Penggunaan Impak Faktor Jurnal sedang Dipertanyakan fadjar June 4, 2013

Penggunaan Impak Faktor Jurnal sedang Dipertanyakan

Oleh: Hazrul Iswadi

Departemen MIPA Ubaya

Tulisan ini dipengaruhi oleh salah satu postingan anggota di milis Dosen Dikti. Postingan tersebut mengutip editorial dari majalah Science terbitan 17 Mei 2013 yang sepakat dengan rilis dari the San Fransisco Declaration on Research Assessment (DORA). DORA merupakan salah satu hasil dari pertemuan the American Society for Cell Biology (ASCB) yang diadakan di San Fransisco sekitar Desember 2012. Untuk melihat deklarasi yang dimaksud di atas secara utuh dapat diunduh di link berikut: am.ascb.org/dora/files/SFDeclarationFINAL.pdf.

DORA bertujuan untuk mengkoreksi distorsi yang terjadi dalam mengevaluasi karya penelitian, khususnya pengunaan Journal Impact Factor (JIF) atau Impak Faktor Jurnal untuk menilai kualitas keilmuan seseorang. Majalah Science mengabarkan bahwa DORA telah didukung oleh sedikitnya 150 orang ilmuwan terkemuka dan 75 organisasi keilmuan termasuk the American Association for the Advancement of Science (AAAS) yang menaungi Science. Sekedar memberikan wawasan bahwa salah satu cara perhitungan JIF adalah rata-rata banyaknya artikel yang dikutip orang lain pada artikel-artikel yang diterbitkan untuk satu tahun jurnal (kutipan terhadap artikel yang dihasilkan oleh diri sendiri tidak dihitung) dibagi dengan banyaknya artikel yang diterbitkan untuk satu tahun jurnal. Contoh jika menggunakan cara perhitungan diatas, suatu jurnal memperoleh nilai JIF 2 berarti untuk satu tahun tertentu banyaknya artikel yang dikutip dari jurnal tersebut sebanyak dua kali dari banyaknya artikel yang terbit.

Jamak kita melihat praktek penilaian karya penelitian seseorang didasarkan adanya (untuk negara maju mungkin kata “adanya” diganti dengan “banyaknya”) artikel yang dipublikasikan di jurnal yang memiliki JIF tinggi (atau paling minimal terindeks). Tak usah jauh-jauh, Ubaya menerapkan kebijakan bahwa makalah harus dipublikasikan pada prosiding yang terindeks Scopus dan setara pada salah satu butir syarat untuk mengikuti seminar luar negeri. Khusus dalam hal penggunaan JIF, asumsi yang digunakan adalah semakin tinggi JIF dari suatu jurnal maka semakin berkualitas jurnal tersebut. Kemudian jika semakin berkualitas sebuah jurnal maka semakin berkualitas juga artikel yang diterbitkan di jurnal tersebut. Hal itu kemudian berimplikasi pada semakin berkualitas peneliti yang menghasilkan artikel di jurnal tersebut.

Science mengarisbawahi bahwa di beberapa negara maju, penggunaan JIF sangat menggila, untuk publikasi artikel di jurnal dengan JIF dibawah 5,0 mereka memberikan nilai 0. Mereka menggunakan JIF untuk banyak tujuan seperti untuk tujuan promosi, akreditasi, sertifikasi, dan pemberian dana. Penggunaan JIF yang masif dan meluas tersebut ditenggarai menimbulkan efek-efek destruktif seperti penilaian yang bias untuk artikel-artikel penting yang berada pada bidang yang tidak banyak peminat seperti astronomi dan matematika.

