Tidak banyak orang yang bisa secara konsisten menjalani dua dunia yang sejatinya bertolak belakang. Di antara yang sedikit itu, ada Adhicipta Raharja Wiriawan. Dia adalah magister sekaligus dosen akuntansi dan animator berprestasi.
PRISKA BIRAHY
—
KEDIAMAN Adhicipta Wiriawan menunjukkan betapa kreatif penghuninya. Rumah itu sederhana saja, terletak di sudut gang kawasan perumahan di Tenggilis. Rumputnya menghijau, kontras dengan salah satu dinding rumah yang merah menyala dengan tulisan Mecanimotion.
Itulah ”sarang” lelaki kreatif itu. Sarang ide, sarang kreativitas, sekaligus sarang seni. Nuansa tersebut kian terasa di balik satu pintu geser yang menuju ruang pribadinya. Ruangan tersebut kecil. Tapi, berjibun gambar tokoh animasi memenuhi dinding.
Di dalam ruangan itu juga terdapat rak berisi setumpuk buku tentang animasi. Di sampingnya, ada rak panjang yang di atasnya terdapat deretan piala beraneka bentuk. Aneka pigura berisi piagam penghargaan menghiasi ruangan tersebut.
Kamar kecil itu juga disesaki dua komputer, meja pembatas, dan kursi. Tapi, percayalah, ruangan tersebut jauh dari kesan amburadul. Semuanya tertata rapi. Hanya ada satu kertas putih berisi sketsa yang tertempel di dinding. ”Ini pekerjaan saya. Ya, begitu lah,” katanya seraya mencomot kertas tersebut. Adhi, sapaannya, mengatakan bahwa sketsa itu merupakan rencana karakter game yang dibuatnya.
Pria kelahiran 5 Januari 1979 itu bukan animator anyaran. Berbagai prestasi sudah dia torehkan. Dia membesut animasi Garuda Riders; The Adventure of Wanara yang tayang di salah satu perusahaan televisi internet Indonesia.
Adhi juga menjadi pemenang lomba animasi yang dihelat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karyanya, Djamal; Mahalnya Kejujuran, terpilih sebagai animasi yang pas untuk mengampanyekan gerakan antikorupsi di negeri ini.
Hidup sebagai animator dan ilustrator murni memang nyaris tak terlintas di benak Adhi saat kecil.
Sebab, keluarganya sangat straight dengan sistem pengajaran yang keras. Anak-anak di keluarganya selalu dididik agar ketika sudah besar mereka bekerja di kantor atau perusahaan.
Bakat menggambar Adhi sejatinya sudah muncul saat dia masih kecil. Begitu pun dua saudara kandungnya. Justru Adhi merasa sangat mengagumi karya-karya saudaranya sehingga dia terciprati darah seni itu.
Bahkan, akhirnya hanya Adhi yang meneruskan dan menyeriusi bakat coret-mencoret tersebut. Terbukti, dia kerap ikut lomba menggambar sejak SD hingga SMA. Mulai gambar sketsa sampai akhirnya menjadi seorang ilustrator.
Adhi sempat ingin kuliah di jurusan desain animasi. Tapi, masa depan animator dianggap masih gelap. Madesu alias masa depan suram. ”Kata orang tua, tidak ada yang menjanjikan pada jurusan animasi,” ungkap pria asli Surabaya tersebut.
Karena itu, Adhi pun harus sejenak menahan passion-nya. Manut pada petuah orang tuanya. Pada 1997 Adhi berkuliah di Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Surabaya (Ubaya). Lalu, apakah Adhi terjebak pada dunia yang tak disukainya? Ternyata tidak. Justru di jurusan itu dia punya lahan untuk meliarkan bakatnya.
Di kampus tersebut, Adhi bertemu dengan Bonnie Soeherman, sahabat yang juga seorang ”ilustrator yang sedang tersesat di jurusan akuntansi”. ”Dia yang mengajak saya untuk menjadi ilustrator,” ungkap Adhi.
Meski saat kuliah mereka terus-menerus berkutat pada tabel, angka, neraca, dan perhitungan, selalu ada cara untuk melampiaskan hobi. Hobi memainkan bentuk dan garis menjadi sebuah tampilan visual yang unik.
Bonnie menawari Adhi untuk menjadi ilustrator di majalah dan tabloid kampus. Itulah kali pertama dia membuat gambar dengan memakai komputer. Secara piawai, dia mulai mengaktifkan aneka tools pada program-program penggambar untuk membikin ilustrasi yang elok.
”Biasanya saya buat ilustrasi kalau tulisan butuh gambar. Kalau minim tulisan, ya saya isi halaman dengan ilustrasi saya sendiri,” kenang bapak dua anak tersebut.
Setelah lulus pada 2003, Adhi melamar sebagai seorang ilustrator pada sebuah perusahaan. Katanya, iseng. ”Eh, ternyata beneran dipanggil,” ujarnya. Akhirnya sarjana akuntansi itu bekerja dan di-training khusus sebagai ilustrator selama sembilan bulan.
