Bangkitkan Semangat Anak Pasca Dipidana fadjar October 29, 2012

Bangkitkan Semangat Anak Pasca Dipidana

FENOMENA tindak kriminalitas yang dilakukan anak-anak tampaknya terus meningkat dari waktu ke waktu. Akibatnya, makin banyak saja anak-anak yang harus mendekan di tahanan akibat perbuatan mereka. Situasi tersebut tentu akan memberi pengalaman buruk dan dampak negative terhadap perkembangan psikologis mereka.

Kondisi ini mendapat perhatian khusus dari Yusti Probowati, Guru Besar Psikologi Forensik dari Universitas Surabaya, Jawa Timur. Secara khusus, dia rutin melakukan pendampingan terhadap anak-anak yang harus mendekam di tahanan itu. “Pada dasarnya, mereka korban dari keluarga dan lingkungan yang tidak memenuhi kebutuhan psikologis mereka. Sehingga membuat mereka jadi antisosial atau psikopat. Untuk itulah, kehadiran terapis psikologi amat dibutuhkan,” katanya.

Untuk melakukan pendampingan, Guru Besar Psikologi Forensik pertama di Indonesia itu menyempatkan diri utnuk berkunjung ke beberapa lembaga pemasyarakatan (lapas) anak. Diantaranya di Jombang dan Blitar. Di sini, Yusti menemukanratusan anak terpaksa ditahan akibat persoalan hokum yang harus mereka hadapi di usia belia. Untuk itulah, dia mencoba mengajak anak-anak itu untuk berbagi dan berdialog dari hati ke hati. Paling tidak, ini dilakukan secara rutin tiga bulan sekali.

Dia menyadari, sampai saat ini sentuhan psikolog di Lapas anak di Indonesia masih sangat kurang. Kalaupun ada, jumlahnya sangat kecil, sehingga tidak dapat melakukan terapi psikologi secara menyeluruh kepada anak-anak tersebut. Berbagai bentuk terapi dilakukan Yusti terhadap anak-anak itu. Antara lain terapi meditasi dan pendampingan. Setiap enam bulan dilakukan terapi drama.

Bahkan melalui drama ini, mereka mampu menyelenggarakan pentas di Surabaya, Gresik dan Jombang. “Terapi drama ini terbukti efektif memotivasi napi anak untuk disiplin, percaya diri dan perhatian pada rekannya,” papar wanita yang gemar membaca dan menonton film kriminalitas ini.

Yusti akhirnya memperluas target pemberian terapi tersebut kepada para pengasuh. Dia mendirikan RUMAH HATI, yakni sebuah tempat tinggal sementara atau shelter untuk anak-anak yang telah usai menjalani masa hukuman dari Lapas anak. Yusti berharap, apa yang dirintisnya ini kelak bisa menjadi semacam model yang bisa diadopsi pemerintah. “Meski telah keluar dari lapas, mereka tetap membutuhkan pendampingan psikologis dan pelatihan yang bisa menjadi bekal mereka untuk mencari pekerjaan,” ungkapnya.

Keahlian yang diberikan dalam bentuk informal seperti mereparasi kendaraan, pendidikan komputer dan dasar bahasa Inggris. Kedepan, selain ingin menambah shelter bagi eks anak lapas, Yusti ingin menulis buku tentang psikologi forensik. Perempuan yang hobi berkebun ini ingin memperkenalkan kepada masyarakat pentingnya peran pendampingan psikologis di dalam lapas dan pascapidana.

Untuk melakukan rencana tersebut, Yusti juga didukung tim kerja. Salah satunya Margret Rueffler, PhD dari Peace Political Psychological Institute New York. Bersama lembaga yang sebelumhya bersama NGO Kindernothe Hilfe (KNH) itu Yusti rutin menyambangi Lapas Tangerang, Kutoarjo, Blitar dan Karangasem, Bali. Bersama organisasi non-pemerinahdari Jerman itu juga, dia menggelar pelatihan untuk sekitar 30 petugas lapas. Psikolog yang berada dibawah Dirjen Pemasyarakatan juga dilibatkan dalam pelatihan itu.

Kini ketua Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (APSIFOR) itu melakukan kampanye advokasi tentang pentingnya ilmu psikologi dalam membantu pihak berwajib dalam menangani berbagai kasus pidana anak. Ingin tahu bentuk terapi psikologis yang diterapkan Yusti Probowati? Saksikan kisah beliau sebagai wanita inspiratif Tupperware SheCAN! Hari Sabtu, 27 Oktober 2012 jam 09.00 WIB hanya di Trans7! (nuq/irs)

Jawa Pos

Rabu 24 Oktober 2012