Penjelasan Dosen Psikologi Ubaya Kasus Kekerasan dalam Berpacaran yang Berulang laurentiusivan June 18, 2024

Penjelasan Dosen Psikologi Ubaya Kasus Kekerasan dalam Berpacaran yang Berulang

SURYA.co.id | SURABAYA – Kasus kekerasan dalam berpacaran (dating violence) akhir-akhir ini menimbulkan perhatian masyarakat. Pasalnya banyak pasangan yang terjebak dalam hubungan ini padahal kekerasan dalam hubungan tersebut merupakan siklus berulang.

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Surabaya (Ubaya), Dr Soerjantini Rahaju, Psikolog, menjelaskan tanda awal seseorang melakukan dating violence lebih bersifat subjektif.

Biasanya dapat dilihat dari caranya mengelola emosi.“Kalau dalam relasi seseorang sudah berlaku kasar, maka pasangannya harus berpikir bahwa itu merupakan bibit dari kekerasan. Perlakuan yang bisa diperhatikan seperti pasangan sudah bertindak semena-mena, jika marah sering lepas kendali, tidak menghargai, sering mengekang, dan menjadikan pasangannya samsak peluapan emosi. Hal-hal ini perlu diwaspadai,” jelasnya.

Dosen Psikologi Klinis itupun menyebut faktor seseorang betah menjalani dating violence adalah adanya pengalaman kekerasan di masa lalu.

Kebanyakan, pelaku sering terpapar adegan kekerasan di rumah dan menganggap kekerasan adalah cara untuk menyelesaikan masalah.

Ditambah, pelaku juga menghayati adanya ketidaksetaraan gender.

Sedangkan, alasan korban tetap mempertahankan hubungan adalah karena adanya kebutuhan yang berlebihan terhadap kasih sayang.

“Di masa lalu, korban bisa jadi mengalami kekerasan emosional berupa pengabaian dan tidak diperhatikan. Sehingga, dia butuh sosok yang bisa memenuhi itu, yaitu pasangannya,” ujar Soerjantini.

Ia menambahkan, tindak kekerasan dalam dating violence mengikuti siklus yang berputar dan berkelanjutan.

Setelah pelaku melakukan kekerasan, biasanya akan memperlakukan pasangannya dengan sangat baik.

Hal ini yang disebut dengan fase honeymoon. Tindakan ini membuat korban memiliki optimisme bahwa sang pasangan masih bisa berubah.

Inilah yang membuat mengapa banyak pasangan tidak melaporkan adanya kekerasan, sehingga fenomenanya seperti gunung es.

Pasangan yang menjalani dating violence dalam waktu yang lama akan berdampak pada kondisi psikologis.

“Seseorang akan kehilangan self esteem atau penilaian terhadap diri sendiri, tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan sosial, merasa rendah diri dan cenderung menyendiri bersama pasangannya. Bahkan pada tahap ekstrem bisa depresi dan bunuh diri,” imbuh Soerjantini.

Selain itu, seseorang yang mengalami kekerasan fisik saat berpacaran dapat menimbulkan luka fisik bahkan cacat.

Untuk itu, Soerjantini menghimbau masyarakat dapat memberikan psikoedukasi apabila melihat ada kerabat yang mengalami dating violence.

“Bagi yang sedang mengalami, solusi yang dapat dilakukan adalah mengakhiri hubungan tersebut selagi belum lanjut ke pernikahan. Dalam proses tersebut, dapat memperluas diri untuk mempunyai support system yang dapat membantu,” pungkasnya.

Sumber : surabaya.tribunnews.com