Krisis Energi Tingkatkan Ketidakpastian Pemulihan samueldim November 16, 2021

Krisis Energi Tingkatkan Ketidakpastian Pemulihan

JAKARTA – Krisis energi yang mulai melanda beberapa negara diperkirakan bisa meningkatkan ketidakpastian pemulihan ekonomi global pada 2022 mendatang. Krisis energi itu menjadi salah satu tantangan setelah berbagai isu lainnya seperti kekhawatiran gelombang ketiga dari varian baru Covid-19 dan ketimpangan distribusi vaksin.
Direktur Pemeriksaan Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Edi Broto Suwarno dalam diskusi dengan sebuah media di Jakarta, Jumat (29/10) mengatakan krisis energi berpotensi menimbulkan kenaikan harga komoditas dan pada akhirnya diikuti lonjakan harga bahan baku dan logistik.
Hal itu jelas Edi yang menjadi salah satu pertimbangan Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun depan menjadi 4,9 persen (yoy). Proyeksi itu, lebih rendah dibandingkan perkiraan pertumbuhan ekonomi global tahun ini yang sebesar 5,9 persen (yoy).
Menurut dia, ekonomi global saat ini sudah mulai kembali pulih setelah sempat mengalami perlambatan akibat penyebaran berbagai varian Covid-19. Pemulihan didorong oleh masifnya pelaksanaan vaksinasi dan penanganan pandemi di negara maju sehingga mobilitas masyarakat dan aktivitas perekonomian mulai berjalan kembali.
Begitu pula pertumbuhan ekonomi negara-negara sedang berkembang juga semakin membaik, tercermin dari meningkatnya Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) dan penjualan ritel serta PMI manufaktur yang kembali ke zona ekspansif.
Guru Besar ekonomi Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto yang diminta tanggapannya mengatakan krisis energi pasti mengganggu upaya pemulihan ekonomi global. Sebab itu, krisis energi semestinya jadi momentum bagi negara-negara di dunia untuk mempercepat konversi energi dari penggunaan energi fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT).
‘Jika negara-negara maju panik, artinya mereka sudah mengalami keterlambatan melakukan transformasi ke EBT. Padahal mereka sudah memulai proses transformasi itu. Lebih-lebih negara-negara sedang berkembang, makin terlambat lagi. Ini menunjukkan dunia harus segera beralih ke EBT, karena memang energi fosil banyak kendalanya, mulai kerusakan lingkungan, anomali iklim, sampai persediaannya yang akan habis. Intinya negara-negara harus lebih siap mengantisipasi perubahan yang ada,’ kata Wibisono.
Rektor Universitas Widya Mataram Yogyakarta (UWMY), Edy Suandi Hamid secara terpisah mengatakan krisis energi dunia dan ancaman gelombang ketiga sangat mungkin memicu krisis lanjutan. Sebab itu, Indonesia harus memetik pelajaran dan benar-benar mendorong kemandirian ekonomi baik pangan maupun energi agar bisa terus survive.
Apalagi dengan sistem ekonomi saat ini yang sangat terbuka lebih rentan pada apa pun yang terjadi di dunia. ‘Kalau sampai krisis energi ini meluas, maka harga barang akan melonjak, terutama komoditas impor, makanya kita harus mensubstitusi barang impor dengan produksi dalam negeri,’ kata Edy.
Di tengah situasi yang sangat rentan, berbagai isu lainnya seperti perubahan iklim juga makin nyata. Oleh karena itu, dia berharap pemerintah bekerja dengan fokus untuk menciptakan kemandirian nasional. ‘Pasar dalam negeri masih cukup kuat kalau saja impor bisa ditekan. Masalah utama ekonomi nasional adalah impor barang konsumsi yang tinggi. Sementara ekspor tidak kunjung lepas dari ekspor komoditas,’ katanya.
Krisis energi dunia hari ini harus jadi sinyal kuat segera beralih dari energi fosil ke energi terbarukan. ‘Indonesia kalau tidak bersiap dari sekarang, krisis energi di masa depan sangat mungkin akan terjadi karena energi fosil itu kotor dan merusak serta terbatas. Jadi sangat penting memulai dengan energi bersih sekarang,’ katanya.
Defisit Anggaran
Sementara itu, Direktur Celios, Bhima Yudisthira mengatakan strategi mitigasi risiko untuk mengantisipasi krisis energi adalah mendorong kerja sama swasta dan pemerintah untuk memacu dan meningkatkan investasi ke pembangkit EBT, karena harga bahan bakar fosil pasti semakin mahal.
Senda dengan Bhima, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis dari Universitas Diponegoro Semarang, Esther Sri Astuti mengatakan pemerintah harus mandiri baik di sektor pangan maupun energi. ‘Impor bahan bakar sudah membuat defisit anggaran negara. Energi Baru Terbarukan harus digenjot dan melakukan hilirisasi komoditas unggulan,’ kata Esther.
Sumber: koran-jakarta.com