Jejak Naga di Persebaya fadjar January 31, 2017

Jejak Naga di Persebaya

Dalam perjalanan panjangnya sejak 1927, Persebaya membuktikan warna-warninya. Green Force bukan milik satundash;dua golongan saja. Persebaya bukan diisi oleh satundash;dua etnis saja. Persebaya begitu berwarna-warni.Di antara para pemain Persebaya, terselip sejumlah etnis Tionghoa yang ikut melambungkan nama klub kebanggaan Surabaya tersebut. Inilah dua di antara berjibun pemain berdarah Tionghoa yang pernah merumput dan berprestasi di Surabaya. (*)

The Last Emperor

Suwito membela Persebaya dalam usia muda. Tapi, kontraknya diputus di tengah jalan. Meski begitu, Suwito tetap bangga.

KHO Gieng Sien alias Suwito sudah masuk skuad inti Persebaya pada Kompetisi Divisi Utama Ligina musim 2002. Kala itu, usianya masih 20 tahun. Tentu, masuk ke klub besar adalah sebuah kebanggaan tak ternilai bagi anak muda itu. Perjalanan karir tersebut dibentuk dari pengalamannya sejak kanak-kanak di sebuah desa kecil bernama Cokrowati, Kabupaten Tuban.

Teriakan Suporter Bikin Terbang

Seperti anak-anak sebayanya, masa kecilnya juga diisi dengan berbagai aktivitas. Salah satunya adalah sepak bola. Suwito yang berpostur jangkung sudah mengakrabi posisi striker. Dia mudah menguasai bola di depan gawang.

Jalan hidupnya mulai berubah ketika dirinya hijrah ke Kota Pahlawan. Suwito lantas bersekolah di SMAK St Agnes di Jalan Mendut. Tak jauh dari Stadion Gelora 10 Nopember. ‘Waktu itu ya masih tetap sering main bola plastik di sekolah. Pas SMA saya semakin tahu Persebaya soalnya dekat sama sekolah,’ cerita Suwito, Senin (23/1).

Lelaki kelahiran 4 Februari 1982 tersebut lantas bergabung dengan klub amatir Putra Gelora. Di sana, skill olah bolanya kian terasah. Tentu, dia tidak pernah berpikir bahwa suatu saat akan bergabung dengan Green Force.

Tapi, pada sebuah sore di tahun 2000, selepas latihan di lapangan hoki, markas Putra Gelora, Suwito mendengar tentang pendaftaran Diklat Persebaya. Diklat tersebut merupakan wadah untuk menjaring pemain lokal klub-klub amatir. Pemain dilatih menjadi profesional. ‘Saya daftar saja. Ikut seleksi, tanpa koneksi, tidak ada mentor, yang penting coba,’ ungkap bungsu dari sepuluh bersaudara tersebut.

Suwito akhirnya bergabung dalam diklat tersebut. Dia ingat, ketika itu salah seorang mentornya adalah Rudy William Keltjes. Selama setahun, kemampuannya mengolah si kulit bundar semakin terasah. Hingga akhirnya, dia direkrut manajemen Persebaya untuk semusim kompetisi. ‘Ada dua orang hasil diklat yang masuk tim senior untuk ikut Divisi Utama 2002,’ tuturnya.

Ketika itu, Suwito bermain satu tim bersama nama-nama besar lainnya. Sebut saja libero sekaligus kapten tim Bejo Sugiantoro, Khairil ‘Pace’ Anwar, Andi ‘Gepeng’ Budianto, Uston Nawawi, dan I Komang Putra. Bersanding dengan mereka tidak membuat pria bertinggi 180 cm itu keder. Nervous memang ada, tapi Suwito berusaha mengikisnya dengan terus berlatih keras.

Di tangan Rusdi Bahalwan, Suwito muda ingin membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi penyerang andalan Persebaya. Sayangnya, pada musim kompetisi itu, suasana tim sedang tidak kondusif. ‘Ganti manajemen sampai tiga kali. Saya masih muda, jadi lebih banyak diam,’ kata putra pasangan Kho Tjien Eng dan Oei En Nio tersebut.

Awalnya Suwito dikontrak untuk semusim kompetisi. Namun, di tengah jalan, kontrak itu diputus. Bahkan, pemutusan kontrak tersebut tidak pernah disampaikan langsung kepadanya. Suwito malah mengetahui namanya dicoret dari koran.

