Tanggap Darurat Sedari Kecil, Siapkan Tas Siaga Bencana fadjar October 30, 2018

Tanggap Darurat Sedari Kecil, Siapkan Tas Siaga Bencana

BADAN Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tengah giat-giatnya menggalakkan program tas siaga bencana. Tas tersebut berisi keperluan pokok yang dibawa saat terjadi bencana, termasuk gempa bumi.

Tiap orang hendaknya memiliki satu tas. Termasuk anak-anak. Kebutuhan anak-anak, terutama balita atau batita, tentu sangat berbeda dengan orang dewasa. Karena itu, ada beberapa keperluan khusus yang dimasukkan ke tas siaga. Tujuannya, menyiapkan kenyamanan anak. ”Karena kalau anak tidak nyaman, akan mudah sakit. Kalau sakit, akan menghambat proses evakuasi,’ kata Kasubdit Perencanaan Siaga BNPB Dra Eny S.

Ayah dan bunda bisa mulai mengajak anak menyiapkan tas siaga. Hal itu akan menjadi kegiatan memori kinestetik yang sangat bermanfaat bagi anak. Ketika dilibatkan dalam proses persiapan tas siaga, anak akan merasa yang dilakukannya itu penting. Sekaligus mengetahui kegunaan barang-barang tersebut.

Jadi, dia punya rasa memiliki yang tinggi. ‘Dia akan punya rasa tanggung jawab. Kalaupun terjadi bencana, dia bakal dengan mudah ingat untuk membawa tas itu,’ imbuh Listyo.

Biasanya saat panik, anak memang merasa kurang nyaman membawa tas itu sendiri. Ayah dan ibu bisa membantu membawakannya. Sambil memberikannya mainan edukatif, salah satu benda yang masuk tas siaga anak, kepadanya.

Ajak anak rutin mengecek tas siaga. Terutama kedaluwarsa makanan dan minuman di dalamnya. (adn/c25/nda)

MEMPERKENALKAN antisipasi terjadinya gempa tidak perlu menunggu sampai gempa betul-betul terjadi di tempat tinggal kita. Semakin dini semakin baik. Pengertian tentang bencana bahkan bisa mulai dikenalkan saat anak berusia 3 tahun. ‘Di usia itu, anak mulai mengenal secara konkret, sudah bisa
membedakan peristiwa yang terjadi,’ kata Listyo Yuwanto MPsi, psikolog dan dosen Universitas Surabaya.

Pengenalan bisa dimulai dengan menjelaskan kondisi alam di lingkungan sekitar. Misalnya, jika tinggal di Surabaya, mungkin Anda bisa menjelaskan tentang cuaca yang panas. Lalu, dilanjutkan dengan menjelaskan potensi bencana yang mungkin terjadi di wilayah tersebut. ‘Yang paling dasar, orang tua wajib paham informasi terkait hal itu dulu. Tidak harus jadi expert, tapi tahu basic-nya dan penanganannya,’ jelasnya.

Listyo menambahkan, ayah dan bunda hendaknya menggunakan bahasa yang ringan dan mudah dipahami anak. Atau, gunakan media yang dekat dengan anak dan lebih fun. Contohnya melalui dongeng. Modifikasi dongeng yang sudah ada dengan cerita yang diselipkan tentang gempa. ‘Misalnya dongeng kancil yang kena gempa,’ ujar Listyo. Orang tua kemudian bisa mengenalkan kepada anak hal-hal apa yang dilakukan si kancil supaya selamat dari gempa.

Sambil bercerita, orang tua bisa memperagakannya. Selain dongeng, Listyo merekomendasikan media lain. Di antaranya, video animasi yang banyak tersedia di YouTube dan gambar cerita yang diwarnai.

Pilihan lain adalah memanfaatkan media lagu-lagu. Saat ini BMKG bahkan punya lagu modifikasi yang liriknya menjelaskan tentang evakuasi dan mitigasi gempa.

Listyo menjelaskan, pengenalan tentang gempa dan antisipasinya kepada anak sangat penting. Anak-anak bisa menolong dirinya sendiri dan berperan sebagai agen dalam membantu orang lain. ‘Ketika ada tanda-tandanya, anak akan langsung tanggap,’ katanya.

Dia memberi contoh seorang anak berusia sekitar 3 tahun yang menjadi korban gempa di Lombok, NTB. Orang tuanya bekerja. Si kecil ditemani pengasuh serta beberapa ART di rumahnya. Saat ada guncangan, anak itu dengan tanggap berteriak tanda bahaya. ’’Akan beda sikap antara anak yang sudah diberi pengertian dan yang belum,’’ terang psikolog sekaligus koordinator Statistic Assistance Center di Fakultas Psikologi Ubaya yang sempat turun langsung ke Palu dan sekitarnya itu.

Listyo menyaksikan sendiri bahwa kurangnya sosialisasi gempa terhadap anak membuat mereka menjadi rentan. Tak jarang dia menemui anak yang mengalami ketidaknyamanan psikologis. ‘Ketika kita tidak mengenal ancaman, lalu mengalami, dan merasa tidak nyaman akan berbeda dengan ketika kita siap. Itu lebih baik,’ tegasnya.

Bentuk ketidaknyamanan psikologis itu bermacam-macam. Misalnya, anak yang tidak ngompol menjadi sering mengompol pascagempa. Ada juga yang menjadi lebih mudah sakit, murung, kerap bermimpi buruk, hingga mengalami trauma terhadap hal-hal khusus. (adn/c17/nda)

Jawa Pos, 26 Oktober 2018