Bangsa Reaktif Butuh Provokatif : Evaluasi Kasus Klaim Budaya Malaysia fadjar June 18, 2012

Bangsa Reaktif Butuh Provokatif : Evaluasi Kasus Klaim Budaya Malaysia

Listyo Yuwanto
Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

Negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan. Tidak ada yang meragukan kekayaan budaya Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa. Musuh utama budaya Indonesia ada dua. Pertama generasi muda yang kurang berminat untuk melestarikan budaya Indonesia. Generasi muda sebagian besar hanya sekadar tahu secara kognitif tentang budaya Indonesia. Untuk mencintai secara afektif dan mempraktekkan (misalnya untuk tari-tarian adat) atau menggunakan (misalnya pakaian adat, bahasa daerah) kesadaran tersebut masih sangat rendah. Generasi muda hanya sekadar memiliki budaya tersebut secara kognitif tidak sampai afektif ataupun konatif.

Musuh kedua adalah klaim negara lain terhadap kepemilikan budaya Indonesia. Negara yang paling aktif mengklaim budaya Indonesia sebagai miliknya adalah Malaysia. Telah terdapat banyak contoh budaya Indonesia yang diklaim Malaysia. Misalnya Reog Ponorogo, Batik, dan yang terakhir adalah tari Tor-Tor. Klaim yang dilakukan Malaysia selalu mendapatkan reaksi keras dari masyarakat Indonesia. Di situs jejaring sosial tanggapan, protes, sampai makian diteriakkan masyarakat Indonesia dan yang paling terkenal adalah sebutan Malingsia untuk Malaysia. Malingsia artinya Malaysia Maling atau pencuri karena klaim-klaim sepihak yang dilakukan Malaysia terhadap budaya Indonesia.

Reaksi-reaksi tersebut muncul sebagai bentuk tanggapan terhadap klaim Malaysia. Reaksi-reaksi yang ditunjukkan secara tidak langsung menggambarkan bahwa negara Indonesia tidak rela budayanya diambil negara lain. Hal itu wujud kecintaan masyarakat Indonesia terhadap budaya warisan nenek moyang. Namun sungguh ironis, dalam kondisi tidak ada klaim dari negara lain generasi muda negara Indonesia malah tergila-gila dengan budaya bangsa lain. Contoh terkini adalah idolisme generasi muda pada budaya Korea dan cenderung memandang rendah atau menganaktirikan budaya sendiri. Ada hikmah juga budaya Indonesia diklaim negara lain, karena merupakan bentuk ujian kecintaan masyarakat Indonesia terhadap budaya warisan nenek moyang. Malaysia sebagai contoh negara provokatif yang membuat Indonesia reaktif. Sebagai contoh batik akhirnya tidak hanya dicintai secara kognitif, tetapi afektif dan bahkan perilaku. Kalau dahulu batik hanya digunakan kalangan terbatas dan acara-acara formal tertentu sekarang menjadi wajib digunakan pada waku tertentu di perusahaan, sekolah, ataupun organisasi. Negara Indonesia memang dikenal sebagai negara reaktif daripada antisipatif. Bereaksi setelah ada kasus atau kejadian merupakan ciri khas negara kita.

Budaya bangsa memiliki fungsi penting bagi negara Indonesia. Budaya merupakan warisan nenek moyang secara kolektif. Warisan ini memiliki fungsi psikologis sebagai ikatan negara Indonesia dengan nenek moyang. Mengacu pada konsep rootedness (keterikatan) Erich Fromm, bahwa individu memiliki keterikatan dengan sesuatu dalam hidup. Keterikatan ini membuat individu merasa berarti dalam hidup dan secara spesifik ketika menginjakkan kaki dan hidup di tanah Indonesia sehingga dapat dimaknai sebagai tanah air. Setiap budaya warisan nenek moyang memiliki makna psikologis. Dari tinjauan antropologi warisan nenek moyang menyimbolkan warisan akal budi atau olah budi nenek moyang yang seharusnya dijaga kelestariannya. Tinjauan sosiologis menunjukkan nilai-nilai atau norma sosial yang berlaku pada masa tertentu tergambar dalam warisan budaya nenek moyang. Jadi tidak salah bila budaya bangsa merupakan identitas bangsa. Mari kita menjunjung tinggi budaya bangsa, mencintai budaya bangsa tidak hanya secara kognitif, tetapi meliputi afektif dan konatif.