Meski begitu, kecintaan Suwito pada Persebaya tidak pernah padam. Dia tidak dendam sedikitpun. Dia tetap bangga pernah menjadi bagian dari kesebelasan
dengan kostum kebesaran hijau-hijau tersebut.

Demi Persebaya, Suwito yang kerap disebut Ahong itu mempertaruhkan segalanya. Dia sempat meninggalkan bangku kuliah untuk Persebaya. Waktu itu yang dicari bukanlah materi, tapi sebuah loyalitas yang ingin dibuktikannya kepada pencinta sepak bola Surabaya.

Suwito mengenang, atmosfer Stadion Gelora 10 Nopember memang tiada duanya. Bagi anak muda sepertinya, menjejakkan kaki di rumput hijau Tambaksari rasanya begitu magis. Banyak anak muda seusianya yang ingin mencicipi pengalaman itu. Tapi, tidak banyak yang seberuntung Suwito.

Jangankan pertandingan resmi, saat Persebaya berlatih saja, suporter sudah berjibun. ‘Kalau suporter sudah teriak, rasanya seperti terbang,’ ujarnya.
Lepas dari Persebaya, dia melanjutkan kuliahnya di Universitas Surabaya. Dia juga aktif bermain futsal untuk membela nama kampusnya. Pada 2004 Suwito ikut seleksi di Persitara Jakarta Utara. Tapi, dia tidak sampai dikontrak.

Petualangannya lantas kembali ke Surabaya. Dia juga bergabung dengan Persebaya Selection yang berkompetisi di Piala Gubernur Jawa Timur. Dalam karir sepak bolanya, Suwito tidak pernah mengharapkan bantuan orang lain. Dia tahu, iklim sepak bola di Indonesia begitu keras. Ada anggapan kalau ingin sukses berkarir sebagai pemain, harus ada orang yang menjadi pegangan. Istilahnya pemain titipan.

Namun, hal itu tidak berlaku bagi pria yang juga akrab disapa Jialing oleh rekan-rekan setimnya di Persebaya dulu. Dia juga tidak memedulikannya. ‘Saya nggak mikir ada pemain titipan atau enggak. Kalau saya nggak masuk tim, berarti saya mainnya memang kurang,’ sebut arek Pacar Keling tersebut.

Berpikir realistis sangat penting untuk mengarungi kehidupan. Hal itu pula yang diyakini Suwito. Dia sudah punya pandangan, kalau sudah umur 30 tahun, karir bolanya mentok. Maka, dia pun memutuskan untuk menyudahi petualangannya di lapangan hijau saat menginjak angka tersebut.

Suwito sempat berkarir sebagai pemain futsal. Dia dikontrak beberapa tim futsal. Insting golnya terus terasah sampai tahun lalu. Sekarang main sepak bola dan futsal cuma menjadi obat rindu kala ada waktu lengang.

Suara gemuruh stadion tiba-tiba lenyap dari telinga Suwito begitu pensiun. Hijaunya rumput tergantikan dengan tumpukan sepatu yang berjejer di rak-rak
dan etalase. Suwito kini bekerja membesarkan toko sepatu kakaknya yang bernama Kho Santi Suhartini.

Saat Jawa Pos menemuinya di Jalan Tembaan Tengah B-59, Suwito begitu humble dengan pegawainya. Hampir setiap hari, Suwito mengawasi pengiriman sepatu yang dijualnya. Toko bernama Sentral Jaya itu biasa menerima order dari luar Pulau Jawa. Di antaranya, Kalimantan dan Sulawesi.

Ada kalanya dia kangen untuk merumput. Untuk menjaga stamina, tidak jarang Suwito berlari. Dia juga sempat mencicipi running contest yang digelar di Surabaya.

Kini, sebuah kaus berisi tanda tangan teman-teman seangkatan nya masih disimpannya dengan baik. Suatu cenderamata yang menjadi pemanis sejarah hidup-
nya. Jadi bukti bahwa dia adalah The Last Emperor, hoaqiau terakhir, di klub yang berdiri pada 18 Juni 1927 itu. ‘Saya cinta Persebaya. Bangga pernah menjadi bagiannya,’ tegas pria yang bermimpi menjadi pelatih sepak bolamitu. (Dida Tenola/c7/dos)

Jawa Pos, 27 Jan 2017