Geliat Koperasi di Surabaya fadjar March 24, 2014

Geliat Koperasi di Surabaya

Jadi Sandaran Ibu-Ibu,
Peraih Nobel Ikut Belajar

Di tengah kondisi sebagian besar koperasi yang kembang kempis, tidak banyak yang tahu bahwa ada sejumlah koperasi dengan omzet di atas rata-rata. Koperasi itu berperan membantu ribuan anggota, terutama ibu-ibu. Berikut laporannya.

TIDAK salah, Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Pemprov Jatim Fattah Jasin langsung menyebut Koperasi Setia Bhakti Wanita (SBW) sebagai contoh badan usaha maju yang berkonsep dari Bung Hatta tersebut. Sebab, catatan prestasinya pasti membuat iri para banker.

Setahun, 180 Koperasi Bubar Jalan

Omzet hingga Ratusan Miliar Rupiah

Total omzet koperasi dengan konsep ”dari ibu-ibu, oleh ibu-ibu, untuk ibu-ibu” tersebut per Desember 2013 mencapai Rp 191 miliar. Anggotanya pada jangka waktu yang sama mencapai 12.476 ibu-ibu di seluruh Surabaya.

Itu masih omzet dan anggota. Kinerja koperasi dengan core business financial engineering tersebut juga mengkilap. Ada sejumlah parameter, namun parameter yang membuat bank-bank iri adalah tingkat non-performed loan (NPL alias kredit macet)-nya.

Sepanjang 36 tahun berdiri, tingkat NPL-nya nol persen. Alias, kredit yang dikucurkan tidak pernah tersendat pembayarannya. Memang terkadang ada nasabah yang pinjam, kemudian bangkrut, dan kesulitan membayar. Tetapi, sistem yang ada (konsep tanggung renteng) membuat cicilan pinjaman tersebut tetap terbayar.

Dengan tingkat kepatuhan nasabah seperti itu, banyak bank yang berebut mengucurkan dana melalui koperasi tersebut. ”Tapi, selalu kami tolak,” kata Ketua Pengurus Koperasi SBW Indri Soerjani.

Hebatnya lagi, koperasi yang semua pengurus dan anggotanya perempuan tersebut sama sekali tidak pernah menggunakan jasa banker profesional atau tenaga profesional mana pun dalam pengelolaannya. Semuanya diurus sendiri.

Yang membuat lebih kagum, keberhasilan pengelolaan ibu-ibu yang menghasilkan omzet jumbo dan tingkat NPL nol persen itu membuat Moh. Yunus, ekonom asal Bangladesh, pernah ”magang” di koperasi tersebut. Kelak dia mendirikan Grameen Bank. Konsep tersebut kemudian membuatnya meraih Nobel Ekonomi.

Kini Koperasi SBW tidak hanya bergerak di bidang simpan pinjam. Tetapi, koperasi tersebut sudah mempunyai swalayan, food court, dan homestay. Bahkan, kantornya di Jalan Jemur Andayani 55 sudah seperti kantor BLK ibu-ibu. Selain melayani beasiswa untuk mahasiswa anak anggota yang pintar, SBW menyediakan pelatihan soft skills kepada ibu-ibu. ”Tiap hari di sini selalu ramai,” ucapnya.

Kesuksesan Koperasi SBW itu bukan kisah sukses semalam. Perjalanannya sangat panjang. Awalnya, ada sekitar 35 ibu-ibu di Jalan Gubeng Kertajaya yang berkumpul untuk arisan pada 1975. Bedanya dengan konsep arisan lainnya, yang menang tidak ditentukan oleh kopyokan.

”Tapi, ditentukan oleh siapa yang saat itu tengah butuh uang atau butuh modal,” kata Ketua II Pengurus Koperasi SBW Any Mirnawati. Selama tiga tahun berlangsung seperti itu, kemudian datanglah Mursia Zaafril Ilyas. Nama terakhir tersebut merupakan mantan sekretaris Bung Karno.

Setelah lima kali pertemuan, Mursia kemudian menyarankan untuk melembagakannya. Dengan demikian, yang terbantu tidak hanya 35 anggota arisan. Tetapi, juga masyarakat sekitar. Mendapat usul seperti itu, para founding mothers tersebut kemudian mendirikan SBW dengan kantor pertama di garasi Notaris Yudara (yang juga salah seorang anggota) di Jalan Raya Kertayaja 178.

Cerita lain terjadi di Kopkar Ubaya. Koperasi yang berdiri pada 1985 itu merupakan inisiatif karyawan Ubaya. Pada awalnya, koperasi tersebut hanya menjual kebutuhan pokok, seperti gula, beras, minyak, dan tepung.

Seiring berjalannya koperasi, ternyata masalah semakin banyak. Anggota sering tidak membayar sembako yang diambilnya. Ketua Umum Kopkar Ubaya Sri Mince Endramawan mengatakan, malah ada yang mengambil sembako di koperasi, lalu menjualnya keluar. ”Masalahnya, sembako itu tidak dibayar ke koperasi,” keluhnya.

Kejadian itu menggerogoti kopkar tersebut. Dia mengatakan, perlu dipikirkan perbaikan sistem yang membuat anggota harus membayar atau pinjaman tidak macet. ”Sistem ini yang penting,” tuturnya.

Akhirnya, dibuatlah aturan yang harus bekerja sama antara koperasi dan universitas. Jadi, jika ada anggota yang enggan membayar, universitas akan memotong gaji peminjam. ”Sistem yang dibuat dengan menggandeng universitas sebagai pembuat kebijakan ini cukup efektif. Ini yang membuat kopkar ini bisa bertahan,” ujar Rektor Ubaya Joniarto Parung.

Mau tidak mau, karyawan tetap harus membayar ke koperasi. Meski demikian, dia menjelaskan tidak main potong gaji seenaknya. ”Potong gaji ini harus rasional, jangan sampai membuat anggota koperasi terbebani,” jelasnya.

Sistem potong gaji itu yang membuat kredit macet di koperasi sama sekali tidak ada atau nol persen. Tapi, bukan berarti tidak ada hambatan. Mince menambahkan, ada kalanya anggota koperasi tersebut menghilang, pekerjaannya ditinggal, dan pinjaman ke koperasi tidak dibayar. ”Masalah ini pernahterjadi, tapi sangat jarang,” terangnya saat ditemui kampus Ubaya.

Koperasi itu sangat membantu anggota. Dia mengatakan, kalau ada masalah keuangan, setiap anggota bisa memiliki sandaran lain selain gaji. ”Ya koperasi ini, mereka pinjam uangnya,” jelasnya.

Saat ini jumlah anggota kopkar itu sekitar 700 orang. Unit usaha koperasi tersebut juga cukup banyak, seperti minimarket, biro travel, dan simpan pinjam. Saking majunya, omzet koperasi itu mencapai Rp 23 miliar setiap tahun. ”Kami berusaha tetap bertahan. Manfaat koperasi memang luar biasa.”

Kepala Dinas Koperasi Surabaya Hadi Mulyono menjelaskan, melalui koperasi, masyarakat bisa jauh lebih sejahtera. Dengan terasanya manfaat koperasi, jumlah koperasi di Surabaya semakin meningkat. Pada 2013, jumlah koperasi aktif mencapai 1.250 unit. Pada 2014, jumlah koperasi aktif naik sekitar 3,6 persen menjadi 1.295 unit. ”Ini bukti nyata,” tuturnya.

Sumber : Jawa Pos