Pengaruh Gaya Hidup Materialistis fadjar September 27, 2012

Pengaruh Gaya Hidup Materialistis

TERBONGKARNYA kasus trafficking jaringan Keyko, membuat keprihatinan banyak pihak. Dosen Psikologi Sosial Universitas Surabaya (Ubaya), N K E Triwijati mengungkapkan, permasalahan trafficking ini sebenarnya problem yang terus menerus terjadi.

Alasan paling klasik usebagai pembenaran, biasanya adalah kemiskinan dan budaya hidup yang materialistis. ‘Sekarang ini, semua rata-rata diukur dengan uang. Nah, banyak yang akhirnya terjerat dengan jaringan trafficking ini,’ kata Triwijati.

Selain itu, seringkali, bujuk rayu terhadap perempuan-perempuan yang labil untuk masuk ke jaringan ini pun sangat beragam dan cerdik. Misalnya saja adalah adanya jaringan yang sengaja memberikan sanjungan kepada perempuan-perempuan tersebut untuk masuk ke dalam praktik prostitusi ini.

Mereka diberi pemahaman bahwa perempuan yang bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK) ini dianggap sebagai pahlawan keluarga. Hal itu seakan-akan membuat sebuah pembenaran, jika mereka akhirnya terjun ke dunia trafficking tersebut.

Belum lagi, kata Triwijati, gaya hidup yang sering salah kaprah. Misalnya saja, mereka yang suka dunia gemerlap (dugem) dianggap gaul. Padahal, saat
dugem, banyak sekali peluang yang akhirnya menjerat seseorang dalam bisnis trafficking ini. ‘Saat bergaul itu, sering ada persaingan.

Misalnya saja, seperti sekarang gadget semacam BlackBerry sudah dianggap kurang gaul. Sebab, sudah mulai banyak yang beralih ke ipad. Ini yang akhirnya membuat munculnya materialisme dan kapitalisme,” tutur Triwijati yang juga tergabung di Savy Amira Woman Crisis Center.

Saat mereka ingin mendapatkan barang impian untuk melengkapi life style tersebut, mereka bisa melakukan apa pun, termasuk menjual diri. Dengan tarif satu kali booking minimal Rp 1,5 juta, mereka tidak perlu terlalu lama untuk mendapatkan uang membeli ipad.

‘Cukup beberapa kali layanan saja, dia sudah bisa beli ipad. Dia pun bisa bergaya di depan teman-temannya,’ terangnya.

Dengan kondisi tersebut, kata Triwijati, dia pun berharap, ke depan, aparat penegak hukum juga lebih care dan bersikap tidak plin-plan. Artinya, jangan
sampai, proses hukumnya malah dipermainkan.

Sebab, jika hal seperti itu terjadi, maka permasalahan trafficking tidak akan ada penyelesaiannya. Apalagi, jika ada tengara aparat penegak hukum justru
melindungi praktik trafficking ini.

Untuk sekarang, menurut Triwijati, perlu diberdayakan OSIS maupun BEM kampus untuk menyosialisasikan bahaya trafficking. Dengan melewati jalur pendidikan, masyarakat akan bisa memberikan rem tersendiri kepada generasi muda. ‘Saya rasa, semua unsur harus saling mendukung agar trafficking ini tidak terus menerus terjadi,’ tukasnya. (nin/rie/no)

Sumber: Radar Surabaya, 12 September 2012