Orang Tua Jangan Sembarangan Beri Label Anak fadjar August 30, 2012

Orang Tua Jangan Sembarangan Beri Label Anak

Timothy Wibowo dan Alex Hadi Prajitno Beri Konsultasi Pendidikan Karakter Online
Orang Tua Jangan Sembarangan Beri Label Anak

Sekolah wajib menerapkan pendidikan karakter. Namun, masih banyak yang kebingungan dalam implementasinya. Psikoterapis Timothy Wibowo memperdalam konsep pendidikan itu selama delapan tahun. Kini dia dan rekannya, Alex Hadi Prajitno, memberikan konsultasi online secara gratis.

TITIK ANDRIYANI

INGATAN Timothy kembali pada enam tahun lalu, ketika ditanya alasannya membuka konsultasi gratis mengenai pendidikan karakter. Sebagai psikoterapis, Timothy banyak menangani problem anak. Profesinya sebagai mantan pendidik juga memberikan pengalaman tentang cara menangani anak.

Suatu hari pada 2006, Timothy harus mengantarkan seorang siswanya pulang ke rumah karena diskors seminggu oleh kepala sekolah. Anak laki-laki kelas VIII SMP itu baru saja memorak-porandakan kantor kepala sekolah. Kursi dan meja tamu dia banting. Mungkin tidak ada yang menyangka bahwa anak berpostur kecil tersebut sanggup berbuat demikian. Siswa itu memang dikenal sebagai biang kerok di sekolah. Label tersebut sudah melekat di benak para guru.

Siapa sangka bahwa pendapat Timothy bakal berubah ketika menginjakkan kaki di rumah siswanya tersebut. Bangunan kecil itu mungkin tak layak disebut sebagai rumah. Pintu rumah hanya berjarak 5 meter dari rel kereta api dengan lingkungan di sekitar yang kumuh.

Di ruang tamu rumah tersebut berjejer berbagai piala kejuaraan. Namun, piala kemenangan itu bukan milik siswanya, melainkan saudaranya. ”Ketika itu saya bisa menebak bahwa salah satu pemicu kenakalannya adalah kemarahan dia terhadap orang tuanya. Mungkin karena sering dibanding-bandingkan dengan saudaranya yang pintar,” cerita Timothy. Dari situ kemudian terungkap kepedihan hidup sang siswa.

Sejak itu para guru berupaya mengubah mindset (pola pikir) dalam menangani kenakalan siswa. ”Bahwa dia tidak layak diperlakukan sebagai siswa pembuat onar. Kami semua berupaya memberinya kasih sayang. Dan dia mulai berubah,” ungkapnya.

Timothy mengungkapkan, problem seseorang bisa muncul saat dewasa akibat trauma yang dialami ketika berusia 5ndash;8 tahun. Itu alasannya, setiap menangani sebuah masalah, Timothy selalu mengajak kliennya kembali ke sana, masa kecilnya. ”Jika seorang anak marah terhadap orang tuanya, dia harus belajar
memaafkannya. Kuncinya itu. Supaya trauma tidak terbawa hingga dewasa,” ujarnya

Timothy pernah mendapatkan pengalaman dalam sebuah workshop. Seorang guru membawa siswanya yang paling bandel dan pembuat onar. Ternyata, anak itu begitu membenci ayahnya. Sebab, dia sering mengalami kekerasan. Timothy menerapinya selama tiga hari. Hari keempat, begitu tuntas menjadi pemateri workshop, Timothy pulang.

Keesokan harinya, panitia bercerita bahwa anak tersebut disusul sang ayah di pengujung acara workshop. Mereka pun berpelukan. Suasana itu tentu mengharukan. ‘Saya tidak tahu kejadian itu karena sudah pulang. Saya senang anak itu mau memaafkan ayahnya,’ kenang dia.

Berbagai pengalaman tersebut memperkaya pendalamannya mengenai cara menerapkan pendidikan karakter. Alumnus Fakultas Psikologi Ubaya itu memperkaya ilmunya
dengan mempelajari grafologi (ilmu membaca tulisan tangan), neurolinguistic programming (NLP), hingga hipnoterapi. Pun membaca ratusan literatur mengenai pendidikan karakter agar mudah diimplementasikan.

Sebab, menurut Timothy, pendidikan karakter tidak diajarkan layaknya pendidikan sarjana lainnya. Apalagi, secara tiba-tiba Kemendikbud menggalakkan agar pendidikan itu harus diterapkan di sekolah. Sekolah pun tergopoh-gopoh karena kurang memahami konsep pendidikan karakter tersebut.

Padahal, terang Timothy, menerapkan pendidikan itu cukup mudah. ”Sederhananya begini, kalau kita sedang mengendarai kendaraan, lalu menerobos lampu merah, pasti kena tilang. Demikian pula di sekolah. Ada aturan, siswa melanggar harus diberi sanksi,” jelasnya. Hanya, sanksi itu diberikan bukan semata-mata karena
hukuman. Melainkan lebih pada proses membangun budi pekerti anak.

