Takut Dianggap Gaptek, Hobi Borong Gadget fadjar May 6, 2010

Takut Dianggap Gaptek, Hobi Borong Gadget

KENDATI lulusan S-I hukum Universitas Surabaya (Ubaya), Ruddy malah merasa nyaman menekuni marketing. Kali pertama, dia bekerja sebagai sales properti perumahan. Selepas kuliah, pria berusia 49 tahun itu kembali menekuni profesi sales, tapi kali ini dia menjual properti bisnis Hi-Tech Mall.

”Sebenarnya, saya sempat mengajukan izin pengacara. Tapi, akhirnya tidak dipakai karena telanjur enjoy menekuni bisnis ini,” ungkapnya. Dia menyatakan, awal menjadi staf sales dan legal terbilang berat. Apalagi untuk profesi yang dimulai dari nol itu, dia harus keluar-masuk perusahaan untuk meyakinkan mereka agar mau berinvestasi. ”Mereka (pengusaha, Red) kan berpikir untung-rugi, berbeda kalau menjual properti hunian yang konsumennya memikirkan kenyamanan, keamanan, serta dekat dengan fasilitas publik dan pendidikan,” jelas penyuka musik pop itu.

Menjalani profesi yang dirintis dari nol, Ruddy kini menjabat sebagai general manager PT Sasana Boga yang mengelola Hi-Tech Mall. Dia menuturkan, bisnis IT sangat berkaitan dengan kurs rupiah dan inovasi.

Mengapa inovasi? Dia menjelaskan, perputaran produk IT sangat cepat. Sebab, setiap waktu akan keluar produk dengan teknologi terbaru.

”Kalau sudah keluar produk baru, produk lama akan ditinggalkan,” katanya. Untuk itu, sebagai pebisnis yang bergelut di bidang IT, dia mau tidak mau harus mengikuti perkembangan produk IT terkini.

Selama tiga-empat tahun terakhir, dia membeli produk IT keluaran terbaru. Memang tidak semua, tapi yang dibilang menarik dan perlu dipelajari. Misalnya, gadget dan notebook. Bahkan saat ini, Ruddy sedang inden notebook tablet teknologi terbaru. Dia juga tengah melirik notebook terbaru keluaran perusahaan asal Jepang.

”Sampai-sampai istri saya marah gara-gara terlalu sering belanja barang-barang IT. Sebab, kalau sudah saya pelajari, biasanya produk tersebut dipakai anak, saudara, bahkan karyawan kantor. Tapi, tidak semua saya beli. Kalau ada vendor meminjami, itu lebih baik,” tuturnya, lantas tertawa.

Selain belajar secara otodidak, Ruddy meluangkan waktu sedikitnya dua kali setahun untuk ke luar negeri. Bepergian ke negeri orang itu bukan hanya untuk bersenang-senang, tapi juga untuk mengikuti perkembangan pasar IT, terutama di Asia. Menurut dia, itu akan membantu dirinya menyusun program promosi mal. ”Bagaimana kita bisa menjual kalau tidak mengerti produk yang dijual,” ucapnya.

Sehari-hari, Ruddy sering meluangkan waktu untuk bersepeda. Tapi, karena akhir-akhir ini mengalami sakit punggung, dia memilih menghentikan sementara aktivitas itu. Pilihan lain adalah menonton film di rumah bersama keluarga. ”Sesekali ke luar kota bersama keluarga, seperti ke Tretes dan Batu,” ujarnya. (res/c6/kim)

Johanes Ruddy Sukamto, Salesman Penyelamat Hi-Tech Mall dari Kebangkrutan

Inovasi Berbuah Okupansi 100 Persen

Surabaya memiliki puluhan mal. Namun, belum ada yang sefenomenal Hi-Tech Mall. Hampir semua vendor, peritel, distributor, dan service centre produk teknologi di Indonesia Timur berkumpul di sana. Tak heran, okupansinya terisi 100 persen. Padahal, sebelum 2000, mal itu hampir saja ditutup karena bangkrut. Kondisi yang berbalik 180 derajat itu tak lepas dari kerja keras Johanes Ruddy Sukamto.

