Paling Bangga Antar Pemain Lulus Studi S-2 hayuning September 17, 2019

Paling Bangga Antar Pemain Lulus Studi S-2

Managing partner CLS Knights Indonesia, Christoper Tanuwidjaja, pamit dari dunia basket profesional. Tim menerima keputusan itu dengan berat hati. Di tangan dia, CLS mampu menjadi tim papan atas Indonesia. Bahkan, dia mengantarkan klub kebanggaan warga Surabaya itu menjadi juara ASEAN Basketball League (ABL) 2019. Bagi dia, ini juga keputusan yang berat. Berikut obrolan kami dengan Christoper.
Apa yang sebenarnya terjadi antara Anda dan CLS?
Status saya dengan CLS tidak seperti profesional yang pindah pekerjaan. Bagi saya, CLS seperti keluarga sendiri. Selamanya CLS ya keluarga saya. Yang berbeda itu, tidak terlihat dalam manajemen tim profesional. Kami belum ada pembicaraan CLS mau ngapain.
Mungkin suatu saat jika CLS mau mendatangkan pelatih untuk sekolah basket, saya mau bantu. Seperti itu hubungan saya dengan CLS saat ini. Atau, suatu saat mereka ada proyek apa, kami bisa diskusikan sama-sama.
Bagaimana rasanya pamitan?
Saya bersama CLS sejak 2007. Terus terang, banyak pimpinan yayasan yang minta saya mempertimbangkan hal ini. Tapi, kali ini sikap mereka agak berbeda. Kali ini mereka lebih mengerti. Mereka mengerti sendiri, mengurus tim profesional itu effortnya berlebih.
Saya sudah melakukan ini selama 12 tahun. Mereka tahu capeknya seperti apa. Mereka mengerti, yang dilakukan tim ini luar biasa. Sekarang mereka menerima keputusan saya. Dengan kondisi seperti itu, bohong kalau nggak ada sedihnya sedikit pun. Teman-teman melihat berita ini juga heboh, sedih, dan segala macam. Buat saya, ini ya sedih juga.
Sejak kapan ingin berhenti?
Dari dua tahun lalu, sebelum keluar dari IBL. Saya sudah sempat bicara dengan yayasan. Saya mau udahan.
Apa suka duka selama menangani tim?
Dukanya, capek pasti. Kita tahu sendiri lah. Mau di manapun, banyak politiknya dan yang aneh-aneh. Mungkin banyak dukanya. Kalau sukanya, buat saya banyak pemain kami yang bisa lulus sarjana. Ini berkat kerja sama kami dengan Universitas Surabaya. Lebih dari itu, nggak sedikit yang sudah jadi S2.
Buat saya, juara itu bonus tambahan. Bagi saya, tujuannya itu bisa memberikan bekal kepada pemain. Kami nggak pernah menjanjikan mereka pekerjaan. Tapi, kami janjikan mereka kuliah sampai selesai. Kalau mau lanjut S-2, dengan senang hati kami mau membiayai.
Apa pengalaman paling berkesan selama mengurus CLS?
(Christoper diam beberapa saat) Mungkin pencapaian yang terakhir ini (Juara ABL, Red). Sebetulnya, ini yang paling berat buat saya. Dilema juga sih. Pergi di saat semua sudah sangat baik. Buat saya secara pribadi sudah capek juga.
Nggak seharusnya kami juara (ABL). Jujur, kalau bicara level, pemain kita dengan pemain lokal tim lain masih kalah. Ranking FIBA sudah jelas. Pemain asing kami bukan superstar. Yang membuat saya terkesan, di atas kertas, kami nggak seharusnya juara.
Tapi, keberhasilan buat saya pribadi, manajemen berhasil menanamkan moto tim, yaitu BELIEVE. Awal musim cuma menang dua kali dari sembilan pertandingan. Tapi, kami tetap percaya saja.
Apakah lelah mengurus semua sendirian?
Mungkin sekarang beda ya. Kebutuhan tim profesional makin kompleks. Saya orang yang perfeksionis. Mungkin kalau saya punya standar yang lebih rendah dari sekarang, ya bisa aja sih terus jalan. Tapi, memang saya sendiri perfeksionis mau program yang lebih bagus. Pemain dapat fasilitas yang baik dan sebagainya. Itu semua bukan cuma butuh dana, tapi juga perlu effort.
Mungkin capeknya karena sifat dan karakter saya yang seperti itu. Dengan kebutuhan tim profesional yang makin kompleks, nggak bisa tim di manage oleh beberapa individu saja. Seharusnya tim didukung perusahaan besar. Bukan hanya perusahaan atau yayasan yang biasa.
Sekarang yang kita lihat dilema di Indonesia ini, sering ada tim yang nggak bayar gaji atau gajinya telat beberapa bulan. Saya nggak 100 persen menyalahkan klubnya. Kadang kami sebagai manajemen klub tergiur ada pemain bagus, kami beli tapi nggak sadar gajinya gimana. Akhirnya berantakan. Itu yang saya bilang udah nggak seharusnya lagi ada model seperti itu.
Tapi, kalau buat saya, to the point saja, nggak bisa juga klub yang ada disuruh bikin PT. Itu sama saja bohong-bohongan. Yang harus dilakukan adlah di manage oleh perusahaan besar. Bukannya klub yang ada disuruh bikin PT. (ragil/putri/c5/na)
Sumber: JawaPos, 12 September 2019