Abdi Dalem Keraton Yogyakarta : Kesetiaan dan Agen Pelestari Budaya fadjar April 16, 2013

Abdi Dalem Keraton Yogyakarta : Kesetiaan dan Agen Pelestari Budaya

Listyo Yuwanto

Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

Bagi pembaca yang pernah berkunjung ke Keraton Yogyakarta pasti menemukan orang-orang dengan pakaian khas Jawa di dalam lingkungan keraton. Mereka berjalan tidak berdampingan tetapi berurutan depan belakang seperti orang mengantri, menggunakan bahasa Jawa bila berbicara, dan tidak menggunakan alas kaki. Mereka adalah abdi dalem keraton, yaitu orang yang mengabdi pada Raja Keraton Yogyakarta.

Abdi dalem keraton dikenal mendapatkan imbalan yang kecil bahkan tidak mendapatkan imbalan apa-apa ketika masih magang. Namun bukan imbalan yang menjadi dasar untuk menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta. Bila kita bayangkan di masa lalu ketika Keraton Yogyakarta menjadi pusat politik dan kekuasaan di Jawa, menjadi abdi dalem seperti menjadi pegawai negeri sipil di masa Republik. Namun di masa sekarang dengan beban ekonomi dan tanggungan kehidupan yang besar, imbalan yang kecil apakah cukup? Beberapa abdi dalem yang pernah penulis tanyakan tentang hal ini menyatakan cukup. Mereka bukan mencari imbalan yang besar dengan menjadi abdi dalem, mereka mencari ketenangan hidup dan mewujudkan kesetiaan kepada Keraton Yogyakarta.

Saat bergabung menjadi abdi dalem, mereka mendapatkan ketenangan hidup. Hidup rasanya tenteram dalam lingkungan keraton, karena dalam keraton tidak banyak konflik, semuanya diatur, semuanya manusia dimanusiakan. Hal ini tidak terlepas dari prinsip Manunggaling Kawula Gusti yang menunjukkan bahwa antara atasan dan bawahan saling menyatu, saling membutuhkan dan menghargai. Keraton tetap lestari sampai sekarang bukan hanya karena Raja sebagai pemimpin, tetapi juga karena peran dari para abdi dalem. Lebih tinggi lagi konsep tentang Manunggaling Kawula Gusti, bahwa manusia termasuk semua yang ada di dalam keraton mulai Raja, Pangeran, dan abdi dalem harus hidup dalam suasana spiritualitas, berhati-hati dalam hidup, dengan Tuhan sebagai kontrol perilaku dalam hidup.

Ketika bawahan mendapatkan ketenangan hidup, maka pemimpin telah menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang adil. Sangat sulit mendapatkan pemimpin yang adil bagi bawahan. Sampai saat ini keraton Yogyakarta masih memiliki pemimpin yang adil bagi abdi dalem. Ketenangan hidup ini mendasari kesetiaan abdi dalem untuk terus mengabdi pada Keraton Yogyakarta. Bahkan sampai diwariskan, keturunan abdi dalem biasanya akan menjadi abdi dalem juga. Kesetiaan abdi dalem ini juga didasarkan sebagai ungkapan rasa terimakasih karena dapat hidup di atas tanah keraton Yogyakarta. Jadi jelas bahwa bukan imbalan uang yang menjadi dasar menjadi abdi dalem, tetapi kesetiaan.

Terdapat beberapa manfaat yang dipetik dari kesetiaan abdi dalem. Terutama sebagai agen pelestari budaya. Abdi dalem masih melestarikan budaya Jawa, tidak hanya dalam ranah kognitif yang sekadar tahu, tetapi masih melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh menggunakan bahasa Jawa halus (Krama Inggil) saat berbicara kepada orang yang lebih tua atau dihormati sebagai wujud penghargaan. Saat berjalan, ketika berbicara harus berhenti dulu untuk lebih memahami apa yang dibicarakan. Tidak banyak berbicara daripada banyak berbicara membicarakan orang lain ataupun berbicara buruk. Menggunakan pakaian adat Jawa dalam kesehariaannya. Ini adalah contoh-contoh dalam bentuk perilaku yang didasari budaya Jawa.

Abdi dalem memang menjadi agen pelestari budaya melalui kesetiaan yang mereka tunjukkan. Mereka menjadi contoh bagi masyarakat yang melihat, generasi muda, ataupun orang lain yang tidak mengetahui sama sekali tentang budaya Jawa. Abdi dalem tetap bangga dengan perilaku keseharian yang ditata berdasarkan budaya Jawa meskipun banyak orang mengatakan mereka sudah ketinggalan jaman. Tetapi panggilan kesetiaan pada budaya perlu kita contoh untuk melestarikan budaya kita masing-masing.