Para Mahasiswa Ubaya Ramai-Ramai Modifikasi Permainan Tradisional fadjar February 8, 2011

Para Mahasiswa Ubaya Ramai-Ramai Modifikasi Permainan Tradisional

Ada Ketapel American Football, Ada Lompat Tali Loly

Berawal dari tugas kuliah di Ubaya, lahirlah beragam permainan ‘gado-gado’ kreatif untuk anak-anak. Para kreator dan pihak kampus siap membagikan gratis permainan itu untuk memasalkannya.

Kening Yohansen berkerut. Mata menatap lurus ke gawang mini di dalam kotak kecil itu. Mahasiswa Desain dan Manajemen Produk, Fakultas Teknik, Universitas Surabaya (Ubaya), tersebut memang sedang berkonsentrasi penuh melontarkan kelereng ke dalam gawang mungil itu.

Namun, sungguh tak gampang. Berkali-kali dicoba, berkali-kali pula gagal memasukkan kelereng ke gawang yang bentuknya terbalik dengan gawang sepak bola tersebut. ‘Kelihatannya memang gampang, tetapi sulit lho memsaukkan kelereng ke gawang. Ini namanya permainan sling ball,’ ujarnya.

Sling Ball? Masih tredengar asing memang. Permainan itu dimainkan di dalam kotak kecil berukuran 30 x 30 sentimeter. Hanya ada satu pion berbentuk orang di dalam kotak tersebut yang bisa digeser ke kiri dan kanan. Pion itu dikaitkan dengan karet yang digunakan untuk memantulkan kelereng. ‘Cara mainnya, kita berusahan menarik pion agar bisa melontarkan kelereng. Jika berhasil memasukkannya dari tengah, nilainya lima. Tetapi kalau dari pinggir, nilainya sepuluh,’ jelas Hansen, sapaan akrab Yohansen.

Sling ball mengambil bentuk permainan sepak bola ala Amerika, American Football, semacam fussball yang mengadopsi sepak bola. American Football memang tak populer di sini. Namun, sejatinya dasar atau inti sling ball amat tak asing bagi anak-anak Indonesia. Yaitu, ketapel. ‘Lihat kaki pionnya yang untuk melontarkan kelereng. Kakinya berupa ketapel,’ kata pemuda 21 tahun itu.

Ide Hansen untuk mengombinasikan ketapel dengan American Football itu berasal dari tugas mata kuliah toy design. Dia dan rekan-rekan seangkatannya di semester tujuh Jurusan Desain dan Manajemen Produk, Fakultas Teknik Ubaya, diminta untuk mendesain ulang permainan tradisional.

Bakal Helat Pameran saat Liburan Sekolah

Setelah berpikir hampir tiga pekan, Hansen tertarik mengangkat permainan ketapel. ‘Kenapa ketapel, karena saya teringat masa kecil yang sering mengambil buah di kawasan lontar Surabaya dengan menggunakan ketapel,’ ungkapnya lantas tertawa.

Namun, karena harus memodifikasikannya, Hansen terpikir memnadukannya dengan olahraga. Dia bingung olahraga apa. Kalau memilih basket atau sepak bola yang sehari-hari dia akrabi, itu sudah terlalu umum.

Inspirasi akhirnya datang ketika dia bertandang ke rumah salah seorang teman. Di situ dia kebetulan menonton salah satu kanal televisi berbayar yang menayangkan American Football. ‘Saya pun terinspirasi untuk mengangkatnya. Sebab, saya merasa cocok jika ketapel dipadukan dengan olahraga itu,’ kata Hansen.

Namanya juga tugas kuliah untuk satu angkatan, praktis permainan tradisional ‘gaya baru’ yang lahir tak hanya sling ball. Total ada 18 karya ‘gado-gado’ semacam sling ball. ‘Kami memang sengaja meminta beberapa mahasiswa untuk membuat desain produk yang diadaptasi dari permainan tradisional. Kami ingin mengenalkan lagi permainan itu. Sebab, kini permainan-permainan tersebut mulai ditinggalkan,’ sebut Kumara Sadana Putra, dosen Desain dan Manajemen Produk, Fakultas Teknik, Ubaya.

