Tie-Dye: Simbol Perlawanan hingga Kreativitas Semasa Pandemi hayuning September 24, 2020

Tie-Dye: Simbol Perlawanan hingga Kreativitas Semasa Pandemi

Ilustrasi tie-dye: freepik.com (@freepik)

Sebagian dari generasi muda tentu tak asing dengan teknik pewarnaan Ikat-Celup yang dahulu diajarkan ketika sedang menempuh pendidikan di sekolah dasar. Tak disangka, ternyata teknik tersebut menjadi tren belakangan ini. Tren busana warna-warni yang menggunakan teknik pewarnaan Ikat-Celup atau kini disebut sebagai Tie-Dye berhasil memenuhi kolom pencarian dengan meningkat sebanyak 462 persen dalam beberapa pekan terakhir, menurut platform media sosial Pinterest. Tak tanggung-tanggung beberapa brand ternama seperti Dior hingga Prada, memasukkan motif Tie-Dye pada salah satu koleksi busana musim panasnya.

Motif Tie-Dye bukanlah suatu hal baru dalam industri fashion. Tie-Dye sendiri sebenarnya telah dikenal di kalangan kaum Hippie sejak tahun 1960-an. Jauh sebelum itu, sebagian besar kebudayaan di seluruh penjuru dunia memakai teknik pewarnaan Tie-Dye namun dengan sebutan yang berbeda-beda. Salah satunya di Jepang, teknik pewarnaan Tie-Dye disebut sebagai “Shibori” dan telah ada semenjak 552 hingga 794 masehi. Sementara itu di negeri sendiri, pada pulau Jawa teknik pewarnaan Tie-Dye disebut sebagai “Tritik” atau “Jumputan”. Bergeser ke wilayah Timur, di Palembang teknik pewarnaan Tie-Dye disebut sebagai “Pelangi” atau “Cinde”.

Selaras dengan warna-warni motif Tie-Dye yang cerah, rupanya hal tersebut merupakan sebuah simbol perlawanan menentang keseragaman. Pada tahun 1960-an di Amerika Serikat, kapitalisme dan keseragaman sedang terjadi di tengah masyarakat ketika dunia pertelevisian mulai berkembang pesat. Bersamaan dengan hal itu, muncullah budaya Hippies dari kaum Hipster yang menentang keseragaman tersebut. Kaum Hipster sendiri merupakan sekumpulan orang kelas menengah yang menganut gaya hidup antimainstream dan independen. Budaya Hippies pada saat itu menggunakan Tie-Dye sebagai simbol perlawanan. Menurut budaya Hippies, Tie-Dye ialah suatu bentuk independensi. Hal tersebut dikarenakan, setiap individu yang membuat Tie-Dye nantinya akan menghasilkan motif dan warna yang berbeda sesuai dengan proses pembuatan masing-masing.

Kembali ke masa kini, popularitas Tie-Dye kembali memuncak ketika masa-masa karantina akibat pandemi Covid-19. Banyaknya waktu luang di rumah membuat sebagian orang dapat menyalurkan energi dan kreativitas untuk berkreasi menggunakan motif Tie-Dye. Video tutorial maupun deskripsi step-by-step pembuatan Tie-Dye telah banyak beredar di media sosial dan dapat diakses oleh siapapun. Meski memerlukan sedikit effort, setidaknya, warna-warni dari motif Tie-Dye dapat memancing semangat dan menimbulkan kebahagiaan di tengah masa karantina yang cukup menjenuhkan. (feb)