Jalan Berliku Karir Sadjijono, dari Anggota Resmob Polda Jatim Menjadi Profesor fadjar May 1, 2013

Jalan Berliku Karir Sadjijono, dari Anggota Resmob Polda Jatim Menjadi Profesor

Pilih Resign agar Objektif Mengkritik Polisi

Tidak banyak akademisi bergelar guru besar yang memulai karir dari kepolisian. Satu di antara yang tidak banyak itu adalah Prof Dr Sadjijono SH MHum. Dia memilih angkat kaki dari korps Bhayangkara agar bebas menyampaikan kritik secara objektif.

UMAR WIRAHADI

Tubuhnya tegap dengan nada bicara tegas. Meski usianya telah menginjak waktu pensiun, raut keceriaan selalu terpancar di wajahnya. Di sela intonasi bicaranya yang tinggi, sesekali dia tertawa ringan. ‘Dari dulu saya memang seperti ini. Suka humor juga,’ kata Sadjijono kepada Jawa Pos kemarin (30/4).

Ditemui di kediamannya di Jalan Jemur Wonosari Lebar, Sadjijono terlihat santai dalam setelan hem biru yang dibalut jas hitam. Pembawaan Sadjijono yang tegas memang ditempa sejak dirinya berkarir di kepolisian.

Dia mengawali karir keprajuritan berpangkat bhayangkara dua (bharada) pada 1975 di Jogjakarta. Sejatinya menjadi polisi memang cita-cita Sadjijono sejak kecil.

Nah, pada 1980 dia pun mengikuti sekolah bintara (seba) di Sekolah Polisi Negara (SPN) Mojokerto. Setelah mengikuti pendidikan selama setahun, dia dinyatakan lulus dengan pangkat bintara. Tahun itu dia langsung ditugaskan di Pusat Pendidikan Brigade Mobile (Pusdik Brimob) di Watukosek, Pasuruan. Kala itu, dia membawahkan sejumlah anak buah untuk dilatih setiap tahun.

Sebagai instruktur, Sadjijono bertanggung jawab terhadap kekuatan fisik dan mental anggota. Tak tanggung-tanggung, semua jenis latihan fisik yang menguras tenaga diterapkan kepada anak buahnya. Di antaranya, halang rintang, bela diri, mountaineering, renang laut, hingga latihan SAR. Skill mereka untuk melompat dari truk juga diasah. ‘Brimob memang sangat identik dengan fisik yang kuat,’ jelas pria 59 tahun itu.

Di sela-sela latihan fisik itu, Sadjijono muda tidak pernah lepas dari buku. Di markas tersebut dia dikenal sebagai kutu buku. Katanya, waktu luang selalu dimanfaatkan untuk membaca.

Pada pertengahan 1985, secara sembunyi-sembunyi dia kuliah bahasa Inggris di sebuah perguruan tinggi swasta di Sidoarjo. Agar lebih leluasa belajar, dia mengambil waktu kuliah sore hingga malam. ‘Karena tidak ada teman ngomong bahasa Ingris, ya saya praktik sendiri,’ kenangnya.

Dalam perjalanannya, kuliah S-1 yang ditempuhnya tidak berjalan mulus. Sebab, pada 1988, ada pembukaan untuk mengikuti pendidikan perwira di Sukabumi. Sekali tes, pria kelahiran Jogjakarta tersebut langsung lulus dengan pangkat capa (calon perwira).

Setelah menempuh pendidikan di Sukabumi, Sadjijono ditarik ke Polda Jatim. Bisa jadi karena pembawaan yang lincah dan tegap, Sadjijono dipercaya menjadi anggota Resmob Polda Jatim. Selama di Brimob, Sudjijono banyak memimpin penangkapan sejumlah penjahat di Jatim.

Meski setiap hari bergelut dengan dunia kriminalitas, ketertarikannya dalam keilmuan akademis tidak pernah padam. Pada 1991, dia kuliah di Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara (FH Ubhara). Agar tidak mengganggu kerja rutin di resmob, dia mengambil kelas sore. Kuliah dimulai pukul 17.30 hingga pukul 21.30. ‘Syukurlah, kerja saya tidak sampai terbengkalai,’ ujarnya.

Pada 1994, Sadjijono berhasil lulus tepat waktu dengan gelar sarjana hukum. Tak puas dengan gelar tersebut, pada 1996 dia melanjutkan kuliah di Universitas Surabaya (Ubaya) dengan jurusan yang sama. Supaya tidak mengganggu kerjanya, dia kembali kuliah di waktu yang sama, kelas sore. Gelar magister humaniora (MHum) berhasil diraih pada 1998.

Karena kapasitas keilmuan yang dimiliknya, pada tahun yang sama dia dipindah sebagai penyidik di Unit Harta Benda (Harda) Ditreskrimum Polda Jatim. Sejak saat itu, hasrat untuk terus melanjutkan studi semakin besar.

Setahun berselang, pada 1999, dia memutuskan menempuh jenjang S-3 di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga (Unair). Pada 2003, ayah enam anak itu berhasil meraih gelar doktor. Disertasinya berjudul Eksistensi, Kedudukan, dan Fungsi Kepolisian dalam Organisasi Negara RI Dikaitkan dengan Prinsip Good Governance. Kali ini dia banyak mengkritisi kepolisian. Bahkan, melalui disertasinya itu, dia sempat dipanggil Wakapolda Jatim. ‘Beliau meminta penjelasan tentang isinya. Memang, kan ini kritik yang bagus,’ tuturnya.