Menangkap situasi tersebut, Timothy dan rekannya, Alex Hadi Prajitno, membuat konsultasi gratis pendidikan karakter secara online. Situs mereka, www.pendidikankarakter.com, telah dibuka sejak Juli tahun lalu. Bukan hanya itu, mereka juga membuat link situsnya melalui jejaring sosial lainnya. Misalnya Facebook dan Twitter. Kini member situsnya mencapai 200 ribu yang tersebar di seluruh Indonesia. Mereka terdiri atas orang tua (ortu), siswa (SD hingga SMA), mahasiswa, dan guru.

Mereka bebas berkonsultasi via e-mail. Timothy memastikan akan menjawab satu per satu pertanyaan yang dikeluhkan. ”Dulu semua e-mail masuk ke e-mail pribadi saya. Kini saya sudah mengelompokkan draf pertanyaan sehingga tak mengulang menjawab pertanyaan yang sama. Bisa capek banget, sehari ada ratusan e-mail yang masuk,” paparnya. Dibantu Alex, mereka berdua bekerja 18 jam tiap hari.

Agar pertanyaan yang sama terjawab, Timothy lantas membuat e-book yang mengupas konsep pendidikan karakter dan cara jitu menyelesaikan masalah pada anak. Saat ini sudah ada tujuh e-book yang ditulisnya dan bisa diunduh secara gratis. Dia mengungkapkan, sudah sekitar 200 ribu pengunduh e-book-nya.

Nah, di antara banyaknya e-mail yang masuk, problem teratas yang dikeluhkan adalah masalah rasa percaya diri pada anak dan hambatan belajar. Ternyata, banyak sekali anak yang merasa tidak pede (percaya diri). Padahal, otak mereka sejatinya encer. ”Ide-ide mereka juga luar biasa. Tapi, giliran disuruh merealisasikan ide itu,mereka tak punya nyali,” paparnya.

Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Kata Timothy, sebagian besar disebabkan kesalahan ortu. Ortu zaman sekarang cenderung pragmatis dalam melihat banyak hal. Secara tak langsung itu diajarkan kepada anaknya. ”Ortu sekarang cenderung ngenakne (mengenakkan) anak. Mereka berpikir, jika sudah memberikan materi lebih, semua selesai,” ujarnya Akibatnya, untuk mendapatkan sesuatu, anak kurang berusaha. Sebab, semua serba disediakan ortu. ”Sehingga ada proses yang
hilang pada saat itu. Kemandirian mereka pun sulit terbentuk,” ucapnya. Alhasil, saat dewasa, ketika diminta tampil atau melakukan perubahan, seseorang merasa tak pede.

Kendati demikian, tutur Timothy, belum terlambat membangun karakter seorang anak meski mereka sudah menginjak usia belasan tahun. Setidaknya, Timothy telah
mencoba hal itu pada beberapa anak. Suatu saat seorang ibu tergopoh-gopoh mendatanginya. Dia meminta Timothy memberikan konsultasi terhadap putrinya. ”Si anak bilang, ’Saya ini lesbi.’ Tapi, saya tidak yakin ketika dia bilang itu,” ceritanya.

Timothy lalu menyuruhnya menulis. Kebetulan, Timothy juga mendalami grafologi sehingga bisa tahu arti tulisan tangan tersebut. ”Dilihat dari tulisannya, anak itu tidak lesbian,” ujarnya. Usut punya usut, label itu ternyata diberikan sendiri oleh ortu si anak. Hanya karena si anak ke mana-mana sering bepergian bersama temannya yang tomboi, ortu lalu menduga-duga bahwa orientasi seksual anaknya berubah.

Karena itu, tegas Timothy, ortu jangan mudah memberi label terhadap anak. Sebab, identitas tersebut akan melekat pada diri anak sehingga membawa perasaan bersalah. Dalam situsnya, www.pendidikankarakter.com, khalayak dapat mencari informasi lebih banyak soal pendidikan karakter. Ketika mengeklik situs itu, langsung ada penawaran mengunduh e-book berjudul Tujuh Hari Membentuk Karakter Anak secara gratis.

Untuk membuat situs tersebut, Alex banyak berperan. Boleh dibilang, sahabatnya sejak SMA itu adalah kreator desain webnya. Alumnus UK Petra tersebut mengungkapkan, pengunjung terbanyak situsnya maupun melalui jejaring sosial rata-rata mereka yang berusia 25ndash;34 tahun. ”Atau boleh dibilang pasangan muda
yang baru menjadi orang tua,” ucapnya.

Justru banyak pengunjung situsnya yang dari Jakarta. Disusul dari Medan, Bandung, baru Surabaya. Juga ada 500 anggota baru yang bergabung pada akun Facebook mereka. Tak hanya dari Indonesia, situs itu juga diakses orang-orang Indonesia yang tinggal di luar negeri seperti di Malaysia, Korea, Arab, Hongkong, Singapura, Australia, Italia, maupun Tiongkok. (*/c9/nda)

Sumber: Jawa Pos, 24 Agustus 2012