Implikasi Keppres COVID-19: Dari Kedaruratan Kesehatan hingga Darurat Bencana hayuning April 21, 2020

Implikasi Keppres COVID-19: Dari Kedaruratan Kesehatan hingga Darurat Bencana

Oleh Peter Jeremiah Setiawan, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya (UBAYA).
Presiden Jokowi kembali menetapkan Keppres terkait penanganan wabah/pandemi Covid-19. Jika sebelumnya dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 11 Tahun 2020, COVID-19 ditetapkan sebagai Kedaruratan Kesehatan, maka dalam Keppres No. 12 Tahun 2020 penyebaran COVID-19 ditetapkan sebagai Bencana Nasional.
Jika memahami isi dari dua Keppres tersebut, maka Keppres No. 11 Tahun 2020 eksplisit menyebut penyakit COVID-19 yang menjadi kedaruratan kesehatan, sedangkan Keppres 12 Tahun 2020 menegaskan pada penyebarannya yang menjadi bencana nasional. Bahkan, sebelum Keppres 12 Tahun 2020 ditetapkan pun, pelaksanaan penanganan COVID-19 dilakukan oleh Gugus Tugas yang diketuai langsung oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana/ BNPB (Keppres terkait Gugus Tugas Covid-19 Keppres No. 7 Tahun 2020 jo. Keppres 9 Tahun 2020). Bahkan Keppres terkait Gugus tugas COVID-19 yang ditetapkan sebelumnya, telah dibagi ke dalam unsur pengarahan dan pelaksanaan sesuai UU Penanggulangan Bencana.
Oleh karena itu, apabila hanya mengacu pada beberapa Keppres tersebut, maka akan tampak bahwa instrumen-instrumen hukum ini saling melengkapi. Tetapi yang kemudian harus dicermati justru implikasi yuridis yang timbul. Keppres terkait bencana merujuk pada UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, sedangkan Keppres terkait Kedaruratan Kesehatan merujuk pada UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dua Keppres ini sama-sama berlaku dan merujuk pada dua undang-undang yang masing-masing memiliki implikasi yuridis.
Implikasi yuridis paling utama berkaitan dengan penetapan dan pelaksanaan kebijakan terkait. Jika merujuk pada UU Kekarantinaan Kesehatan maka penetapan tindakan kekarantinaan dalam kedaruratan kesehatan seperti PSBB yang berlaku pada beberapa daerah saat ini didasarkan pada keputusan Menteri Kesehatan dan permohonan para kepala daerah terkait serta dilaksanakan oleh pejabat karantina kesehatan. Sedangkan merujuk pada UU Penanggulangan Bencana, penyelenggaran penanggulangan bencana termasuk penanganan tanggap darurat bencana berada pada wewenang presiden, yang kemudian dilaksanakan oleh BNPB.
Membedakan Kedaruratan Kesehatan dan Keadaan Darurat Bencana
Dua kebijakan ini harus dipahami dalam ranah yang berbeda, baik dalam perumusan dan pelaksanaanya. Ranah UU Kesehatan berada pada kedaruratan kesehatan, sedangkan UU Penanggulangan Bencana merujuk pada Keadaan Darurat Bencana. Masing-masing merupakan kebijakan dengan unsur darurat (melanggar kelaziman atau tidak berada dalam situasi normal), akan tetapi tindakan konkret masing-masing kebijakan dapat dibedakan. Keputusan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan (sesuai permohonan kepala daerah) terkait kedaruratan kesehatan, jelas berfokus pada tindakan kekarantinaan di antaranya isolasi, rujukan, disinfeksi, dekontaminasi, hingga vaksinasi.
Tindakan kekarantinaan ini memiliki tujuan utama untuk mencegah dan mengendalikan penyakit di masyarakat, agar tidak menyebar atau tidak semakin meningkatkan bahaya kesehatan masyarakat. Sedangkan pada UU Penanggulangan Bencana, kebijakan penentuan status darurat bencana berfokus pada tindakan tanggap darurat bencana terdiri dari penyelamatan, evakuasi, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan kelompok rentan hingga pemulihan sarana prasarana dan sarana vital.
Tujuan tindakan tanggap darurat bencana ini tentu memiliki fokus pada penanganan dampak buruk dari bencana, termasuk penyelamatan korban. Dengan demikian, jika dipahami sederhana kedaruratan kesehatan memiliki fokus pada tindakan pengendalian penyakitnya, sedangkan tanggap darurat bencana memiliki fokus pada tindakan penanganan terhadap dampak buruk dari penyakit (sebagai bencana) tersebut. Dampak buruk tentu tidak hanya meliputi korban langsung dari penyakit, tetapi juga korban-korban tidak langsung, seperti mereka yang tidak memiliki akses pemenuhan kebutuhan dasar karena situasi ini.
Sekalipun terdapat perbedaan dalam ranah dan tindakan, tidak dapat ditutup kemungkinan pula terjadi irisan persamaan, mengingat sasaran kebijakan dan situasinya ada pada masyarakat yang sama. Irisan persamaan atau justru tumpang tindih yang sangat mungkin terjadi dalam hal misalnya alokasi anggaran baik APBN dan APBD untuk pelaksanaan kebijakan tersebut. Apabila ini terjadi, maka yang diperlukan ialah diskresi dan koordinasi antar pejabat, termasuk di dalamnya pembagian tugas sesuai keahlian masing-masing. Diskresi dan koordinasi tentu harus diputuskan secara bijak, cepat, tepat, tanpa mementingkan ego sektoral serta tentunya mengutamakan keselamatan dan kesehatan masyarakat.
Selain itu, penting juga dipahami bahwa penetapan status bencana nasional, juga memperluas implikasi penegakan hukum terhadap perbuatan-perbuatan melawan hukum di tengah wabah COVID-19. Perbuatan-perbuatan pidana yang sebelumnya hanya mungkin dijerat dengan UU Kekarantinaan Kesehatan, saat ini memiliki kepastian yuridis untuk dijerat dengan pidana lebih berat sesuai ketentuan UU Penanggulangan Bencana. Perbuatan-perbuatan terkait di antaranya meliputi perbuatan menghambat kemudahan akses dalam situasi kedaruratan bencana hingga perbuatan menyalahgunakan pengelolaan bantuan bencana, yang notabene saat ini juga tengah secara masif dilakukan oleh masyarakat.
Dengan demikian, apabila diskresi dan koordinasi antara kebijakan kedaruratan kesehatan serta keadaan darurat bencana ini dapat dilakukan selaras diikuti upaya pengawasan serta penegakan hukum yang konkret, maka upaya-upaya penanggulangan terhadap penyakit (bencana) COVID-19 dapat dilakukan secara total menutup celah-celah yang mungkin merugikan atau mengakibatkan masyarakat tidak terjangkau penanganan pemerintah.
Sumber: kumparan.com