Di tengah-tengah pekerjaan itu, tiba-tiba tawaran kerja lain datang. Bukannya senang, Adhi justru heran dengan pekerjaan anyar tersebut. Sebab, dia ditawari menjadi dosen akuntansi. ‘Padahal, kuliah saya saja molor, mulai 1997-2003. Kok bisa kepikiran nawarin saya untuk jadi dosen,’ katanya lantas tertawa kecil.
Meski begitu, tantangan mengajar itu diterimanya. Dia pun resmi menjadi dosen akuntansi di Ubaya, almamaternya. Untuk menambah wawasan, dia mengambil pendidikan profesi akuntansi pada 2006. Tak mau setengah-setengah, pada 2009 Adhi juga mengambil master akuntansi, S-2, di Universitas Airlangga.
Agar hasrat di jagat menggambar tidak lenyap, pada 2009 pula Adhi mendirikan sekolah animasi. Sebab, dia begitu prihatin memandang dunia akuntansi dan game yang stagnan. Sejak itu, Adhi kian aktif berlomba. Bersama Bonnie, teman karibnya di kampus, Adhi bergabung dengan komunitas animasi di Surabaya, yaitu Blender Software 3D Surabaya. Di komunitas tersebut, hanya Adhi yang bukan murni animator.
Pada 2010 Adhi dan komunitasnya mengikuti ajang Telkom Indigo Fellowship, lomba yang diadakan PT Telkom. Pada lomba itu, satu tim hanya boleh mengirimkan satu wakil yang akan diadu dengan wakil tim lain. ”Lombanya bukan hanya membuat game, tapi juga model bisnis,” jelas Adhi.
Dengan syarat itu, Adhi ditunjuk sebagai wakil tim. Latar belakang bisnis dan akuntansi yang dimiliki Adhi membuatnya mampu merancang game sekaligus membuat anggaran dana, kerangka bisnis, hingga target pasar game bikinannya. Di sini, Adhi mulai merasakan kelebihan menjadi seorang animator sekaligus akuntan. Sebab, kata dia, lomba tersebut benar-benar merangsang orang untuk tidak sekadar menyalurkan hobi, melainkan juga membuat hobi tersebut menghasilkan. Benar juga, Adhi menjadi juara kategori Digital Comic Animation: Animo (Animasi-Motivasi).
Pada 2011 Adhi dan tim kembali berlaga pada ajang yang sama. Sekali lagi, Adhi menjadi wakil. Kali ini Adhi harus menjalani masa karantina lomba di Bandung.
Awalnya, Adhi dan timnya mengangkat tema The Adventures of Anoman. Desain karakter, setting, hingga cerita sudah dibuat secara komplet bersama Bonnie yang mendampinginya. Namun, bak petir di siang bolong, seorang panitia menghubunginya. Tema animasi itu harus diubah total. Sebab, pernah ada game berkarakter Anoman, si kera sakti itu, di India. Tapi, game tersebut dikecam umat Hindu. Sebab, Anoman atau Hanuman adalah salah satu dewa yang disembah umat Hindu.
Dalam waktu sepekan–ditambah stres dan kebingungan–, tim harus mengubah total game tersebut. Tak hanya nama tokohnya, tapi keseluruhan bangunan cerita game itu. Dalam situasi yang mepet, di dalam kereta dari Bandung menuju Jakarta, Adhi dan Bonnie mendapat ”wangsit”. Mereka mengubah latar belakang cerita menjadi seribu tahun setelah era Ramayana atau 10 abad setelah Hanuman menyerbu Alengka yang dipimpin Dasamuka.
Tema cerita pun berubah menjadi The Adventure of Wanara. Tokoh utamanya adalah Naraja yang digambarkan sebagai keturunan Anoman. Karakter itu aman. Nama, cerita, hingga bentuknya sudah berbeda.
Dalam pekan yang ”gila” tersebut, mereka pontang-panting. Namun, tim serta ”kru bayangan” mampu menunjukkan kekompakan. Ada begitu banyak animator yang tak pernah mereka temui, bahkan suaranya pun tak pernah mereka tahu, urun ide dan karya. Mereka tersebar di Bandung, Jakarta, Surabaya, hingga Osaka di Jepang. ”Hanya beberapa yang kami kenal. Selebihnya modal percaya saja,” ujarnya.
Kerja keras itu terbayar. Adhi beserta komunitasnya menjadi jawara. Mereka kembali meraih gelar juara kategori Digital Comic Animation berkat The Adventure of Wanara.
Dengan berbagai pencapaian tersebut, Adhi menunjukkan bahwa hobi dan bakat yang digarap secara apik bisa membuat masa depan kian cerah. Tidak seperti anggapan orang lain. (*/c7/dos)