Kamis, 25 Februari 2021 Konseling dan Pengembangan Diri Mahasiswa (KPDM) Universitas Surabaya (Ubaya) kembali mengadakan Student Success Seminar. Dengan tajuk Toxic Positivity, webinar ini digelar guna memberikan pemahaman dan cara mengatasi perilaku toxic positivity. Peserta terbuka untuk umum dan sedikitnya 114 orang hadir secara daring melalui aplikasi Zoom.
Regisda Machdy Fuadhy, S.Psi., M.Sc., selaku Dosen Fakultas Psikologi Ubaya hadir sebagai narasumber pada Student Success Seminar kali ini. Dalam materi yang dibawakan, beliau menjelaskan bahwa akar dari toxic positivity adalah pola pikir positif yang terlalu dipaksakan. “Sebaiknya jangan berpikir positif ketika sedang sedih, marah, kecewa, ataupun pesimis dengan segala hal. Karena berpikir positif bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan untuk ada setiap saat,” ungkap Regis. “Kalau kita sedang mengalami emosi negatif dan berpura-pura seolah tidak terjadi apapun, maka hal ini akan memberikan dampak buruk di masa depan nanti,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Regis memperkenalkan berbagai perilaku toxic yang kerap kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku toxic yang dimaksud, yaitu: mengabaikan perasaan yang sesungguhnya, tidak mengakui apa yang orang lain rasakan, serta memaksa diri sendiri dan orang lain untuk bersyukur saat sedang mengalami emosi negatif. “Sangatlah manusiawi bagi seseorang untuk merasa sedih. Jadi izinkan mereka untuk merasakan emosi tersebut, namun jangan sampai larut dalam kesedihan,” papar Dosen Fakultas Psikologi Ubaya tersebut.
Guna menghindari perilaku toxic yang saat ini semakin marak terjadi, kita dituntut untuk memiliki positive mind atau pikiran yang positif. Namun untuk bisa membangun pikiran yang positif, kita harus mampu memahami pikiran negatif terlebih dahulu. “Bagaimanapun, kita perlu berkenalan dengan pikiran negatif. Karena untuk menetralkan emosi negatif, kita harus memahami pola pikir kita terlebih dahulu,” tutur Regis. Menurutnya, hal ini bisa dilakukan dengan cara positive self-talk serta menemukan lingkungan yang positif.
Sesi tanya jawab menjadi sesi penutup pada Student Success Seminar kali ini. Salah satu peserta dari Fakultas Psikologi Ubaya, Agatha Monica, menanyakan terkait perbedaan toxic positivity dan optimisme. Menanggapi pertanyaan tersebut, Regis menjelaskan bahwa perbedaan dari keduanya terdapat pada bagaimana cara kita menghadapi emosi negatif yang muncul. “Optimisme yang sehat, artinya kita bisa optimis namun tetap mengakui emosi-emosi negatif yang ada. Sedangkan toxic positivity, kita tidak mengakui emosi negatif dan seringkali menolak apa yang tengah dirasakan,” tutup Regis. (RE4 ,jr)