Sepatu Dry Fast Tim Ubaya, Peringkat II Lomba Desain Nasional – Antiair dengan Sistem Bongkar-Pasang fadjar December 19, 2009

Sepatu Dry Fast Tim Ubaya, Peringkat II Lomba Desain Nasional – Antiair dengan Sistem Bongkar-Pasang

Departemen Perindustrian Republik Indonesia Direktorat Jenderal Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka mengadakan lomba desain sepatu awal Desember lalu. Tiga mahasiswa Universitas Surabaya (Ubaya) meraih peringkat kedua.

RIO FEBRIANNUR RACHMAN

BERBAHAN dasar kulit sapi warna cokelat dengan motif kulit jeruk di bagian atas. Ada retsleting panjang keliling bagian depan sepatu. Satu lagi retsleting pendek berada di tengah. Yang pendek berfungsi sebagai pengganti tali.

Retsleting panjang memungkinkan bagian atas sepatu dibuka agar cepat kering setelah basah karena kehujanan atau kebanjiran. ”Semboyan sepatu ini memang dry fast,” kata I Gusti Ngurah Putra Adisthanaya, salah seorang pendesain sepatu tersebut.

Sebuah saku kecil diletakkan di badan sepatu. Tepat di sisi retsleting pendek. Fungsinya tidak penting, hanya sebagai aksesori menambah kesan lucu. ”Kalau ada yang mau menyimpan uang logam kecil, di situ juga bisa,” kelakar Destha, sapaan Adisthanaya.

Di bagian tumit luar sepatu terdapat lekukan menyerupai gelombang berwarna abu-abu. Terasa pas dengan warna cokelat. ”Warna itu (cokelat) netral bila dipadu dengan celana warna apa pun,” katanya.

Namun, sepatu tersebut belum ada di rak-rak toko. Sebab, sepatu itu hanyalah prototipe untuk lomba desain yang diselenggarakan Departemen Perindustrian Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka.

Bahkan, Destha bersama Lenny Ongko Widjojo dan Bellinda Prajwalita Wibowo hanya membuat satu sepatu, kiri saja, nomor 39. Ketika desain tersebut dinyatakan sebagai peringkat II, sepatu itu diambil panitia. Mereka bertiga mendapatkan trofi, piagam penghargaan, dan uang Rp 3,5 juta.

Tiga mahasiswa jurusan Desain Manajemen Produk itu berharap suatu saat desain sepatu tersebut bisa diperbanyak dan dijual secara luas. Dengan demikian, mereka akan mendapat royalti dari penjualan masal tersebut.

Menurut perhitungan mereka, biaya produksi sepasang sepatu bisa mencapai Rp 500 ribu. ”Harga yang cukup tinggi itu cocok dengan keunikan dan kenyamanan sepatu,” ujar Destha berpromosi.

Sebenarnya, dalam desain tersebut ada yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Semestinya bagian luar sepatu bermotif polos saja, bukan motif kulit jeruk. Sedangkan motif yang cenderung konvensional di bagian outsole diperindah dengan motif batik.

Namun, mereka sadar, bahan-bahan baku tersebut tidak bisa diproduksi sendiri. Mereka pun maklum, tak semua keinginan bisa terwujud. ”Kami cuma mendesain, tidak ikut menjahit,” kata Bellinda. Panitia menyediakan alat dan bahan untuk keperluan peserta lomba, juga menyediakan penjahit.

Peserta boleh memakai fasilitas itu atau tidak. Karena tiga mahasiswa tersebut tak punya banyak alat untuk membuat sepatu dan keahlian menjahit pun minim, mereka menggunakan fasilitas tersebut. Meski demikian, mereka mendampingi proses penjahitan yang dilakukan di Gedung IFSC (Indonesian Footware Service Centre), kompleks Pasar Wisata Kedensari, Tanggulangin.

Selain menyediakan bahan, panitia memberi uang Rp 200 ribu yang bisa dipakai membeli bahan dari luar. ”Kami membeli spons dan kulit imitasi untuk bahan buritan,” ungkap Lenny. Selain itu, mereka membeli retsleting di Kramat Gantung.

Mereka sebetulnya juga membeli bahan kulit untuk badan sepatu. Namun, setelah dibandingkan, bahan dari panitia lebih asli dan bagus, sehingga mereka memilih bahan yang disediakan panitia.

Setelah semua bahan lengkap, mereka membuat pola sepatu. Isolasi kertas dibelitkan di shoelast (cetakan sepatu). Isolasi itu kemudian digambar sesuai pola badan sepatu. Dari isolasi, pola dipindah ke kertas karton. Setelah yakin pola itu benar, baru pindah ke bahan kulit.

Retsleting dan saku kecil dipasang saat itu juga. Kesulitan mengukur dan memperkirakan letak retsleting sempat menjadi kendala. ”Kami sempat salah pola sekali, lumayan bingung juga,” ungkap Destha. Setelah jadi, badan sepatu tersebut disambung dengan bagian buritan yang sudah dijahit sesuai tekstur yang mereka inginkan, bergelombang tiga.

Setelah itu, insole (alas bagian dalam) dipasang. Bahannya dari karton kuat dan empuk karena bercampur spons. Lalu, outsole (alas bagian luar sepatu) dari bahan karet dilem, kemudian dijahit. Setelah sepatu jadi, barulah shoelast dilepas. Bahan insole dan outsole didapatkan dari panitia.

Lomba tersebut tidak hanya diikuti kalangan mahasiswa. Tapi, juga terbuka untuk umum, termasuk dari sebuah perusahaan sepatu yang sudah dikenal.

Para juri yang terdiri atas desainer sepatu, IFSC, dan panitia memutuskan, juara kategori utama (casual) adalah Danang Riyadi (Carvil), Bellinda Team (Ubaya) di peringkat kedua, dan peringkat ketiga Aria Sungsang (ITS). Selain kategori utama, ada kategori pendukung. Terdiri atas, sepatu sport dan sandal.

Bellinda mengungkapkan, sebetulnya keikutsertaan mereka dalam lomba itu hanya ingin mencari pengalaman. Ternyata, hasilnya memuaskan. Tiga mahasiswa tersebut tidak tahu apakah predikat runner-up itu akan berpengaruh pada nilai akademik atau tidak. ”(Bisa menang) rasanya seperti mimpi,” ungkap Bellinda lantas tersenyum.

Padahal, ketika 1 Desember lalu panitia mengumumkan pemenang melalui website, mereka tidak mengecek. ”Sebab, kami tidak yakin menang,” katanya. Mereka iseng membuka situs tersebut sehari kemudian. Ternyata, mereka berhasil menduduki posisi kedua. Mereka hanya dikalahkan oleh peserta dari sebuah perusahaan sepatu nasional.

Mereka ikut dalam lomba itu setelah mendapat kabar dari salah seorang dosen awal Oktober lalu. Para mahasiswa semester satu itu pun mulai berancang-ancang membuat desain. Terinspirasi musim hujan dan banjir yang menlanda metropolis, mereka memutuskan membuat sepatu antiair dan cepat kering.

Karena itu, mereka memilih bahan kulit dan bisa dibongkar-pasang. Dengan demikian, bagian dalam sepatu bisa dibersihkan dengan leluasa agar aroma bau tak sedap dari dalam bisa diminimalkan.

Pada 25 Oktober, mereka mengirimkan proposal kepada panitia lomba. Pada 5 November, diumumkanlah 15 peserta terbaik dari sekitar 150 pengumpul proposal. Sehari kemudian diadakan technical meeting, setelah itu mereka mulai membuat sepatu. (*/cfu)

Sumber: Jawa Pos, 18-12-2009