ADA perasaan bangga saat Ruddy Sukamto kali pertama bergabung dengan PT Sasana Boga pada 1986. Meskipun hanya berposisi sebagai sales executive, dia optimistis proyek besar Sasana Boga yang membangun mal di samping Taman Hiburan Rakyat (THR) pada 1987 itu akan meraup sukses.

Maklum, dua puluh tahun lalu, warga Surabaya atau setiap orang yang bepergian ke Surabaya sangat mengenal THR sebagai tujuan yang wajib dikunjungi di Jl Kusuma Bangsa, depan Makam Pahlawan yang menyediakan aneka hiburan. ”Karena itulah, saat itu saya sangat yakin jika ada mal baru, pasti akan ramai dikunjugi orang,” kenang Ruddy soal perasaannya saat awal bekerja di Sasana Boga.

Mal baru yang kemudian diberi nama THR Mall itu pun akhirnya beroperasi pada 1989. Pada tahun pertama, sesuai bayangan Ruddy, perjalanan bisnis mal tersebut sangat mulus. Banyak perusahaan yang tertarik berinvestasi di sana. Apalagi, Sasana Boga berhasil menggaet dua anchor tenant terpopuler saat itu: Matahari Department Store dan Ramayana Department Store. ”Namun, entah karena apa, kesuksesan itu hanya terjadi pada tahun pertama,” ucap suami Bertha Kartika Dewi tersebut.

Dua tahun setelah buka, pengunjung mulai menurun. THR Mall kalah bersaing dengan pusat perbelanjaan di tengah kota seperti Tunjungan Plaza dan Delta Plaza (kini Plaza Surabaya). Pada 1994, bukan hanya jumlah pengunjung yang kian menyusut. Banyak pula penyewa stan (tenant) yang angkat kaki karena penjualan sepi. Menghadapi hal itu, Ruddy menceritakan, Sasana Boga tak tinggal diam. ”Kami aktif mengadakan program direct selling dan promosi,” ujarnya.

Akhirnya, pengunjung datang kembali. Tetapi, setelah sebulan berlalu, pengunjung yang datang per hari bisa dihitung dengan jari. Tak kurang akal, Sasana Boga mengadakan beberapa program promosi lagi. Tampaknya, jurus itu kurang ampuh. Makin lama jumlah pengunjung kian surut. Bisa ditebak, mal itu hanya diisi pemilik dan pegawai tenant. Pada akhir 1995, jumlah tenant yang bertahan pun bisa dihitung dengan jari. Akibatnya, pemasukan sewa stan tidak mampu menutup biaya operasional Sasana Boga yang mempunyai 300 pegawai.

Pada 1996, Sasana Boga berusaha merevitalisasi mal dengan konsep baru. Nama THR Mall diubah menjadi Surabaya Mall. ”Selain nama yang kurang oke, waktu itu manajemen menduga kegagalan mal lantaran anchor tenant kurang banyak. Nah, saat itu juga dihadirkan empat anchor tenant: Mega Mall, Ramayana, Rosita dan Orchid,” ungkap Ruddy. Celakanya, strategi tersebut tak mampu juga mengatrol jumlah pengunjung yang datang.

Puncak situasi buruk itu terjadi pada 1999. Satu-satunya anchor tenant yang diandalkan, yakni Mega Mal, jaringan perusahaan ritel fashion milik PT Matahari Putra Prima, pun memutuskan keluar. ”Tahun itu jadi masa yang berat. Hanya menyisakan tenant komputer di lantai dua. Jumlahnya pun tidak banyak,” kata Ruddy yang saat itu, selain menjadi sales, merangkap sebagai staf legal Sasana Boga. Akibatnya, gedung mal dengan lima lantai dan seluas 85 ribu m2 itu tampak kosong melompong.

Kondisi semakin buruk ketika general manager (GM) Sasana Boga yang berkebangsaan India mengundurkan diri. Akibatnya, karyawan seperti anak ayam yang ditinggal induk semangnya. Dalam kondisi kritis itulah, manajemen menunjuk Ruddy yang saat itu menjabat asisten GM untuk mengambil alih kendali perusahaan yang akan karam.

