Compassion Fatigue: Ketika Seseorang Lelah Berempati hayuning November 30, 2020

Compassion Fatigue: Ketika Seseorang Lelah Berempati

Ilustrasi: freepik.com (@pch.vector)

Peer group klinis Fakultas Psikologi Universitas Surabaya (Ubaya) mengadakan sebuah webinar sebagai salah satu bentuk media pembelajaran. Webinar ini membahas mengenai compassion fatigue dan mengundang Dr. Shaun Joynt dari Universitas Pretoria, Afrika Selatan sebagai pembicara. Webinar yang diadakan pada tanggal 24 Oktober 2020 ini, dihadiri oleh ratusan mahasiswa Fakultas Psikologi Ubaya beserta para dosen.

Kali ini merupakan webinar ke-8 yang diadakan oleh peer group klinis. Compassion fatigue yang menjadi fokus pada webinar kali ini merupakan istilah yang terdengar cukup asing di telinga para peserta. Akan tetapi, penjelasan Dr. Shaun Joynt yang sederhana membuat peserta dapat mengikuti jalannya pembahasan dengan lancar tanpa hambatan. “Compassion fatigue terjadi ketika anda bertemu dengan sosok yang membutuhkan perhatian, namun anda merasa lelah. Karena itu benar-benar menguras tenaga (draining), sementara anda tidak merefill energi anda (refuelling),” jelas Shaun.

Dr. Shaun mengatakan bahwa, compassion fatigue merupakan keadaan seseorang sulit merasakan empati terhadap orang lain, dan hal ini akan lebih mudah untuk dialami oleh orang-orang dengan profesi yang berkapasitas membantu atau menyembuhkan orang lain. Contohnya, seperti bidan, suster, konselor, terapis, dan profesi lainnya. Profesi-profesi ini mengharuskan seseorang untuk menyediakan layanan bagi seseorang dengan depresi, child abuse, kehilangan orang yang dikasihi, memiliki keluarga yang sedang sakit parah, dan berbagai keadaan lainnya.

Biasanya, keadaan compassion fatigue terkesan mirip dengan keadaan burnout. “Jikalau burnout memiliki jangka yang lebih lama, compassion fatigue memiliki jangka yang lebih singkat. Untungnya, hal ini disertai dengan waktu penyembuhan yang lebih cepat,” jelas Shaun. Ketika seseorang mengalami burnout, ia akan memberikan reaksi negatif terhadap orang lain, mengalami frustrasi, ada amarah yang dalam diri, dan menarik diri dari kehidupan sosialnya. Namun, jika seseorang memiliki compassion fatigue, yang terkena pengaruh adalah rasa empati yang berkurang, mengalami adiksi, mimpi buruk, dan akan ada perubahan dalam keyakinan, ekspektasi, dan asumsi-asumsi.

Tidak terlewatkan, Dr. Shaun memberitahu pula, bagaimana cara menghadapi dan mencegah hal ini. “Supaya tidak berada dalam kondisi ini, seseorang harus mengetahui cara melakukan self-care,” terang Shaun. Selfcare dapat dilakukan secara personal maupun sosial. Penting bagi seseorang untuk menyisihkan waktu agar dapat beristirahat dari pekerjaan, melakukan kegiatan fisik yang sehat bagi tubuh, dan memiliki hubungan sosial yang saling mendukung. Tidak hanya dari segi fisik dan sosial, membentuk suatu batasan profesional yang jelas, juga merupakan salah satu bentuk personal selfcare yang baik bagi kesehatan mental seseorang.

Dengan melakukan webinar mengenai compassion fatigue ini, Dr. Shaun berharap dapat menyebarkan awareness kepada orang lain, khususnya sesuai target peserta webinar, yaitu mahasiswa Fakultas Psikologi Ubaya yang tergabung dalam peer group klinis. Disamping itu, Dr. Shaun juga berharap dapat mempertahankan dan meningkatkan hubungan baik yang sudah terjalin dengan Fakultas Psikologi Ubaya. (dw)