Nur Flora Nita T.B. Sinaga SpOT Girang Ngebor di Kerasnya Dunia Ortopedi fadjar May 2, 2017

Nur Flora Nita T.B. Sinaga SpOT Girang Ngebor di Kerasnya Dunia Ortopedi

Di antara 400-an spesialis ortopedi di Indonesia, ada 20 dokter spesialis ortopedi perempuan. Salah satunya, dr Nur Flora Nita T.B. Sinaga SpOT. Selain menggeluti dunia yang identik dengan lelaki, dia tetap ingin menjadi perempuan hebat untuk keluarganya.

MENGIKUTI seorang spesialis ortopedi di ruang operasi mirip orang di bengkel. Ada suara bor untuk melubangi tulang. Ada suara palu. Belum lagi membedah tulangnya. Mirip jagal. Ah, bagi Nita, hal itu sudah biasa. Dia sukses menekuni jagat tersebut selama sembilan tahun.

Nita ingat 20 tahun lalu ketika dirinya menjadi dokter pegawai tidak tetap (PTT) di Madiun. Waktu itu dia masih menjadi dokter umum. Di tempatnya mengabdi, banyak sekali kecelakaan yang mengakibatkan tulang patah.

Melihat kondisi itu, jiwanya terpanggil. Dia bertekad mengambil spesialis ortopedi atau bedah tulang. Ketika itu menjadi spesialis ortopedi perempuan merupakan hal spesial. Kenapa demikian? Sebab, di Indonesia baru ada enam spesialis ortopedi perempuan.

Dari Universitas Airlangga, baru ada seorang. Lainnya berasal dari Bandung dan Jakarta. ’’Awalnya, saya ingin menjadi spesialis kesehatan jiwa. Lalu, pernah kepikiran juga menjadi ahli bedah plastik,’’ tuturnya.

Nita memang suka sekali membetulkan ’’yang kurang cantik’’. Dia tidak pernah memiliki gambaran masa depan untuk menjadi seorang ahli bedah tulang.

Saat mendaftar pendidikan spesialis ortopedi, Nita adalah perempuan satu-satunya. Semua saingannya laki-laki. Namun, bukan Nita namanya kalau ’’pulang sebelum berperang’’. Dia tetap melanjutkan tes. Nita pun berhasil menyingkirkan pesaingnya.

Pengalaman Nita di bidang bedah tulang dimulai sejak PPT di Madiun. Dia kali pertama dibimbing dr Heri Suroto SpOT. ’’Sampai sekarang saya masih ingat betul bagaimana excited-nya saat pegang bor untuk pertama kalinya,’’ tutur ibu tiga anak tersebut.

Tangannya gemetar. Jantungnya berdegup kencang. Namun, Nita tahu bahwa dirinya harus tenang saat mengebor. Sebab, sedikit kerisauan akan mengacaukan jalannya operasi. Hasil bor bisa jadi tidak presisi. ’’Tuhan, jika ini memang jalan-Mu, bantulah aku,’’ doa Nita waktu itu.

Pada awal pendidikan, Nita sempat ditantang senior dan gurunya. Kalau tidak sanggup mengikuti pendidikan ortopedi, silakan keluar saat itu juga. Pernyataan tersebut didapat beberapa hari pasca pengumuman penerimaan pendidikan program dokter spesialis (PPDS).

Nita yakin dengan kemampuannya. Namun, menjadi perempuan satu-satunya dalam PPDS ortopedi tidak lantas membuatnya diistimewakan. Dia diperlakukan sama seperti yang lain.

Misalnya, saat operasi dan harus membopong kaki atau tangan pasien. ’’Kalau bobot pasien lebih dari 80 kilogram, kan pasti berat,’’ tuturnya. Perempuan kelahiran Medan itu juga tetap menangani kasus-kasus sulit. Hingga sekarang, dia pun tidak pernah memilih pasien.

Nita sempat menunjukkan peralatan yang digunakan di meja operasi. Ada bor, tang yang mirip kunci inggris, serta palu. Belum lagi alat-alat lain yang bobotnya tidak enteng.

Durasi operasi tidak sebentar. Bisa jadi lebih dari empat jam. Jika kasusnya rumit, operasi bisa berjalan belasan jam.

Alumnus Fakultas Kedokteran Unair itu memang selalu berusaha profesional. Meski demikian, dia juga berusaha menjadi ibu dan istri yang baik.

Beberapa kali dia merasa dilema ketika anak-anaknya sakit atau di rumah sendirian. Di sisi lain, tugasnya sebagai dokter menuntutnya untuk tetap bekerja.

Jika demikian, dia sering membawa anak-anaknya ke rumah sakit. ’’Setelah itu, saya biasanya minta maaf,’’ kata perempuan kelahiran 16 Maret 1971 tersebut.

Kaprodi di Fakultas Kedokteran Universitas Surabaya (Ubaya) itu selalu berupaya menyeimbangkan karir dan keluarganya. Keluarga kecil Nita memiliki kebiasaan membicarakan rencana selama setahun mendatang.

Setiap hari pun selalu diagendakan untuk saling menceritakan apa yang dilalui selama sehari. ’’Saya memang membiasakan tidak menunggu masalah baru ngobrol. Namun, selalu ngobrol,’’ jelas dokter yang berpraktik di RS Mitra Keluarga Waru itu.

Nita juga selalu menyempatkan waktu untuk melakukan hobinya. Salah satu hobi yang baru-baru ini dia geluti adalah menembak. Awalnya, dia memang iseng. Namun, saat kali pertama mencoba, Nita ternyata ketagihan. ’’Mungkin, salah satu kelebihan saya adalah titis. Ketika pertama menembak, kok sasarannya tepat,’’ ucap Nita.

Dia juga gemar olahraga catur. Saat masih sekolah, Nita sempat menjuarai kejuaraan catur di Klaten, daerah asalnya.

Nita merupakan salah satu perempuan yang berani mengambil risiko untuk masuk ke dunia yang identik dengan laki-laki. Dia berusaha profesional dengan bidang yang dipilih. Walaupun demikian, keluarganya pun tidak dibiarkan terbengkalai. ’’Ortopedi itu profesi saya. Namun, saya juga seorang istri dan ibu,’’ ucapnya. (Ferlynda Putri/c15/dos/sep/JPG)

Jawa Pos