Ubaya Bantu Sosialisasikan UU Merek Terbaru fadjar March 24, 2017

Ubaya Bantu Sosialisasikan UU Merek Terbaru

SURABAYA (BM) ndash; Kesadaran masyarakat Indonesia untuk mendaftarkan merek belum tinggi. Ini bisa berdampak kepada perlindungan hukum yang lemah. Dibandingkan negara India periode 2011-2015, rata-rata ada ratusan ribu pendaftaran merek tiap tahun. Sementara di Indonesia untuk periode 2010-2016, tiap tahun rata-rata hanya puluhan ribu.

Hal itu terungkap dalam Seminar Nasional Perlindungan Merek Menurut UU Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yang diselenggarakan Laboratorium Hukum Keperdataan Fakultas Hukum (FH) Universitas Surabaya (Ubaya) dan didukung Indonesia Intellectual Property Alumni Association (IIPAA) di Gedung Perpustakaan lantai 5 Ubaya, Kamis (23/3).

Narasumber yang berkompeten dalam merek dihadirkan dalam seminar tersebut, antara lain Prof. Dr. Insan Budi Maulana, S.H.,LL.M., seorang advokat, Konsultan HaKI, dan dosen perguruan tinggi ternama, Fathlurachman, S.H.,M.M., selaku Direktur Merek dan Indikasi Geografis, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM RI, dan dosen FH Unair Prof. Dr. Rahmi Janed, S.H.,M.H. Seminar dimoderatori Manajer Sentra HKI Ubaya Irta Windra Syahrial, S.H., M.S.
Prof. Insan mengatakan, UU 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis merupakan perubahan atas UU 15 tahun 2001 tentang Merek. Terdapat beberapa perbedaan dalam UU itu. Salah satunya mempercepat alur pendaftaran merek.
“UU yang baru terkesan lebih cepat dibanding UU sebelumnya,” katanya. Namun, lanjut dia, UU yang baru belum dapat mencegah terjadinya ‘dagang merek’.
Jenis-jenis merek yang bisa didaftarkan berdasarkan UU 20 tahun 2016 lebih luas. Dia menjelaskan, merek-merek yang dapat didaftar berupa merek konvensional plus hologram, 3 dimensi, suara, dsb. Sedangkan UU 15 tahun 2001 hanya berupa kata-kata, huruf-huruf, logo, warna, angka-angka, atau gabungan itu semua. “Memang semua ada sisi positif dan negatifnya,” tegasnya.
Fathlurachman menyebutkan alasan dilakukan amandemen UU tentang merek. Salah satunya menyederhanakan proses dan prosedur pendaftaran merek. Dengan begitu, pelayanan cepat dan prima dapat dilakukan kepada masyarakat yang ingin mendaftarkan merek.
“Yang jelas, kalau tidak ada pengajuan merek dari masyarakat ya tidak ada perlindungan hukum,” tuturnya.
UU baru, kata dia, juga mengakomodir tentang pendaftaran merek internasional berdasarkan Madrid Protokol. Sementara UU lama tidak terdapat pengaturan tentang pendaftaran merek internasional.
“Dengan UU baru ini, ke depan kami ingin menjadi anggota Protokol Madrid. Dengan begitu, jangkauan merek bisa lebih luas,” terangnya.
Dengan keluarnya UU baru ini, dia berharap masyarakat memanfaatkannya. Karena pendaftaran merek tergantung dari masyarakat sendiri.
“Kami akan sosialisasi terus untuk menjelaskan bahwa merek itu penting. Masyarakat harus tahu hak dan kewajibannya,” tandasnya. (adv/sdp)
Sumber: https://www.beritametro.news