Maka lahirlah diantaranya tiny coaster yang diadaptasi dari permainan gerobak dorong, fun giraffe toys yang diadopsi dari balap batok kelapa, e-step yang berangkat dari engklek, bikids yang berasal dari permainan bakiak, dan tack o yang basic-nya adalah patilele.

Tiny coaster yang diciptakan Farika M. Listyo menggunakan papan yang dibentuk seperti angka delapan dengan dilapisi spon. Diameter papan bagian belakang lebih besar karena untuk duduk, sedangkan bagian depannya lebih kecil sebagai tempat kaki.

Di ujung depan dibuatkan pegangan bagi anak yang duduk sekaligus untuk mengaitkan tali penarik. Seperti halnya permainan sling ball, tiny coaster juga ditujukan sebagai permainan anak-anak usia 5-9 tahun.

Adapun fun giraffe toys hasil kreasi Herlina Tansil tidak menggunakan batok. Tetapi, kayu yang dibentuk persegi dengan bagian bawahnya dibuat melengkung. Pegangan talinya dibentuk menyerupai jerapah. ‘Tujuannya tentu saja agar anak-anak lebih tertarik. Apalagi bukan hanya pegangan tali yang dibentuk menyerupai fauna. Tempat menumpu kaki juga diberi gambar fauna,’ papar Kumara.

Ada pula loly hasil rancangan Wenny Helmi Makmun. ‘Loly itu merupakan adaptasi dari permainan lompat tali dengan beberapa modifikasi,’ ujar mahasiswi 21 tahun tersebut.

Di antara modifikasi itu, lanjut Wenny, adalah empat tali yang disatukan dengan sebuah benda setengah bulat. Benda tersebut dibuat mirip UFO. Jadi, setiap anak yang memainkannya harus melompat empat kali dalam setiap levelnya.

Level permainan loly seperti aturan lompat tali. Yakni, melompat setinggi lutut, pinggang, dada, kepala, lalu setinggi tangan yang diacungkan ke atas. ‘Cuma bahan untuk loly ini bukan tali karet. Tetapi, bahan tali yang mudah dibersihkan. Kalau tidak ditarik, talinya akan menggulung di dalam UFO ini. Jadi, penyimpannannya pun mudah,’ urainya.

Kini Wenny, seperti juga rekan-rekan seangkatannya yang menghasilkan berbagai permainan modifikasi tadi, berharap karyanya bisa dimainkan anak-anak sekolah dasar, mereka tak mau hasil kerja keras itu hanya berakhir di meja dosen.

Apalagi tujuan tugas kuliah tersebut adalah mengenalkan kembali berbagai permainan tradisional yang terancam punah. Langkah pertama yang sudah dilakukan Wenny, Hansen, dan rekan-rekan mereka seangkatan adalah mengenalkan kelingkungan terdekat.

‘Kami rela memberinya gratis. Sebab, bagi kami, permainan tradisional mengajarkan banyak hal. Misalnya, belajar berinteraksi, berhitung, atau mengenal angka. Juga, mengasah ketangkasan fisik,’ tambah Wenny.

Upaya mereka itu didukung kampus. Mereka berencana memamerkan karya-karya tersebut ke hadapan publik sekitar Juni-Agustus mendatang. Waktu tersebut dirasa tepat untuk melakukan sosialisasi. Sebab, anak-anak sekolah sedang libur.

Pameran itu diagendakan di tiga tempat yang mudah diakses. ‘Kami sangat ingin anak-anak Indonesia kembali memainkan permainan tradisional yang sejatinya kaya makna budaya sekaligus bisa menjadi sarana belajar,’ ujar Kumara.

Selain pameran, pihak kampus siap menggandeng sekolah-sekolah formal maupun nonformal mulai TK hingga SD untuk memasalkan karya-karya tersebut. ‘Kalau mereka berminat, kami akan menyumbangkan karya ini agar anak-anak kembali memainkan permainan yang telah diturunkan dari nenek moyang,’ jelas Kumara.

Sumber: Jawa Pos, 8 Februari 2011