Publikasi DORA sontak menimbulkan pro dan kontra, baik pada praktek penggunaan JIF maupun pada DORA atau yang mendukung DORA. Pihak yang pro JIF antara lain mengatakan bahwa JIF sangat efektif menseleksi peneliti-peneliti yang berkualitas. Mereka berargumen bahwa sudah hukum alam bahwa kebanyakan yang terbaik muncul dari proses seleksi yang ketat. Sedangkan mereka yan kontra menyatakan bahwa JIF berpotensi untuk menghambat inovasi keilmuan dari ilmu-ilmu yang berada di luar ilmu-ilmu yang sedang tren. Ada juga mereka yang kontra DORA juga mengatakan bahwa ilmuwan-ilmuwan yang menolak penggunaan JIF pastilah ilmuwan-ilmuwan yang tidak mampu bersaing, sebaliknya yang pro DORA menuduh bahwa JIF berpotensi untuk dimanipulasi dengan tidak transparannya data dan metrik yang digunakan oleh pengelola jurnal.

Penulis membaca salah satu tanggapan seseorang yang cukup netral yaitu: persoalan JIF dengan kualitas keilmuan seorang peneliti dapat dianalogikan dengan klasemen dan sistim pemeringkatan kualitas pemain sepakbola. Orang tersebut mengatakan bahwa sudah hukum alam bahwa klub-klub terbaik berisikan pemain-pemain terbaik. Klub-klub tersebut akan melakukan upaya-upaya terbaik untuk memastikan pemain-pemain yang dimilikinya berkualitas dan memiliki level permainan yang tinggi. Pemain-pemain dari klub terbaik tersebut biasanya mendominasi pemain untuk timnas, bergaji tinggi, dan hal-hal domina lainnya. Tapi, selalu ada pengecualian. Ada juga pemain bagus yang tidak berada ada klub terbaik. Apalagi jika hal tersebut kita lihat dalam sejarah ilmu pengetahuan. Banyak ilmuwan berkarya di tempat yang tidak subur secara ide keilmuan. Ramanujan dan Abdus Salam adalah beberapa contoh yang dapat kita ajukan untuk itu.

Penulis berpendapat penilaian kualitas keilmuan individu tidak boleh diserahkan sepenuhnya hanya pada berapa banyak dan seringnya artikel seorang ilmuwan dipublikasikan di jurnal dengan JIF tinggi. Dari dokumen peta alir sitasi antar dan di dalam bidang ilmu yang dipunyai CRDF Global, yaitu sebuah organisasi nirlaba yang berkaitan dengan pengembangan sains di beberapa belahan dunia, terlihat jalur gemuk terjadi hanya untuk beberapa bidang ilmu tertentu. Untuk sains, jalur gemuk sitasi terlihat untuk bidang kedokteran, neuroscience, dan moleculer dan cell biology (yang semuanya kebetulan bidang-bidang ilmu hayati), sedangkan untuk ilmu sosial, jalur gemuk tersebut berkisar pada bidang psikologi, psikiater, dan ekonomi. Artinya JIF yang tinggi pastilah banyak terdapat pada jurnl-jurnal yang diterbutkan bidang-bidang tersebut. Kalau tren seperti ini dikuatkan dengan seleksi promosi, akreditasi, atau kriteria pemberian dana penelitian maka akan banyak cabang-cabang keilmuan yang akan mati perlahan-lahan. Padahal salah satu cara perkembangan ilmu pengetahuan adalah dengan proses diskusi. Tautan antara cabang ilmu kadangkala mengejutkan, siapa sangka bahwa seni dan matematika dapat menyatu dalam suatu topik yang disebut algoritma semut. Komunitas keilmuan sebaiknya jangan menutup mata tentang bahaya-bahaya besar yang mungkin terjadi karena fanatisme yang terlalu kuat pada JIF.

Sebagai sebuah ukuran (metric) untuk pemeringkatan jurnal dengan cara tertentu, JIF boleh-boleh saja. Bersaing untuk dapat memasukkan artikel di jurnal dengan JIF tinggi juga adalah hal yang menyehatkan. Tapi menilai kualitas keilmuan individu hanya berdasarkan ukuran JIF adalah picik. Untuk lebih fair dan objektif, sertakan juga aspek-aspek lain secara seimbang sewaktu menilai kemampuan keilmuan individu contohnya sertakan aspek dampak ke kemanusian atau aspek etika.