Propaganda Abu-Abu dengan Angka fadjar April 24, 2013

Propaganda Abu-Abu dengan Angka

Oleh: Hazrul Iswadi

Departemen MIPA Ubaya

Berbarengan dengan menjelang pesta politik pada tahun 2014 yang akan datang maka suhu politikpun mulai meningkat akhir-akhir ini. Semua mesin partai politik menjadi panas dan sensitif dengan semua isu sosial kemasyarakatan. Berbagai pihak yang berkepentingan dengan pesta politik tersebut telah, sedang atau mulai meningkatkan aktifitas dan segala jurus politiknya. Bagi para politikus, segala aksi dan teori yang dapat meningkatkan elektabilitas atau keterpilihan akan didayagunakan semaksimal mungkin.

Semakin gencar dan intens upaya komunikasi yang dilakukan oleh para politikus ke masyarakat maka upaya komunikasi tersebut semakin berubah menjadi bentuk propaganda. Hal itu wajar karena para politikus membutuhkan respon lebih jauh dari masyarakat berupa keputusan untuk memilih mereka sebagai anggota legislatif ataupun eksekutif nantinya. Para politikus membutuhkan keberpihakan masyarakat dan tidak hanya sekedar simpati sehingga komunikasi berupa persuasi tidaklah cukup.

Eeeits, tunggu dulu! Pasti tidak semua politikus mau menerima bahwa upaya komunikasinya ke masyarakat disebut dengan propaganda karena istilah propaganda sudah terlanjur mendapatkan reputasi yang buruk dalam sejarah. Baik pihak yang menang ataupun yang kalah dalam setiap perperangan dalam sejarah menggunakan upaya-upaya propaganda. Contoh-contoh propaganda yang telah dilakukan dalam sejarah adalah propaganda oleh rezim Nazi pada rakyat Jerman pada saat perang dunia pertama dan kedua dan propaganda Pentagon melalui media massa ke masyarakat Amerika dan dunia tentang adanya senjata pembunuh massal di Irak pada saat invasi ke Irak.

Menurut G.S. Jowett, dalam bukunya yang berjudul Propaganda and Persuasion, 5th Edition (2012), berdasarkan identifikasi dari sumber propaganda dan akurasi informasi terdapat tiga jenis propaganda yaitu propaganda putih, abu-abu, dan hitam. Propaganda putih berasal dari sumber yang dapat diidentifikasi dengan benar dan pesan yang disampaikan cenderung akurat, sedangkan propaganda hitam adalah kebalikan dari propaganda putih. Kemudian propaganda abu-abu berada di antara keduanya dimana sumber dapat diidentifikasi dengan benar atau bisa juga tidak dan keakuratan dari informasi tidak pasti.

Berdasarkan tiga jenis propaganda di atas maka propaganda abu-abu lebih sulit dikenali dibandingkan dengan propaganda hitam atau propaganda putih. Jika sumber dari propaganda tidak jelas, rumor, hoax, kicauan, atau ajakan dari facebook yang dikeluarkan oleh anonimous serta data yang diberikan samar, tidak konsisten, tidak berdasar maka pastilah propaganda yang dilakukan adalah propaganda hitam.

Bilangan dan angka-angka sering digunakan oleh banyak pihak untuk dijadikan sebagai alat propaganda. Kita dapat melihat fenomena tersebut dalam beberapa iklan dan kutipan politikus pada hasil survey. Terlepas dari tudingan adanya lembaga survey pesanan dan seterusnya, beberapa politikus dengan sadar meng-highlight angka-angka hasil survey untuk iklan pribadinya. Atau, beberapa partai politik menyebar kadernya untuk berbicara dalam debat-debat politik di televisi atau panggung diskusi sambil mengutip angka-angka hasil survey.

Memilih bilangan sebagai alat propaganda bagi politikus Indonesia pada jaman sekarang adalah hal yang strategis. Semakin tingginya angka melek huruf dan angka masyarakat Indonesia memberi jaminan bahwa propaganda dengan bilangan akan bekerja dengan baik. Tingkat pendidikan masyarakat yang semakin tinggi membuat semakin banyak jumlah orang yang mengerti arti dan penggunaan simbol angka dan bilangan. Bilangan yang selalu dilekatkan dengan cara berfikir logis dan rasional mempengaruhi pemahaman psikologis masyarakat tentang bilangan bahwa bilangan selalu berkaitan dengan hal-hal yang benar dan terukur. Karena pengalaman selama mendapatkan selama pendidikan formal, dalam hal ini semua pelajaran yang berkaitan dengan matematika, masyarakat semakin akrab dengan kebenaran yang terkandung dalam bilangan dan angka.

Bilangan yang mengandung satu arti merupakan domain yang dikerjakan oleh para matematikawan. Sifat-sifat bilangan diturunkan dari operasi-operasi yang dikerjakan pada himpunan bilangan itu sendiri, tidak atas himpunan yang lain. Misalkan sifat bilangan sebagai bilangan prima, kuadrat ataupun komposit yang semuanya diturunkan dari sifat keterbagian bilangan bulat.

Pengalaman akan kebenaran atas angka dan bilangan yang dialami di matematika membuat masyarakat seringkali lengah dengan angka dan bilangan yang disajikan oleh media, penguasa, atau pihak-pihak yang berkepentingan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal bilangan memiliki arti berbeda-beda dan tertentu dalam kehidupan sehari-hari jika kita tempatkan sesuai dengan konteksnya. Angka 5000 akan memiliki arti yang jauh berbeda jika mempunyai dimensi yang beda misalkan jika diikuti oleh kata “rupiah” atau “dolar”.

Angka 20 persen untuk elektabilitas dari nama tertentu untuk jadi capres dari suatu lembaga survey harus dikaitkan dengan metodologi lembaga survey tersebut seperti anggota masyarakat apa saja yang menjadi responden, bagaimana cara pengambilan sampel, margin error-nya berapa, dan hal-hal lainnya tidak akan bisa dilepaskan dari presetase yang disajikan. Sehingga jika seseorang mendapatkan angka 20 persen elektabilitas maka angka tersebut tidak berdiri sendiri. Ia harus diikuti oleh dimensi-dimensi yang berkaitan dengan metodologi untuk menghasilkannya. Nah, disinilah letak masalahnya. Banyak politikus mengutip hasil survey dengan memisahkan antara angka hasil survey dengan dimensi-dimensi yang seharusnya mengikutinya. Mereka dengan sengaja mengaburkan dimensi-dimensi tersebut untuk menghindarkan kritisi dan mengefektifkan propaganda. Dalam kasus tersebut, para politikus tersebut sudah melakukan propaganda abu-abu karena keakuratan informasi menjadi tidak pasti.