SEMINAR CRITICAL THINKING LITERACY IN THE AGE OF HOAX fadjar March 15, 2017

SEMINAR CRITICAL THINKING LITERACY IN THE AGE OF HOAX

Kamis, 02 Maret 2017 mahasiswa Pascasarjana FBE Universitas Surabaya mengikuti sebuah seminar yang diadakan oleh Leadership Club (LC) 8th dengan tema Critical Thinking Literacy in The Age of Hoax. Seminar yang diketuai oleh Bagus Kurniawan ini mengundangAnindito Aditomo(Direktur PPKP Ubaya) dan Rovien Aryunia(Koordinator Mafindo Surabaya) sebagai narasumber.

Anindito Aditomo memberikan materi pertama tentang pemahaman bahwa manusia mempunyai dua sistem model berpikir. Sistem pertama merupakan sistem berpikir yang sangat cepat dan tanpa disadari/ spontanitas. Sistem pertama dapat bekerja secara otomatis karena sering dilatih terus menerus dan tersimpan pada memori jangka panjang. Sistem yang kedua, melibatkan proses pengolahan informasi yang lebih lambat pada keadaan sadar. Selain kempuan berpikir, Anindito Aditomo juga menjelaskan adanya bias penalaran atau seling disebut halo effect. Halo Effect merupakan bias dalam pengambilan kesimpulan spesifik berdasarkan kesan umum. Contohnya adalah antara penyakit ebola dan obesitas. Penyakit ebola sering kali menjadi heboh karena dapat menimbulkan kematian seperti yang banyak disiarkan oleh berita. sedangkan obesitas oleh masyarakat dianggap biasa walaupun secara statistik lebih banyak menimbulkan kematian.

Pemikiran kritis dibutuhkan untuk setiap informasi yang diperoleh karena berpikir kritis memang membutuhkan skill tetapi komponen utama yang lebih dibutuhkan adalah kontrol diri dimana bukan sekedar kemampuan tetapi kemauan. Hoax cenderung muncul pada judul-judul yang bombastis sehingga orang cenderung untuk tertarik menyebar luaskan berita tersebut. Akan lebih baik menguji opini dan fakta yang ada, atau bandingkan dengan sumber lain sebelum menyebar luaskan berita. Pada dasarnya setiap orang dapat berpikir kritis terhadap orang yang tidak disukai dan hal tersebut adalah hal yang negatif. Orang akan cenderung menyebarluaskan berita yang dianggap keren meskipun belum tahu kebenarannya demi kepuasan sesaat. Kepuasan tersebut adalah perasaan bangga bahwa dirinya merupakan pribadi yang pintar dan uptodate dengan cara menyebarluaskan pertama kali berita tersebut. Penyebaran berita hoax memang seolah-olah tidak ada konsekuensinya, tetapi seseorang harus tetap berhati- hati atas informasi yang disebar karena sekarang telah berlaku UU ITE.

Sesi dilanjutkan oleh Rovien Aryunia yang menjelaskan dampak yang ditimbulkan jika hoax disebarkan secara terus-menerus. Dampak yang terjadi adalah hoax akan menenggelamkan fakta sehingga masyarakat menjadi lebih susah membedakan mana yang benar mana yang salah. Berita hoax seringkali berkembang secara besar-besaran dalam group sosial dan eksklusive. Berita hoax yang dibiarkan terus menerus tanpa adanya klarifikasi kebenaran, dapat megakibatkan kematian karakter. Rovien Aryunia memberikan cara untuk mendeteksi hoax antara lain mengkoreksi judul berita yang provokatif, memperhatikan alamat situs web, cek fakta dari sumber yang otoratif, cek foto yang digunakan, dan bandingkan dengan fanpage anti hoax atau ikuti group diskusi anti hoax. “Saring sebelum sharing, ingatlah bahwa apa yang kita share di media sosial bisa merugikan diri kita sendiri.” ungkap Rovien menambahkan.

Adhika mahasiswa Magister Manajemen angkatan 51 menuturkan “Alur penyampaian materi sangat sistematis. Narasumber sangat berkompeten dgn topik hoax, sehingga penjelasannya mudah dipahami. Seminar tersebut semakin menyadarkan diri saya bahwa tidak semua informasi itu benar benar fakta, sekali pun disebarkan oleh pihak yang reliable. Di era hoax ini, kita harus lebih pintar pintar dalam menyaring semua informasi dan harus mengkonfirmasi sumber informasi tersebut”. Hal senada diungkapkan oleh Bambang yang menuturkan bahwa contoh yang diberikan sangat relevan sehingga mudah dipahami.Materi yang diberikan memberikan wawasanbahwa tanggung jawab penyebaran Hoax merupakan tanggungjawab pembaca dan penyebar berita. Setiap orang yang membaca berita juga harus “mawas diri” menyaring informasi yang diterima sebelum menyebarkannya kembali.

Setiap peserta juga menuliskan harapan- harapan dan resolusi mereka terkait adanya penyebaran Hoax dalam era teknologi dalam “Wall of Hope”. #IndonesiaAntiHoax, Be SMART n Say No to Hoax, Jangan mau negara dipecah belah karena Hoax, Stop! Let’s United! merupakan beberapa ungkapan dan harapan peserta akan fenomoena penyebaran hoax dalam Wall of Hope.