Tampil Elegan dengan Headpiece dan Headdress hayuning December 31, 2019

Tampil Elegan dengan Headpiece dan Headdress

SURABAYA – Hiasan di kepala berupa headpiece dan headress menjadi salah satu penunjang penampilan dalam berbusana. Tiga mahasiswa fakultas Industri Kreatif Universitas Surabaya (Ubaya) pun berkreasi membuat aksesori kepala tersebut dengan cara yang unik. Aksesori itu bertema TransForm (Perubahan) Bumi yang Kian Rusak.
Tiga mahasiswa itu adalah Meliana Wiyono, Vionita Sitanaya, dan Rafaella Pasca Hariyanto. Mereka membuat enam kreasi headpiece dan headdress. Dosen mata kuliah accessories design project Viviany mengatakan, headress merupakan hiasan kepala yang sifatnya lebih formal, berukuran lbeih besar, dan ornamental. Headress cocok dikenakan untuk kegiatan seremonial.
Sementara itu, headpiece bersifat lebih informal. Ukurannya lebih kecil sehingga bisa digunakan untuk sehari-hari. Contohnya, jepit rambut, bando, hingga tusuk konde. ‘Tema yang diangkat adalah TransForm. Kami ingin angkat isu ekologi karena dunia semakin rapuh. Harus ada pesan yang disampaikan kepada masyarakat,’ katanya. Perubahan yang terjadi di dunia dijadikan ide kreatif dalam membuatan headdress dan headpiece.
Koleksi karya Melina, misalnya. Dia membuat Victorie de Fame. Koleksinya tersebut terinspirasi dari kekeinrgan panjang di Ethiopia pada tahun 1980-an. Dampaknya, penduduk gagal panen sehingga banyak anak kecil yang menderita kwashiorkor.
‘Warna-warna aksesori yang saya buat dominan cokelat dan hitam. Simbol dari kekeringan,’ katanya. Melina menonjolkan tekstur ranting dan biji pinus untuk headdress.
Berbeda dengan Melina, Victoria membuat Lunette. Koleksi karyanya mengangkat kanibalisme. Ide tersebut berawal dari kesukaannya pada film-film horor. Dari situ, dia membuat produk headpiece maupun headdress yang bernuansa gelap dan kaku. ‘Warna-warna hitam dan merah jadi dominan. Kesan horor lebih kuat,’ ungkapnya.
Vionita mengatakan, subtema yang diangkat tidak hanya berbicara pada konteks fisik dengan memangsa manusia. Tetapi juga mengangkat tentang jiewa. ‘Saat ini manusia dapat memakan serta mematikan jiwa seseorang. Ini berkaitan dengan mental illness,’ jelasnya.
Sementara itu, Rafaella membuat headpiece dan headress yang berkonsep tentang manusia bertahan hidup di cuaca ekstrem. Khususnya musim dingin. Karena itu, dia menonjolkan salju dengan menggunakan bulu-bulu lembut berwarna putih. ‘Konsep saya musim dingin. Warna dominan putih dan biru,’ katanya.
Rafaella mengatakan ingin menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa ada beberapa bunga yang bisa terus tumbuh dan bertahan hidup di cuaca dingin. Jika bunga saja bisa tumbuh, manusia pasti lebih mampu bertahan hidup dalam menghadapi situasi tersulit. ‘Saya juga menambahkan ornamen bunga dan kawat runcing sebagai lambang bunga-bunga es,’ jelasnya. (ayu/c15/ady)
Sumber: JawaPos, 29 Desember 2019