Menteri Jangan Gampang Bicara soal Impor hayuning January 22, 2020

Menteri Jangan Gampang Bicara soal Impor

Pembantu Presiden mesti paham dampak negatif impor adalah mematikan industri dalam negeri, sebab masa depan ekonomi nasional sangat ditentukan perjuangan pemerintah membela industri nasional.
JAKARTA ndash; Sejumlah kalangan meminta menteri dan pejabat negara terkait tidak gampang memilih impor sebagai solusi, tanpa mau berjuang membela dan memperkuat industri nasional agar tidak semakin terpuruk akibat serbuan produk impor, misalnya, dengan mengenakan tarif impor yang tinggi.
Pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Bambang Budiarto, mengatakan meskipun Presiden Joko Widodo sering mengeluhkan soal impor, para menteri tetap menjalankan kebijakan impor karena ingin instan dalam mencapai stabilitas kebutuhan nasional, seperti garam, gula, migas, dan sejumlah komoditas lainnya.
Menurut Bambang, para pembantu Presiden seharusnya memahami implikasi negatif kebijakan impor berupa defisit neraca perdagangan dan yang terutama adalah mematikan industri dalam negeri. “Efek dari defisit dagang ini macammacam, bisa dianggap tak mampu bersaing dan ditarget sebagai sebagai pasar produk ekspor negara lain,” jelas dia, ketika dihubungi, Minggu (19/1).
Dalam situasi bergantung pada impor, lanjut Bambang, hitung-hitungan kemampuan keuangan menjadi terabaikan karena yang utama adalah stabilitas kecukupan kebutuhan. Sementara itu, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dari Januari hingga Desember 2019 secara kumulatif neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar 3,2 miliar dollar AS.
Rinciannya, ekspor kumulatif sebesar 167,53 miliar dollar AS dan impor kumulatif sebesar 170,72 miliar dollar AS. Sebelumnya, ekonom Universitas Islam Indonesia (UII), Suharto, mengingatkan perekonomian Indonesia sebenarnya tidak terlalu bergantung pada apa yang terjadi pada faktor global, seperti perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. A
kan tetapi, masa depan ekonomi nasional sangat ditentukan oleh sejauh mana perjuangan pemerintah dan pejabat negara dalam membela industri nasional. “Kartel di dalam negeri yang tak pernah diatasi adalah bukti bahwa keberpihakan pemerintah belum jelas. Akibatnya, ada perang dagang atau tidak ekonomi nasional ya tetap melempem,” kata Suharto, akhir pekan lalu.
Menurut Suharto, apa yang terjadi di level internasional sebenarnya pengaruhnya tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan keputusan strategis pemerintah terkait pengembangan industri di Tanah Air. “Ada perang dagang atau tidak kalau Indonesia tidak sanggup memproduksi barang dan hanya mengandalkan impor maka ekonomi tetap akan stagnan karena hanya bergantung pada konsumsi,” jelas dia.
Dikuasai Mafia
Suharto mencontohkan di asupan mendasar ekonomi nasional yakni pupuk subsidi untuk petani dan energi dalam hal ini minyak dan gas, disinyalir dikuasai mafia dan tidak ada perbaikan signifikan di sektor tersebut.
Sementara itu, Direktur Pusat Studi Masyarakat (PSM) Yogyakarta, Irsad Ade Irawan, mengatakan pemerintah diminta menjadikan kemandirian ekonomi sebagai tolak ukur utama dalam setiap kebijakannya. Sebab, percuma mengejar pertumbuhan dengan memberi kemudahan pada investasi kalau ternyata hanya untuk membuka jalan masuk produk impor.
“Tapi pertanyaan utamanya siapa yang diuntungkan oleh investasi? Infrastruktur misalnya, baja, aspal, semua impor. Investasi di e-commerce bikin banjir produk impor, pajak susah ditarik, keuntungan bagi rakyat dan negara di sebelah mana?” kata Irsad. Semestinya pemerintah, dengan segala yang dipunyai, menunjukkan kinerja dan keberpihakan pada rakyat, sehingga ada dukungan besar pada setiap kebijakan yang diambil.
“Di bidang e-commerce, pemerintah semestinya bisa melobi agar pemain besar dunia, seperti Alibaba dan Amazon, bersedia memasarkan poduk ekspor Indonesia,” tukas dia. Hari ini, meskipun penolakan dari rakyat atas kebijakan-kebijakan yang memihak impor belum terlihat masif, namun Irsad mengingatkan adanya silent power dari keterdesakan ekonomi yang menunggu pecah jika tidak segera dijawab dengan tindakan nyata.
“Korupsi, impor, semua gagasan kerakyatan seperti stuck. Petani makin susah, ekonomi rakyat digencet barang impor,” tandas dia.
SB/YK/WP
Sumber: koran-jakarta.com