Penanggulangan Dampak Bencana Bagi Anak Berkebutuhan Khusus samueldim November 5, 2021

Penanggulangan Dampak Bencana Bagi Anak Berkebutuhan Khusus

Senin, 16 Oktober 2021 Kelompok Studi Psikologi Bencana Universitas Surabaya (KSPB Ubaya) mengadakan webinar. Dengan tajuk “Disaster Adaptive Behavior untuk Individu Berkebutuhan Khusus”, diharapkan webinar ini bermanfaat untuk meningkatkan kesadaran terhadap mitigasi risiko bencana bagi penyandang disabilitas. Dalam webinar ini, KSPB mengundang dua narasumber yaitu Dr. Dra. Lena Nessyana Panjaitan, M. Ed., Psikolog selaku Kepala Laboratorium Psikologi Pendidikan Ubaya dan Listyo Yuwono, M. Psi., Psikolog selaku Koordinator KSPB Fakultas Psikologi Ubaya. Nantinya, Lena akan membahas tentang “Kerentanan Individu Berkebutuhan Khusus dalam Bencana”. Sedangkan Listyo memaparkan materi terkait “Disaster Adaptive Behavior”.

“Wilayah Indonesia berpotensi untuk menimbulkan bencana,” ujar Lena membuka sesi materi. Ia menjelaskan bahwa keadaan alam dan lingkungan di Indonesia menimbulkan ancaman seperti gempa serta gunung meletus. “Semua orang rentan dalam situasi bencana ini tanpa terkecuali,” jelas Lena. Dengan mengetahui berbagai potensi ancaman yang mungkin terjadi, Lena menekankan dibutuhkannya upaya-upaya untuk menanggulangi resiko dampak bencana. “Terutama kelompok lansia dengan mobilitas terbatas dan anak-anak yang kemampuan kognitifnya belum terbentuk,” lanjut Lena.

Dalam lanjutan sesi materi, Lena menekankan bahwa anak berkebutuhan khusus merupakan golongan yang paling rentan dalam situasi bencana. Anak berkebutuhan khusus meliputi penderita disabilitas fisik, mental, tunaganda, kesulitan belajar, dan potensi kecerdasan istimewa. “Walaupun begitu, mereka juga mempunyai hak untuk belajar dan menjadi mandiri, sama seperti anak-anak lain,” jelas Lena. Ia menambahkan bahwa dalam lingkup pendidikan, tenaga pengajar juga harus mampu untuk mengidentifikasi serta menyesuaikan dengan siswa berkebutuhan khusus. “Hal ini dilakukan supaya siswa mendapatkan bekal untuk mempersiapkan diri terhadap krisis,” lanjutnya.

Lebih lanjut, Lena menjelaskan bahwa perlu ada berbagai pendukung yang optimal di sekolah dengan siswa berkebutuhan khusus. “Infrastruktur seperti jalur kursi roda, pintu keluar dorong, dan ujung meja yang diberi pelindung akan memudahkan siswa berkebutuhan dalam situasi bencana,” terang Lena. Tenaga pengajar juga harus bisa mengajar dengan metode yang menyenangkan. “Dengan demikian, informasi yang disampaikan akan lebih mudah diingat oleh anak,” ujarnya. Selain itu, siswa juga diharapkan dapat mengenal istilah dalam mitigasi bencana. “Terutama bagi anak yang sulit menerima informasi sensoris, hal ini perlu diajarkan dan lebih ditekankan,” jelas Lena.

Sebelum sesi berakhir, partisipan diberi kesempatan untuk bertanya, salah satunya I Gusti Agung Ayu Amritashanti. “Bagaimana cara mengembangkan kemandirian dan pemberdayaan siswa berkebutuhan khusus dalam pengurangan risiko bencana?” tanyanya. Lena menjawab bahwa hal tersebut juga memerlukan kemampuan dari pihak eksternal. “Guru dan orang tua dapat membantu, tetapi tujuan akhirnya adalah mencapai kemandirian,” jelas Lena. Ia juga tidak memungkiri bahwa dengan tingkat keparahan disabilitas yang bervariasi, ada kemungkinan bila kemandirian tidak tercapai secara maksimal. “Walaupun demikian, pihak eksternal tetap harus memberi dukungan dan mengajarkan pada siswa tersebut bahwa bencana dapat datang dari mana saja,” tutup Lena. (RE3, ET)