Berubah Setelah Tenar : Analisis Sebuah Pabrik Cokelat Lokal fadjar April 11, 2011

Berubah Setelah Tenar : Analisis Sebuah Pabrik Cokelat Lokal

Oleh : Listyo Yuwanto

Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

Sebuah perusahaan yang bidang utamanya menjual produk pada umumnya dimulai dari pengenalan produk. Pengenalan produk baru membutuhkan usaha besar ketika di tengah pasar telah terdapat banyak produk sejenis dan telah memiliki segmentasi pasar tertentu. Kondisi ini juga dialami oleh sebuah pabrik cokelat X yang terletak di sebuah kota yang dikenal sebagai kota wisata budaya di Indonesia. Pabrik cokelat ini tergolong pada usaha kecil menengah saat awal pendiriannya, tidak banyak orang yang mengenal produknya bahkan termasuk penduduk lokal dan para pemandu wisata kota tersebut. Pengenalan produk cokelat ini sangat terbantu oleh rasa yang menurut beberapa konsumen termasuk enak, merk produk cokelatnya yang sangat khas berbahasa kota tersebut, dan popularitas kota budaya. Lambat laun banyak konsumen yang mengenal produknya dan mulai membeli langsung dengan datang ke pabriknya meskipun letaknya di pinggiran kota tergolong cukup jauh dari pusat kota.

Beberapa alasan konsumen untuk membeli secara langsung ke pabrik daripada di toko-toko yang menyediakan produk tersebut antara lain : (a) harga yang relatif lebih murah, (b) ada kebanggaan lebih dari konsumen ketika membeli secara langsung di pabrik, (c) produk baru dibuat sehingga lebih lama untuk expired date-nya, (d) mengunjungi pabrik dianggap sebagai bentuk wisata karena berada di kota wisata. Berdasarkan beberapa alasan tersebut, dapat diketahui bahwa motivasi konsumen membeli dengan datang secara langsung ke pabrik cokelat bukan hanya karena kebutuhan biologis akan rasa cokelat, namun terdapat kebutuhan harga diri.

Intinya pabrik cokelat ini makin populer dan produknya makin bervariasi. Beberapa konsumen menyatakan bahwa produknya unik berdasarkan rasa yang belum pernah ditemukan pada cokelat merk lain. Namun seiring dengan makin tenarnya produk maka beberapa kekurangan juga mulai nampak. Misalnya saja dari beberapa data yang dikumpulkan penulis antara lain : (a) konsumen yang mengeluhkan tentang bahasa yang digunakan pramuniaga yang melayani penjualan di pabrik cokelat tersebut. Bahasa yang digunakan oleh pramuniaga selalu menggunakan bahasa Indonesia bukan bahasa daerah atau bahasa lokal kota tersebut. Setelah diruntut ternyata motivasi utama konsumen ini datang membeli cokelat ke pabrik untuk mencari kekhasan dalam transaksi jual beli melalui bahasa. Ia memulai berinteraksi dengan pramuniaga menggunakan bahasa lokal kota tersebut, namun pramuniaga menjawab dengan menggunakan bahasa Indonesia. Apakah ini artinya pramuniaga tidak memahami bahasa lokal? Tentunya tidak, karena mereka berasal dari kota tersebut dan menjawab dengan bahasa Indonesia secara benar sesuai dengan maksud konsumen, (b) pemilah-milahan pelayanan pada konsumen, terdapat kecenderungan lebih mendahulukan konsumen yang membeli produk dalam jumlah lebih banyak daripada yang hanya membeli sedikit. Kondisi ini dinilai konsumen merendahkan harga diri mereka. (c) ketidakkonsistenan tentang informasi produk yang dijual, misalnya produk yang dijual hanya pada periode atau event tertentu, sebagai contoh kasus saat konsumen datang mencari cokelat putih dijawab oleh pramuniaga bahwa cokelat putih diproduksi hanya pada periode X, saat menjelang periode X konsumen datang menanyakan apakah produk tersebut akan keluar, pramuniaga menjawab produk hanya keluar pada periode Y. Konsumen merasa dipermainkan, sekali lagi harga diri yang tersinggung.

Mangacu pada teori Maslow tentang hirarki kebutuhan manusia, berdasarkan tingkat kebutuhan yang paling dasar adalah kebutuhan biologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan cinta dan kasih sayang, kebutuhan harga diri, kebutuhan aktulisasi diri, dan kebutuhan transendensi. Maslow menyatakan kebutuhan dasar harus dipenuhi terlebih dahulu sehingga kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi dapat dipuaskan. Bila perusahaan cokelat tersebut mengacu pada teori hirarki Maslow, maka apa yang dilakukan pramuniaga tersebut benar, yang penting adalah rasa, yang penting adalah lidah merasa nyaman dan perut kenyang, perlakuan terhadap konsumen nomor setelahnya. Namun dalam kasus kepuasan konsumen, salah satu indikator kepuasan konsumen adalah kualitas layanan. Kualitas layanan dapat mengacu pada kualitas produk dan kualitas pelayanan yang dilakukan. Banyak kasus kualitas pelayanan dinilai lebih tinggi daripada kualitas produk. Kualitas produk yang baik namun tidak diimbangi dengan kualitas pelayanan tetap saja menggambarkan kualitas layanan yang buruk. Seharusnya kualitas produk dan kualitas pelayanan berjalan beriring secara seimbang. Prinsip Maslow tidak dapat diterapkan pada kasus pramuniaga pabrik cokelat tersebut.

Apakah rasa dan kekhasan produk cokelat dapat mengalahkan harga diri yang direndahkan oleh pramuniaga yang melayani penjualan cokelat tersebut, sehingga konsumen terus akan datang dan membeli meskipun harga dirinya direndahkan? Nampaknya belum ada upaya pengenalan segmentasi pasar dan karakteristik konsumen dari pabrik cokelat tersebut, namun hal ini masih perlu dianalisis lebih lanjut.