Peringati Hari Perempuan Internasional, Tolak RUU Ketahanan Keluarga hayuning March 11, 2020

Peringati Hari Perempuan Internasional, Tolak RUU Ketahanan Keluarga

SURABAYA ndash; Dalam rangka memperingati hari Perempuan Internasional yang jatuh pada hari Minggu, 8 Maret 2020 silam, maka Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Surabaya (Ubaya) mengadakan Diskusi Terbatas, Selasa (10/3/2020). Diskusi Terbatas dengan tajuk “RUU Ketahanan Keluarga: Quo Vadis Perempuan Indonesia?” yang diadakan di Seminar Room Gedung Hubungan Internasional Kampus Ubaya 2 Tenggilis ini dihadiri 12 komunitas yakni:
1. Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya,
2. Koalisi Perempuan Indonesia Regional Jawa Timur,
3. Women Crisis Center Savy Amira Surabaya,
4. Human Rights Law Studies Fakultas Hukum Universitas Airlangga,
5. Lembaga Bantuan Hukum Surabaya,
6. Kelompok Perempuan dan Sumber-sumber Kehidupan Jawa Timur,
7. Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur,
8. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Jawa Timur,
9. Dewan Pimpinan Daerah Persatuan Wanita Kristen Indonesia Provinsi Jawa Timur,
10. Pusat Pemberdayaan Komunitas Perkotaan Universitas Surabaya,
11. Fakultas Hukum Universitas Kartini Surabaya,
12. KontraS Surabaya,
13. Dan individu-individu yang mengatasnamakan pribadi.
Tiga belas komunitas ini hadir dan membahas masalah yang sama, yakni Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga. RUU ini ramai diperbincangkan dengan pro dan kontra yang terkandung disana. RUU Ketahanan Keluarga menjadi bahasan yang kontroversial, sebab di dalamnya terkandung poin-poin terkait peran dan kedudukan perempuan dalam keluarga.
“Tentunya akan banyak masukan dan pemikiran terhadap RUU kontroversial ini. Termasuk pro dan kontra jika RUU ini diberlakukan,” tukas Dr. Sonya Claudia Siwu, S.H., M.H., LL.M., selaku Ketua Pusham Ubaya. Komentar ini muncul dari berbagai pertimbangan, termasuk bagaimana definisi peran seorang perempuan dituangkan dalam RUU ini.
Diskusi ini dipandu oleh seorang pemantik, yakni Dian Noeswantari, S.Pi., M.PAA., selaku seorang peneliti Pusham yang telah berkecimpung di bidang Hak Asasi Manusia, khususnya perempuan. Dalam kesempatan ini Dian memaparkan fakta-fakta yang menjadi dasar munculnya kontroversi di masyarakat. Salah satunya tentang ranah kerja. “RUU diusulkan oleh komisi IX. Harusnya keluarga menjadi urusan Komisi VIII,” jelasnya serius.
Ia pun mengkritisi ketentuan-ketentuan umum yang dipaparkan dalam RUU ini. Salah satunya pada poin 7, mengenai adanya indikator ‘spiritual’ sebagai hasil salah satu pendidikan Ketahanan Keluarga yang baik. “Dalam perumusan naskah keluarga ini didasarkan indikator agama,” jelasnya lagi.
Kontroversi ini pun juga dimunculkan dari adanya pasal-pasal yang masih kurang jelas dalam perumusannya. “Bab 13 terkait sanksi, pasal 138, menekankan adanya pencabutan hak asuh anak (sementara/permanen) sebagia sanksi, lalu jika demikian siapa yang bertanggung jawab terhadap anaknya?” jelas Dian. Kriteria hal yang diberi sanksi pun juga tidak ditulis jelas dalam pasal tersebut. Tidak ada juga rujukan kepada pasal sebelumnya.
Di lain sisi, peserta diskusi juga setuju untuk menolak RUU ini sebab adanya kecenderungan untuk membuat wanita tetap di ranah domestik seperti pasal 25 ayat 3. Peserta pun menilai bahwa Pasal 25 ayat 2 sangat rentan untuk dijadikan alasan konkrit alasan seorang suami memukul istri dengan alasan “menjaga keutuhan”.
Yvonne, salah seorang ibu rumah tangga dan masyarakat awam yang hadir pun mengaku terkejut dengan adanya RUU Ketahanan Keluarga ini. “Semua orang tentunya ingin punya keluarga yang bertahan, tapi ini sangat mengintervensi,” jelasnya. Ia pun menjelaskan bahwa keluarga punya dinamikanya sendiri. Baginya, yang lebih penting dari sebuah keluarga adalah anak. “Bagaimana dengan anak?” jelasnya. Ia pun mempertanyakan keadaan sanksi yang justru malah memberatkan anak sebagai korban.
Hal senada pun juga disampaikan oleh Prof. Dr. Jatie K. Pudjibudojo, S.U. Psi., selaku Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Surabaya, yang juga adalah anggota Pusham Ubaya. “Ketika kita bicara RUU Keutuhan Keluarga, maka perlu ditanyakan apakah benar RUU ini bisa menjamin hal tersebut,” jelasnya.
Di akhir acara, sejumlah komunitas dan individu yang hadir membuat pernyataan sikap dengan poin berikut. “Kaum perempuan kepala keluarga juga tidak akan diakui keberadaannya dengan munculnya RUU Ketahanan Keluarga ini. Justru RUU Ketahanan Keluarga ini memindahkan kewajiban Negara kepada keluarga-keluarga, untuk menghormati, memenuhi, melindungi dan memajukan hak-hak warganegaranya. Pengesahan dan pemberlakuan RUU Ketahanan Keluarga ini justru menguatkan intervensi Negara terhadap kehidupan privat warganegaranya, bahkan langsung menuju pada kelompok otonom yang disebut keluarga.” (sml)