Pilihan tersebut ternyata tepat. Berbeda dari GM sebelumnya, Ruddy berani ambil risiko dengan mengajukan konsep baru untuk mereposisi mal sebagai pusat penjualan IT. Alasannya, belum ada pusat perbelanjaan serupa yang menekuni bisnis IT. ”Awalnya, ide itu dianggap gila dan diketawain. Wong jual baju nggak laku, mau jual komputer,” kenang ayah Octavianus Richard dan Septianda Angelica tersebut. Namun, karena bos Sasana Boga juga puyeng dengan masa depan Surabaya Mall, akhirnya Ruddy pun diberi kesempatan.

Sebagai langkah awal, Ruddy mengganti nama Surabaya Mall menjadi Hi-Tech Mall. ”Dalam konsep saya, Hi-Tech Mall bukan sekadar tempat mal, tapi supermarket yang besar lengkap dengan pedagang, distributor, dan vendor principal di dalamnya,” tutur pria kelahiran Surabaya, 27 Oktober 1960, tersebut.

Diakui, tidak mudah untuk menarik pedagang, distributor, dan vendor principal. Sebab, kata dia, pebisnis selalu berpikir untung rugi. Karena itu, pihaknya berkomitmen menjalani bisnis IT, sehingga pengusaha percaya bisnisnya bisa tumbuh di Hi-Tech Mall. Promo pun gencar dilakukan untuk memperkuat brand sebagai pusat IT. ”Seperti filosofi ada gula ada semut. Jadi, bagaimana caranya membangun pabrik gula, sehingga para pedagang mau berbisnis di sini,” katanya.

Pelan tapi pasti, inovasi Ruddy di Hi-Tech Mall membawa hasil. Setiap tahun, jumlah tenant produk teknologi informasi (TI) terus tumbuh. ”Kenaikan signifikan terjadi dari 2004 ke 2005, yakni sampai dua kali lipat atau menjadi 400 toko,” ungkapnya.

Apalagi, saat itu permintaan produk IT seperti komputer mulai meningkat. Para vendor mulai melirik untuk membuka kantor, showroom, dan layanan purnajual. ”Sebab, mereka menilai market di Hi-Tech Mall sudah sangat gemuk,” tutur pria yang menyelesaikan pendidikan S-1 hukum di Universitas Surabaya (Ubaya) tersebut.

Meskipun mal mulai terisi penuh, sebagai pengelola, Ruddy tidak tinggal diam. Dia aktif menyelenggarakan workshop untuk mengedukasi masyarakat. Bahkan, dia menyediakan ruangan khusus untuk workshop. Bukan hanya dari kalangan pendidikan dan masyarakat umum, tapi juga pelatihan bagi pengusaha kecil dan menengah. ”Sebab, masyarakat yang mengerti teknologi nanti butuh dan akhirnya membeli,” tegasnya.

Kini, jumlah tenant melonjak 1.900 persen, yaitu dari 50 stan menjadi hampir 1.000 stan. Lebih dahsyat, jumlah pengunjung melesat 4.900 persen, yakni dari 500 orang menjadi 25 ribu orang tiap hari.

Kini Ruddy berencana berekspansi ke sejumlah kota di Jatim. Kota yang menjadi sasaran ekspansi, antara lain, Madiun, Malang, Kediri, dan Jember. Menurut Ruddy, potensi pasar di daerah masih sangat besar. Apalagi, sebelumnya pihaknya mengadakan pameran komputer di kota-kota tersebut dan animo terhadap produk IT sangat tinggi.

Rencananya, ekspansi itu siap pada 2011. Saat ini, beberapa masih dalam tahap negosiasi lokasi. Dia menjelaskan, lokasi yang dipilih memiliki dua alternatif. Yakni, membangun gedung baru atau menyatu dengan mal yang sudah ada. ”Memang, jumlahnya tidak sebanyak di Surabaya. Maksimal hanya menampung 100 pengusaha setempat. Sedangkan distributor dan vendor kami usung dari sini. Namanya nanti sama, yakni Hi-Tech Mall,” katanya. (res/c5/kim)

Dikutip dari Jawapos Online, 5 Mei 2010