Oleh dr. Ervin Dyah Ayu Masita Dewi
Dosen Bioetika dan Humaniora Fakultas Kedokteran Universitas Surabaya
Akhir-akhir ini seluruh dunia heboh karena virus korona (SARS-CoV-2) dengan nama penyakit Covid-19. Kehebohan itu disebabkan begitu cepat dan meluasnya penularan virus korona serta banyaknya kematian akibat virus tersebut.
Virus itu ditemukan di Wuhan, Tiongkok, pada 31 Desember 2019. WHO pada 30 Januari 2020 menyatakan kasus tersebut sebagai public health emergency of international concern.
Pernyataan WHO itu tentu saja membuat kita waspada. Di sisi lain, itu malah memicu keresahan dan ketakutan yang berlebihan. Padahal, jika ditelaah lebih jauh, virus demam berdarah pada dasarnya juga sama berbahayanya dengan virus korona. Namun, kita seakan lebih takut terhadap virus korona.
Banyak perbedaan yang terjadi dalam kultur bangsa sejak adanya virus korona ini. Sekarang di berbagai tempat sudah banyak yang meninggalkan budaya bersalaman. Banyak juga yang melarang acara berkumpul dalam komunitasnya. Kantor meliburkan diri. Sekolah juga meliburkan siswanya. Kini seolah tidak ada lagi keguyuban karena ketakutan berhubungan dengan orang lain.
Semua itu sebenarnya tidaklah salah. Sebab, itu dilakukan dalam rangka mencegah penularan. Tetapi, tanpaknya, belakangan sudah pada tahap berlebihan. Masker juga dipakai secara meluas dan cenderung melebihi kewajaran yang mengakibatkan harga masker naik pesat. Bahkan, karean takutnya bertemu orang lain, banyak orang yang menimbun dengan membeli barang-barang lebih dulu agar dalam waktu lama tidak perlu ke toko untuk membeli lagi.
Akibatnya, kini banyak terjadi kekosongan stok barang sehingga sebagian harga melambung. Bukan barang kesehatan seperti masker atau antiseptik saja yang mengalami inflasi, melainkan juga minyak goreng, gula, serta barang kebutuhan pokok lain. Suatu hal yang menyedihkan sebenarnya.
Sebab, situasi itu dimanfaatkan pihak tertentu untuk menjual lagi barang-barang tersebut dengan harga tinggi demi keuntungan pribadi. Suatu kondisi kesehatan pandemik global yang berujung pada kejahatan ekonomi dan keapatisan sosial.
Sesungguhnya, menyikapi suatu penyakit hanya melibatkan tiga hal, yaitu host, agent, dan environment. Artinya, mengatasi virusnya, pembawa virusnya atau penularannya, dan lingkungannya.
Faktor host masih sulit dilakukan meski tidak mustahil, yaitu menemukan antivirus. Sehubungan dengan belum ditemukannya antvirus atau vaksin terhadap virus korona, ada dua faktor lain yang bisa kita atasi. Caranya, memutus rantai penularan, menjaga kesehatan diri atau meningkatkan daya tahan tubuh, dan segera berobat jika sakit.
Nah, di sinilah masalahnya. Memutus rantai penularan diidentikan dengan menghindari orang lain. Apakah hal ini salah? Sebenarnya tidak salah juga. Namun, mari kita ingat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang pasti membutuhkan orang lain, apalagi dalam kultur Indonesia yang mengutamakan hidup bermasyarakat.
Jika menghindari orang lain benar-benar diterapkan, tidak akan ada kegiatan belajar-mengajar di sekolah, tida kakan ada salat Jumat, kebaktian di gereja, atau kegiatan peribadatan lain karena pasti mengumpulkan banyak orang. Tidak akan ada juga kantor atau instansi yang akan buka. Padahal tidak semua pekerjaan dapat dilakukan secara online dari rumah.
Jika kita memikirkan dampak jangka panjangnya, kegiatan perekonomian, pendidikan, dan sosial bisa lumpuh. Apalagi hingga ada keputusan untuk melakukan lockdown. Produktivitas tenaga kerja akan lebih menurun drastis juga karena kita tidak terbiasa bekerja ari rumah / jarak jauh tanpa masuk ke kantor. Imbauan bahwa sekolah daapat ditutup tetapi harus berkoordinasi dengan dinas kesehatan dan desakan agar Kemenkes menetapkan segera kebijakan tentang prosedur penutupan sekolah sebenarnya perlu ditinjau ulang.
Akan lebih baik jika rantai penularannya diputus melalui cara lain yang sama efektifnya tanpa menurunkan aktivitas. Ada berbagai langkah yang bisa dilakukan untuk memutus rantai penularan virus korona. Salah satunya, sering-sering mencuci tangan dengan sabun disinfeksi dan sering membilas tangan dengan gel antiseptik. Selain itu, jika merasa sakit, baik batuk, pilek, maupun panas biasa, pakailah masker dan beristirahat di rumah.
Nah, isolasi ini hanya berlaku pada orang yang sakit. Bagi yang sehat, perbanyak makan makanan bergizi, perbanyak minum air putih, meningkatkan daya tahan dengan minum suplemen atau vitamin, dan menjaga diri agar tidak stres. Sebab, mental yang tidak sehat juga dapat menurunkan daya tahan tubuh.
Pendek kata, jika kita terlalu takut dengan virus korona, malah akibatnya daya tahan tubuh bisa menurun. Masalah akan terjadi karena asupan makanan bergizi karena tidak semua masyarakat bisa memperolehnya.
Daripada sibuk memikirkan lockdown, pemerintah sebaiknya memikirkan bagaimana memberikan makanan tambahan yang bergizi, vitamin gratis, atau membagikan masker dan antiseptik gratis.
Masyarakat juga harus diedukasi tentang apa yang harus dilakukan jika dalam kondisi sakit, bahkan jika masih demam sekalipun. Intinya adalah edukasi tentang hidup sehat dan menjaga kebersihan diri. Kita boleh khawatir terhadap virus korona. Tetapi, jika terlalu khawatir daya tahan tubuh akan semakin menurun. Dan, gilirannya membuat produktivitas menurun.
Jadi, mari memikirkan cara lain memutus rantai persebaran virus korona tanpa harus menghindari ornag lain karena kita tidak mungkin hidup tanpa orang lain. Salam sehat.
Sumber: JawaPos, 14 Maret 2020