Ubaya Gelar Seminar Pemindahan Narapidana dalam Kajian Hukum Internasional laurentiusivan March 10, 2025

Ubaya Gelar Seminar Pemindahan Narapidana dalam Kajian Hukum Internasional

Surabaya (beritajatim.com) – Fakultas Hukum (FH) Universitas Surabaya (Ubaya) menggelar seminar hukum tentang Pemindahan Narapidana Dalam Kajian Hukum Internasional. Ada empat pembicara yang dihadirkan dalam seminar ini. Terdiri dari Prof Dr Yusril Ihza Mahendra SH, MSc Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Republik Indonesia, Prof Hikmahanto Juwana SH LLM PhD, Prof Dr JM Atik Krustiyati SH MS Guru Besar Hukum Internasional FH Ubaya dan Dr Wisnu Aryo Dewanto SH LLM.

Dr. Hwian Christianto Dekan Fakultas Hukum Ubaya mengatakan, acara ini dibuat sesuai dengan citra Ubaya bahwa fakultas hukum (FH) Ubaya itu lahir dari masyarakat dan hukum itu harus memberikan solusi bagi masyarakat.

“Artinya kita tidak boleh apatis atau tinggal diam ketika terjadi isu hangat dan butuh pemahaman hukum secara komperhensif. Tadi ada ketakutan, dari teori ke praktek berbeda, ini kan suatu hal yang wajar, harusnya itu kan tidak boleh dengan apa yang harus dipahami secara hukum harus sinergi dengan apa yang ada di praktek. Diskresi Presiden yang cepat dan kurang maka akan menimbulkan akibat yang berbeda,” ujarnya, Jumat (7/3/2025).

Pemilihan materi tentang pemindahan Narapidana Dalam Kajian Hukum Internasional ini kata Dr Hwan Christanto karena akhir-akhir ini mulai banyak Diskresi dilakukan Presiden.

“Hukum Internasional harus ada regulasi yang jelas, jadi kita mensuport pemerintah untuk segera melakukan regulasi itu jangan sampai diskresi. Kalau diskresi terus kan tidak bagus, harusnya kondisi khusus tertentu baru diskresi,” ujarnya.

Sementara Prof Yusril Ihza Mahendra menjelaskan, saat ini Indonesia mengalami kevakuman hukum sebab belum ada peraturan tegas yang mengatur tentang pemindahan dan pertukaran narapidana di Indonesia.

“Termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga belum merumuskan konvensi tegas tentang hal ini. Hingga saat ini, kami mempertimbangkan banyak aspek, termasuk kajian hukum internasional, peraturan riset negara, hukum tata negara, hingga administrasi negara. Kita harus ingat timbal balik, misalnya dengan Malaysia. Ingat, ada 5.000 warga negara Indonesia ada di Malaysia dan ada 80 orang sudah dihukum mati di Malaysia,” jelasnya.

Prof. Yusril menambahkan, pembinaan narapidana menyangkut lintas kementerian dan lembaga telah menjadi tugas pemerintah, bukan tugas pengadilan. Maka, ia merumuskan tiga kesepakatan dengan negara lain. Pertama, negara lain harus mengakui kedaulatan Republik Indonesia untuk mengadili warga negara asing (WNA) yang melakukan kejahatan di negara ini.

Kedua, negara lain harus menghormati apapun putusan pengadilan Indonesia tanpa pernah mempersoalkannya.

Ketiga, jika pemerintah Indonesia harus memindahkan narapidana ke negara yang bersangkutan, narapidana harus menjalani sisa hukuman di sana. “Kita sepakati untuk tidak disebut sebagai perjanjian, tetapi peraturan praktis atau Practical Arrangement. Saya sudah tandatangani dengan Menteri Kehakiman Filipina, Menteri Dalam Negeri Australia, dan Perancis. Intinya, kita tunjukkan iktikad baik,” ujarnya.

Ketiga narasumber itu juga membahas isu konkret seperti kasus Mary Jane, warga negara Filipina yang berhasil mencapai kesepakatan untuk dipulangkan atau Transfer of Prisoner (TSP)ke Filipina, serta tahanan kasus Bali Nine yang dipulangkan ke Australia.

Prof Yusril misalnya, dia menyebut bahwa sampai saat ini Presiden Filiphina sampai saat ini belum memberikan putusan mengenai status terpidana mati kasus penyelundupan narkoba Mary Jane Veloso yang dipindahkan dari Indonesia.

Yusril menjelaskan hal tersebut sesuai dengan kebijakan pemerintah Filipina yang mewajibkan narapidana yang dipulangkan terlebih dahulu ditempatkan di penjara selama 60 hari.

“Setelah itu, barulah 60 hari kemudian Presiden Filipina dapat mengambil keputusan,” kata Yusril melalui Zoom.

Sebagaimana diketahui, pemerintah Filipina tak lagi mengakui hukuman mati di negaranya sehingga terdapat kemungkinan besar bahwa status pidana Mary Jane akan diubah oleh Presiden Filipina setelah dipindahkan dari Indonesia, salah satunya menjadi seumur hidup.

Menko Kumham Imipas menuturkan bahwa pemerintah Indonesia terus diberi tahu mengenai perkembangan kondisi terbaru Mary Jane hingga saat ini oleh pemerintah Filipina.

Pada saat ini Mary Jane ditempatkan di Penjara Mandaluyong, Manila, Filipina.

Mary Jane Veloso merupakan terpidana mati kasus penyelundupan 2,6 kilogram heroin yang ditangkap di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, pada bulan April 2010.

Ia divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Sleman pada bulan Oktober 2010. Mary Jane dipulangkan dari Indonesia ke Filipina pada pertengahan Januari 2025.

Hal senada juga diungkapkan oleh Prof Hikmahanto Juwana yang menegaskan bahwa pentingnya aturan tentang Transfer Of Sentenced Person (TSP) untuk segera disahkan.

“Urgensinya sudah ada, sudah ada RUU, sudah ada naskah akademik. Tinggal pembahasan pemerintah dengan DPR. Tapi masih belum masuk dalam prioritas. Sekarang sudah ada Praktical Arrangement karena ini sangat penting, jangan sampai diskresi menjadi suka-suka Presiden meskipun Presiden memiliki kewenangan akan tapi jangan sampai kewenangan tersebut luas penggunaannya,” tutupnya. [uci/but]

Sumber: Beritajatim.com