Memberantas Budaya Korupsi dengan Pendidikan dan Hukum samueldim November 17, 2021

Memberantas Budaya Korupsi dengan Pendidikan dan Hukum

Ilustrasi: freepik.com (@macrovector)

Sabtu, 23 Oktober 2021 Program Studi Magister Psikologi Sains Universitas Surabaya (Ubaya) mengadakan webinar. Dengan tema “Perilaku Anti Korupsi (Tahap 2): Perspektif Ilmu Hukum dan Praktisi Hukum”, diharapkan webinar ini bermanfaat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan akibat dari tindakan tersebut. Webinar dibawakan oleh Dr. Go Lisanawati, M.Hum., selaku Dosen Laboratorium Hukum Pidana Ubaya dan Dr. Andreas Eno Tirtakusuma, S.H., M.H selaku Hakim Ad Hoc Tipikor Tingkat Banding Pengadilan Tinggi Palangka Raya. Go membawakan materi “Peran Pendidikan Anti Korupsi Untuk Pencegahan Tindak Pidana Korupsi” sedangkan Andreas berbicara tentang “Pengadilan dan Tipikor”.

“Korupsi di Indonesia sudah menjadi budaya, terbukti dari angka kasus yang selalu meningkat setiap tahunnya,” ujar Go membuka materi. Menurutnya, diperlukan usaha yang luar biasa dalam melawan korupsi untuk menguranginya secara efektif. Hal ini dikarenakan ia merasa bahwa dampak korupsi selama ini cukup merusak bagi masyarakat Indonesia. “Infrastruktur masyarakat menjadi tidak memadai akibat tindakan tersebut,” jelasnya. Dalam menanggulangi hal ini dilakukan pendekatan budaya melalui pendidikan anti korupsi. “Keuntungan dengan melakukan metode pendekatan ini yaitu biayanya tidak besar,” tambahnya lagi. Tetapi, kekurangan dalam cara tersebut adalah memerlukan waktu yang lama agar dapat berhasil. “Walaupun demikian, manfaat dalam jangka panjang akan dirasakan melalui metode budaya anti korupsi,” ujar Go mengakhiri pembicaraan.

Sesi materi “Pengadilan dan Tipikor” dibuka Andreas dengan menjelaskan arti dari kata korupsi, yaitu merusak dan membuat kemerosotan. “Korupsi adalah perbuatan menyalahgunakan jabatan untuk menguntungkan pribadi dari hak-hak milik pihak lain,” ujar Andreas mengutip Black’s Law Dictionary. Oleh sebab ini, perilaku korupsi dapat dikatakan sebagai tindakan jahat. “Pelaku tindak korupsi dapat dikenai hukum pidana karena merupakan tindakan jahat sesuai pada perundang-undangan,” jelas Andreas. “Meskipun begitu, pengadilan tidak berdampak besar dalam mengurangi korupsi karena kita hanya menindak kasus yang sudah terjadi,” tegas Andreas. Atas dasar itu, Andreas menekankan bahwa kesadaran hukum dan peran masyarakat sangat esensial untuk mengurangi korupsi.

Setelah sesi materi, partisipan diberi kesempatan untuk bertanya, salah satunya Stevani Citrayani. “Apa saja yang harus dilakukan dalam melaporkan gratifikasi?” tanyanya. Go mengawali jawabannya dengan menjelaskan pihak-pihak yang dilarang menerima gratifikasi, seperti hakim, gubernur, dan duta besar. “Selama masih dapat dikategorikan sebagai pegawai negeri, maka dilarang dalam menerima gratifikasi dan dapat dijerat sesuai undang-undang,” jelasnya. “KPK kemudian wajib melakukan proses evaluasi dan analisis terhadap laporan yang diberikan selama bukti-bukti yang diberikan cukup,” tutup Go.(RE3, et)