Yusti Probowati, Guru Besar Psikologi Forensik ‘Hobi’ Masuk Penjara fadjar January 10, 2012

Yusti Probowati, Guru Besar Psikologi Forensik ‘Hobi’ Masuk Penjara

Jakarta – Mungkin tidak banyak yang tahu kalau Yusti Probowati adalah guru besar psikologi forensik pertama di Indonesia. Namun bagi beberapa napi atau mantan napi di Jawa Timur, mungkin Yusti bukanlah nama yang asing. Maklum, dia hobi keluar masuk penjara.

Yusti mendapat anugerah guru besar psikologi forensik pada 2007 lalu. Anugerah itu didapatnya setelah keluar Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 59167/A4.5/KP/2007. Namun bukan karena sudah menjadi guru besar, Yusti sering keluar masuk rutan. Sebab beberapa tahun sebelumnya, aktivitas ini sudah sering dijalaninya.

‘Sejak 2003 saya sudah sering mengunjungi lapas, khususnya lapas anak. Dari situ saya tahu tenaga psikolog di lapas ternyata sangat kurang dan nyaris tidak ada. Di Lapas Porong misalnya hanya ada 1 psikolog, padahal jumlah napinya ada 1.200,’ ujar Yusti dalam perbincangan dengan detikcom, Selasa (1/10/2011).

Menurut ibu dua putri ini, tenaga psikolog memegang peranan penting bagi para penghuni lapas. Bagaimana pun, tinggal di balik jeruji besi tidaklah menyenangkan. Belum lagi label negatif yang disematkan warga begitu ada mantan napi yang kembali ke tengah masyarakat.

Karena itulah sejak 2003, alumnus UGM ini rajin keluar masuk penjara, khususnya lapas anak. Dia berpendapat anak-anak berhak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Meski sebelumhya anak-anak itu sempat merasakan dinginnya lantai penjara lantaran melakukan tindakan kriminal.

Yusti bekerja sama dengan Kindernothilfe, organisasi non-pemerintah (NGO) dari Jerman, menggelar pelatihan untuk petugas lapas. Psikolog yang berada di bawah Dirjen Pemasyarakatan dilibatkan dalam pelatihan itu. Mereka yang sebelumnya hanya aktif untuk pengembangan SDM, dengan adanya pelatihan ini diharapkan bisa lebih berperan dalam membina narapidana.

‘Waktu itu sekitar tahun 2009/2010. Lapas Tangerang, Kutoarjo, Blitar, dan Pak Dirjen Pas waktu itu, meminta Karangasem juga dilibatkan. Saat itu semua oke untuk ikut pelatihan. Pertemuan digelar 3 kali. Tapi mereka agak kesulitan menangani kasus anak karena beban kerja yang berat dan job desk yang memang tidak dikaitkan,’ papar perempuan berjilbab ini.

Yusti tahu benar anak-anak di manapun, termasuk di lapas sekalipun, sangat ingin didengar suaranya. Mereka juga ingin keluhannya ditanggapi. Padahal terkadang anak masuk penjara karena berbuat kriminal lantaran korban keluarga atau karena kemiskinan.

Tak hanya memberi konseling untuk anak lapas, Yusti dan teman-temannya membuka shelter untuk eks anak lapas di Jombang sejak 2010 lalu. Dia berharap apa yang dirintisnya ini kelak bisa menjadi semacam model yang bisa diadopsi pemerintah. Sebab sekeluarnya anak dari lapas, mereka tetap membutuhkan pendampingan psikologis dan pelatihan yang bisa menjadi bekal mereka untuk mencari pekerjaan.

‘Memang bukan ke bidang formal, lebih ke informal bersifat keahlian. Seperti misalnya kemampuan bengkel, komputer, dasar bahasa Inggris. Setidaknya ketika mereka kembali ke masyarakat bisa survive,’ harap Yusti.

Menurut Dekan Fakultas Psikologi Universitas Surabaya ini, anak-anak tersebut bisa tinggal di shelter selama 3-6 bulan. Saat ini di shelter tersebut ada sekitar 7 anak yang tinggal. Meski tidak banyak, namun setidaknya ada hal yang bisa dilakukan Yusti cs.

‘Ini memang kerja parsial. Kami tidak bisa mengubah sistem. Hanya ini yang bisa kami lakukan. Setidaknya bisa membuat 1 anak survive bisa menjadi contoh untuk lainnya,’ lanjut ibu yang suka berkebun ini.

Ke depannya, selain ingin menambah shelter bagi eks anak lapas, Yusti juga ingin menulis buku tentang psikologi forensik. Dia ingin memperkenalkan kepada masyarakat pentingnya peran pendampingan psikologis di dalam lapas dan pasca pemidanaan.

‘Hobinya’ yang keluar masuk lapas semula sempat diprotes sang suami. ‘Kurang kerjaan,’ begitu komentar suami Yusti. ‘Tapi kalau bukan kita siapa lagi. Ini yang bisa saya berikan. Akhirnya suami pun mengerti,’ tuturnya sambil tertawa.

Awalnya saat sering masuk penjara dan bertemu dengan para napi, Yusti sempat agak takut. Namun dia berpegang bahwa semua manusia ini sama, hanya nasibnya yang berbeda. Toh, dia tidak berniat jahat.

‘Lama-lama terbiasa. Bahkan anak-anak (mahasiswa) juga saya wajibkan turun ke lapas agar punya kepedulian terhadap mereka yang berada di sana,’ ucap penggemar film bertemakan hukum dan kriminal seperti CSI, Criminal Minds dan Lie to Me ini.(vit/rdf)

Dikutip dari: www.DetikNews.com