Dr. Rainer K. Silbereisen, President International Union of Pscyhological Science (IUPS) mengatakan bahwa psikologi barat juga indigenous psychologydalam Workshop Building Individual and Organizational Capacity for Psychological After Disaster in The Asia and Pacific Regionyang diselenggarakan di Beijing China, 11-14 Oktober 2013. Saat rekan penulis mempresentasikan paper tentang indigenous psychology, Rainer mengatakan ‘apabila Anda menyebut psikologi timur dengan indigenous psychology, dan mengatakan tidak bisa menerapkan semua hasil penelitian dan konsep psikologi barat untuk konteks perilaku individu di Indonesia dan Asia, karena merupakan hasil penelitian atau pemikiran dengan konteks budaya dan setting barat. Apakah penelitian, pemikiran dengan konteks barat bukan berarti juga merupakan indigenous psychology?, karena terdapat juga istilah Native American Psychology‘. Penulis setuju dengan pendapat tersebut bahwa indigenous psychologybukan hanya merupakan kritikan terhadap psikologi barat, melainkan upaya menunjukkan pemahaman manusia dan perilakunya yang tepat sesuai dengan konteks budaya Indonesia, Asia, atau non western. Psikologi baratpun indigenous psychology, sehingga secara tepatlah kemudian terdapat penyebutan western indigenous psychologydan eastern indigenous psychology.

Referensi :

Allywood, C. M., Berry, J. W. (2006). Origins and development of indigenous psychologies: An international analysis. International Journal of Psychology, 41(4), 243ndash;268.

Kim, U.K., Berry, J. W. (1993). Indigenous psychologies : Experience and research in cultural context. Newbury Park, CA : Sage.