Yang membanggakan, prestasi akademiknya sejalan dengan pangkat di kepolisian yang terus menanjak. Akhir 2003, Sadjijono sudah bergelar komisaris polisi (kompol). Dia bertutur, karya ilmiah yang ditelitinya itu ditulis atas keprihatinannya kepada dunia kepolisian. Meski TNI-Polri telah dipisahkan, citra korps baju cokelat kerap dipersepsikan negatif. Padahal, menurut Sadjijono, polisi sebenarnya memiliki fungsi yang mulia (officium nobele). ‘Memang ini tidak terlepas dari perilaku oknum polisi yang buruk,’ ungkapnya.

Suami Luluk Wigati itu membagi polisi dua fungsi. Pertama, fungsi protagonis. Yakni, polisi sebagai pengayom dan pelindung masyarakat. Sayangnya, misi itu sering tercoreng oleh ulah polisi sendiri. Salah satunya, tecermin dari sikap polisi lalu lintas di jalan raya yang terkesan mencari kesalahan pengendara. Ujung-ujungnya, tilang. Padahal, imbuhnya, seharusnya korps tersebut harus mengedepankan fungsi pengayom dan pelindung yang dimiliknya.

Di sisi lain, ada fungsi antagonis. Yakni, fungsi kepolisian dalam rangka penegakan hukum. Saat ini, menurut dia, sebagian masyarakat justru menganggap kehadiran polisi menjadi momok yang menakutkan. Image polisi adalah penangkap, penindak, dan penghukum.

Dalam pandangan Sadjijono, polisi seharusnya bekerja untuk mengawal cita-cita hukum dalam menjalankan tugasnya. ‘Apa cita-cita hukum? Ya tercapainya rasa keadilan,’ imbuhnya.

Dari waktu ke waktu tekad Sadjijono untuk fokus mengembangkan keilmuan makin besar. Pada 2006, dia memutuskan untuk mengajukan surat permohonan pindah dari Polri menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Salah satu pertimbangannya, dia ingin objektif dalam memberikan kritik kepada korpsnya. ‘Saya ingin bebas mengkritik tanpa ada beban,’ tuturnya, lantas tertawa.

Keinginannya terpenuhi. Tepat 1 Juni 2007, Sadjijono resmi beralih status dari anggota Polri menjadi PNS di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti). Di bawah naungan Kopertis Wilayah VII, dia diperbantukan untuk mengajar di FH Universitas Bhayangkara Surabaya (Ubhara).

Dia merasa beruntung alih status tersebut dilakukan tanpa hambatan yang berarti. Sebab, semua syarat sudah dikantongi. Di antaranya, harus bergelar doktor dan memiliki jabatan minimbal lektor. Apalagi, sebulan berselang dia mendapat surat rekomendasi dari Kapolda Jatim dan Kapolri.

Jabatan lektor diperolehnya di Universitas Narotama. Sebab, ketika aktif di kepolisian, Sadjijono aktif mengajar di perguruan tinggi itu, termasuk menjadi PJS rektor Ubhara pada 2006. Selain itu, dia aktif menulis sejumlah karya di berbagai jurnal ilmiah. Bahkan, hingga kini, pria kelahiran 3 Agustus 1953 itu telah menerbitkan sembilan buah buku. ‘Saya produktif karena bisa membagi konsentrasi untuk dua pekerjaan sekaligus (menjadi polisi dan akademisi),’ bebernya.

Fokus menjadi akademisi membuat prestasi akademik Sadjijono kian moncer. Pada 2008, dia diangkat menjadi lektor kepala. Puncak prestasi akademiknya terjadi pada 1 Januari 2011. Kala itu, dia menerima SK dari Dirjen Dikti yang mengukuhkan dirinya sebagai guru besar dalam bidang ilmu hukum administrasi. Orasi ilmiah berjudul Konsepsi dan Kependudukan Hukum Kepolisian dalam Disiplin Ilmu Hukum dibacakan pada acara pengukuhan di Aula Utama Ubhara pada 11 Juni 2011. ‘Sekarang pangkat saya setara dengan jenderal,’ ungkapnya bangga, lantas terkekeh.

Selain menularkan ilmu di kampus, Sadjijono malang melintang dalam berbagai urusan hukum. Dia banyak diminta untuk menjadi saksi ahli. Baik diminta oleh kepolisian maupun terdakwa. Kini dalam menyampaikan pandangan hukumnya, Sadjijono mengaku bebas tanpa terbebani oleh pihak mana pun. Termasuk korps Bhayangkara, tempatnya mengabdi selama 32 tahun.

Bahkan, dalam menyampaikan pandangan hukumnya, dia pernah beberapa kali menentang polisi. Dia pernah membebaskan seorang terdakwa karena penyidik dianggapnya tidak tepat dalam menetapkan pasal kepada terdakwa. Kejadian tersebut berlangsung di PN Surabaya. Padahal, kasus itu ditangani Polda Jatim pada 2010.

Bahkan, pada 2005, saat dirinya aktif sebagai polisi, Sadjijono pernah mengalahkan penyidik dalam sidang praperadilan. Yakni, berkaitan dengan penangkapan oleh polisi yang tidak sah. Sidang praperadilan itu berlangsung di PN Sidoarjo. (*/c4/nda)

Sumber: Jawa Pos, 01 Mei 2013