Listyo Yuwanto, Aktivis Sosial yang Tenangkan Pengungsi Anak lewat Komik fadjar November 8, 2016

Listyo Yuwanto, Aktivis Sosial yang Tenangkan Pengungsi Anak lewat Komik

Listyo Yuwanto punya keahlian berbeda dalam menenangkan pengungsi anak. Melalui komik wayang punakawan, dia mampu menghipnotis ratusan anak untuk melupakan kejadian mengerikan yang baru saja mereka lewati.

LISTYO Yuwanto bergegas keluar dari ruang Pusat Konsultasi Layanan Psikologi (PKLP) Universitas Surabaya (Ubaya). Yang dituju adalah ruang asesmen. Tangannya tampak menenteng belasan komik.

Di ruang berisi aneka permainan anak itu, Listyo mengeluarkan satu per satu komik tersebut dari plastik yang membungkus. Model komik itu berbeda-beda. Mulai ukurannya, ketebalannya, warnanya, hingga bentuknya. Ada yang sudah mirip komik siap jual dengan jahitan rapi. Ada yang masih berbentuk jilid spiral bak makalah.

”Meski berbeda, tampilan ini tak menghilangkan tujuan aslinya. Yakni, mengatasi trauma pada anak yang mengalami musibah,” ungkapnya kepada Jawa Pos, Selasa (1/11).

Ya, dua belas komik yang dibuat Listyo tersebut memang didedikasikan untuk menghilangkan trauma pada anak saat musibah. Idenya muncul pada 2010. Saat itu Gunung Merapi meletus. Ribuan warga pun lari menuju tenda-tenda pengungsian. Termasuk anak-anak.

Mengetahui kondisi itu, Listyo yang sejak SMA terlibat aktif dalam Palang Merah Remaja (PMR) langsung terpanggil untuk datang ke Merapi. Dia siap memberikan bantuan tenaga dan mengevakuasi para korban.

Setelah sampai, Listyo melihat bahwa kondisi tenda pengungsian sudah ‘cukup memadai’. Bantuan sudah banyak. Bahan makanan pokok dan pakaian untuk korban terbilang cukup. Pemerintah juga terasa sigap menghadapi bencana.

‘Tetapi, ada yang kurang dari beragam bantuan itu. Yakni, perhatian pada anak-anak. Mereka (pemerintah, Red) masih menganggap anak-anak belum mengerti apa yang terjadi. Padahal, efek kekacauan tersebut bisa membuat mereka trauma,’ ungkap dosen psikologi Ubaya tersebut.

Listyo mengungkapkan, sejak saat itu dirinya mulai mengupayakan rehabilitasi anak-anak dengan penanganan psikologi. Salah satunya dengan dongeng untuk anak. Itu dilakukan agar perhatian anak-anak tentang bencana bisa hilang.

Waktu itu, Listyo mengajak beberapa mahasiswa untuk membuat dongeng bermedia boneka.

Tapi, cerita di panggung tersebut tidak langsung menarik perhatian anak-anak pengungsi. Mereka cuek dan tidak ingin men dengar kan cerita. Bahkan, beberapa anak langsung ngacir menjauhi panggung dan asyik bermain wayang-wayangan.

Melihat gelagat itu, Listyo langsung tanggap. Dia menilai, dongeng Putri Salju yang sedang dibawakan para relawan tersebut tidak dimengerti oleh anak. Para pengungsi cilik itu sulit membayangkan tokoh dalam dongeng.

Sejak itu, Listyo melirik wayang sebagai sarana pengalihan trauma. Dan, yang dipilih adalah para punakawan. Yakni, Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Semuanya dituangkan dalam bentuk komik. ‘Mereka punya karakter khas yang bisa menginspirasi setiap anak,’ jelas lelaki asal Blitar tersebut.

Trik itu ternyata cespleng. Anak-anak yang menjauh lantas merapat. Mendekat. Listyo ingat betul, kisah yang ditulisnya kala itu bertajuk Candi Borobudur dan Liburan ke Museum ala Punakawan. Komik itu laris. Saking sukanya, beberapa anak justru merobek komik tersebut agar lembarannya bisa dibawa pulang.

Meski laris dan disukai anak-anak, terobosan Listyo dalam membuat komik tersebut dicibir sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Komik-komik itu dinilai tak bermanfaat. Banyak yang berpendapat bahwa para pengungsi lebih membutuhkan bahan logistik dan kebutuhan primer. Bukan sekadar buku cerita bergambar.

