Kebersamaan dalam Menerapkan Psychology for Disaster bagi Pengungsi Merapi fadjar July 18, 2011

Kebersamaan dalam Menerapkan Psychology for Disaster bagi Pengungsi Merapi

Senin sore 11 Juli 2011 mahasiswa peserta live in Laboratorium Psikologi Umum Fakultas Psikologi Universitas Surabaya merasakan pertama kalinya suasana shelter korban erupsi Merapi. Lokasinya di Shelter Gondang 1 Desa Wukirsari Cangkringan Sleman. Live in yang dilaksanakan selama empat hari mulai tanggal 11-14 Juli 2011 diikuti oleh 15 mahasiswa dengan didampingi dua dosen yaitu Listyo Yuwanto dan Kristianto Batuadji. Tujuan live in adalah melatih kepekaan sosial dengan tinggal bersama pengungsi erupsi Merapi maka mahasiswa mampu merasakan kehidupan pengungsi serta melakukan pengabdian masyarakat. Tema live in yang diusung adalah kebersamaan dalam menerapkan psychology for disaster. Tiga program yang dijalankan berupa pemberdayaan ekonomi, kesehatan lingkungan dan masyarakat, serta pendidikan. Bentuknya penyuluhan kesehatan, kompos, pembuatan cokelat pasta, pembuatan lulur, terapi pemijatan, pembuatan rencana kegiatan harian PAUD, penyuluhan kader PAUD, integrated literacy, tamanisasi shelter, menghias tempat PAUD dan TK, serta katarsis bagi pengungsi. Program ini disesuaikan dengan konstruksi resiliensi komunitas pengungsi Merapi.

Mahasiswa tersentuh hatinya ketika melakukan renungan kehidupan di lokasi bencana yaitu di Kali Gendol dan Desa Kinahrejo yang tidak terlalu jauh dari lokasi shelter. Lokasi bencana dan korban bencana yang selama ini hanya dapat dilihat dari media sekarang dapat dirasakan secara langsung. Bencana Merapi menunjukkan keterbatasan manusia dan kebesaran Tuhan sehingga manusia harus selalu ingat kepada Tuhan, peka terhadap sesama, mensyukuri atas nikmat yang telah diberikan, serta kesadaran bahwa roda kehidupan manusia selalu berputar sehingga harus selalu eling dan waspodo.

Hampir semua peserta tidak mampu berbahasa Jawa halus yang rata-rata digunakan oleh pengungsi. Namun hal ini tidak menghambat semangat peserta dalam berinteraksi dengan warga dan melakukan pengabdian masyarakat. Mahasiswa juga dapat belajar mulitukultural karena mendapatkan pembelajaran budaya dari salah seorang juru kunci Merapi yang selamat dalam bencana Merapi dan juga merupakan abdi dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sehingga dapat berbagi cerita tentang sejarah keraton dan peran abdi dalem.

Menurut Listyo Yuwanto, kegiatan live in dan pengabdian masyarakat yang dilakukan di Shelter Merapi ini sejalan dengan prinsip indigenous psychology dan pembelajaran multikulturalisme yang selama ini menjadi salah satu kekhasan laboratorium Psikologi Umum Universitas Surabaya. Sebagai penutup, kegiatan semacam ini masih perlu ditindaklanjuti sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama sesuai dengan keilmuwan psikologi yang telah dipelajari. Sebuah pembelajaran luar biasa bagi mahasiswa yang tidak akan didapatkan di perkuliahan kelas sebagai bekal hidup di masyarakat.