Tuntutan Dua Peran ketika Work From Home hayuning May 19, 2020

Tuntutan Dua Peran ketika Work From Home

Work from home atau bekerja dari rumah tentunya memberi dampak pada diri pekerja, memengaruhi keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan. Untuk memberi pencerahan tentang cara menyeimbangkan kedua tuntutan ini, maka Pusat Konsultasi dan Layanan Psikologi (PKLP) Universitas Surabaya memberikan web seminar (webinar) berjudul “Work Family Balance While Working from Home”. Webinar yang diadakan pada tanggal 10 Mei 2020 ini dihadiri oleh sedikitnya 100 orang dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, diantaranya: Palangkaraya, Sanggau (Kalbar), Kupang (NTT), Bandung, serta Surabaya dan sekitarnya.

Pada webinar kali ini, Maria Fransisca Tiara, M.Psi., Psikolog., Wakil Direktur PKLP Ubaya, sekaligus pembicara pertama menjelaskan bahwa proses menyeimbangkan kedua tuntutan tersebut memang sebuah tantangan. “Tentunya perlu refleksi dan evaluasi kedua peran ini,” jelasnya. Baginya membahas keseimbangan kedua peran ini perlu dipikirkan lebih jauh, sebab ada banyak sekali kondisi yang mungkin terjadi.

“Ada yang tuntutan peran keluarga lebih tinggi dibanding peran kerja, sehingga pekerjaan kurang produktif. Demikian sebaliknya,” jelasnya. Karena itulah Work Family Balance diperlukan, sebab situasi yang penuh tuntutan dari peran sosial dan peran pekerjaan akan membuat konflik, seringkali akan membuat burnout atau kelelahan emosi yang ekstrim dialami oleh pekerja. “Menjadi tantangan tersendiri untuk tidak melihat WFH sebagai sebuah hal yang negatif,” jelasnya. Ia pun mengajak peserta yang hadir untuk mencintai pekerjaan dan mencintai hidup.

Narasumber kedua, Dr. Dra. Artiawati, M.App.Psych., Psikolog., selaku Direktur PKLP Ubaya juga merupakan seorang peneliti Work Family Interface, dan telah meneliti topik terkait sejak tahun 2002. “Masyarakat Indonesia sangat family oriented. Walaupun belum menikah pun, ada orang tua ataupun kakek nenek yang tinggal bersama dirumah,” jelasnya.

Dalam kesempatan tersebut Arti juga menyebutkan bahwa suasana Work From Home memang rentan diwarnai oleh konflik kedua peran tersebut. “Tuntutan pekerjaan dan keluarga datang bersamaan,” jelasnya lagi. Apabila orang tua WFH dan memiliki anak kecil, anak-anak pasti sering mengganggu ketika orang tua bekerja. Belum lagi suasana rumah yang seringkali menyita perhatian. “Oleh karena itu perlu waktu khusus untuk melakukan sesuatu dengan tenang,” tukas Arti. Arti berpendapat hal-hal seperti refleksi, kontemplasi, sering dilupakan karena banyaknya interaksi yang harus dilakukan di rumah.

Di akhir sesi, antusiasme peserta tidak terbendung. Mereka menanyakan banyak pertanyaan melalui kesempatan yang diberikan oleh moderator. Salah satunya adalah Mirah Laksmi dari Universitas Padjajaran Bandung. “Jika terlibat dalam konflik tersebut, lebih baik persepsi atau emosi dulu yang sebaiknya ‘dibenahi’?” tanyanya. Pertanyaan ini pun memancing reaksi yang sama dari kedua pembicara. Kedua pembicara sepakat bahwa Emosi seharusnya diselesaikan terlebih dahulu. “Supaya kita bisa menanggapi dengan lebih positif,” jelas Maria Fransisca. (sml)