Tentu, Listyo tidak acuh. Bagi dia, komik sederhana yang akhirnya diterima dan disukai anak-anak itu sudah cukup. Toh, aksinya benar-benar sukarela. Anak-anak tak perlu membeli komik.

Kisah bergambar buatan lelaki kelahiran 23 Juni 1080 tersebut memang berbeda dengan komik-komik lain. Gambarnya lebih sederhana. Maklum, pembuatnya bukan orang ahli di bidang gambar-menggambar. Untuk menutupi kekurangan, Listyo juga menggunakan sejumlah foto yang diracik membentuk panel-panel komik.

Kumpulan foto tersebut disusun sesuai alur cerita. Biasanya, agar fokus dan membentuk sebuah tema, Listyo menyediakan waktu khusus. Termasuk harus berburu foto di sejumlah tempat. Mulai masjid, kelenteng, museum, tempat wisata, hingga bangunan bersejarah. Semua disusun membentuk kisah.

Hambatan-hambatan teknis memang ada. Misalnya, warna yang enggak pas saat dicetak. Atau hasil jepretan kurang pas sehingga tiap foto memiliki
kecerahan berbeda. ‘Ada yang bening, ada yang blur,’ ungkap Listyo.

Maklum, dia berburu gambar dengan memakai handphone jadul. Misalnya, Nokia N8 atau Sony Ericsson Z1. ‘Saya sendiri juga ndak ahli kamera,’ ucapnya, lantas terkekeh.

Setiap foto dalam komik Listyo akan diberi penjelasan oleh para tokoh punakawan. Isinya memang gaya bertutur. Itu, kata Listyo, dilakukan agar cerita bisa diserap anak secara cepat.

Nah, tokoh-tokoh punakawan tersebut juga tidak digambar. Listyo mencari ‘foto’ Semar, Gareng, Petruk, Bagong, lantas dipindai (scan). ‘Yang penting bisa kelihatan,’ kata Listyo. Tawanya makin lebar.

Selain memboyong ratusan eksemplar komik ke barak pengungsian di Gunung Merapi secara bertahap, Listyo menyuplai tempat bencana lainnya. Misalnya,
letusan Gunung Kelud pada 2014, aliran pengungsi Syiah ke Sidoarjo pada 2014, hingga Gunung Sinabung di Kabupaten Karo pada 2016.

Untuk mencetak ratusan komik tersebut, Listyo harus memutar otak. Dia menjual barang bekas dan baju bekas, merogoh kocek sendiri, hingga menggunakan
hasil keuntungan dari beberapa seri komik yang dijual lantaran ada permintaan. ”Bukunya gratis. Tapi, kalau ada yang pesan kami layani. Nah, keuntungan penjualan itulah yang kami gunakan untuk memperbanyak komik,” tutur Listyo.

Kegigihan membantu ratusan anak korban bencana itu sudah tertanam pada jiwa lelaki plontos tersebut saat belia. Dia sudah turun tangan membantu korban tsunami di Banyuwangi pada 1994. Ketika itu, dia masih SMP dan nekat berangkat dengan naik kereta api bersama tiga kawannya.

‘Karena ndak bawa uang, kami akhirnya nyanyi untuk koin donasi. Kebetulan salah satu radio di Banyuwangi sedang bikin acara amal. Waktu itu, saya tampil dengan Harmoni, grup vokal milik kami berempat,’ kenangnya.

Listyo juga pernah turun tangan saat kerusuhan Mei 1998. Tiga minggu dia turun ke jalanan untuk menyelamatkan orang- orang dari amuk masa. Untuk
itu, dia harus berbohong kepada orang tuanya. Listyo mengaku sedang mengikuti ujian seleksi masuk Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta.

‘Pengalaman menolong korban Mei 1998 itu paling dramatis. Ada teman saya yang kena kepruk paving oleh demonstran hingga gegar otak,’ jelasnya. Meski begitu, Listyo tidak pernah kapok. Menurut dia, niat baik tetaplah baik. Listyo berprinsip, sikap membantu sesama yang membutuhkan harus tetap dipegang sekuat tenaga. ‘Selama bisa, setiap usaha baik harus diusahakan,’ tegasnya. (*/c7/dos)

Jawa Pos, 7 November 2016