Hati-Hati Lacak Trauma Psikologis Korban laurentiusivan February 1, 2024

Hati-Hati Lacak Trauma Psikologis Korban

Kekerasan seksual (KS) kembali menjadi pembicaraan hangat warga metropolis akhir-akhir ini. Saat kasus mencuat, fokus masyarakat adalah pendampingan terhadap korban. Apalagi jika korbannya adalah anak-anak.

“Kondisi trauma anak korban KS itu bergantung usia anak, jenis kelamin, dan bentuk KS-nya,” ungkap Dosen Psikologi Universitas Airlangga (Unair) Dewi Retno Suminar kemarin (31/1).

Pada fase awal, anak-anak korban KS tidak dapat langsung dimintai keterangan tentang peristiwa yang mereka alami. Anak-anak, menurut Dewi, sebaiknya ditenangkan dulu. Caranya adalah mengajak mereka melakukan aktivitas yang menyenangkan. “Seperti menggambar, bermain, dan mengarang,” ujar dosen ahli psikologi perkembangan tersebut.

Kondisi psikologis setiap anak korban KS berbeda-beda. Namun, ada ciri khusus yang bisa dikenali. Biasanya, anak-anak akan menarik diri dari pergaulan. “Juga perubahan perilaku. Misalnya, dari ceria jadi pendiam,” papar Dewi. Perubahan-perubahan kecil itu, jika tidak terawasi dengan baik, akan mengakibatkan kerusakan psikologis lebih dalam.

Terpisah, Dosen Psikologi Universitas Surabaya (Ubaya) Endah Triwijati menyatakan bahwa bisa jadi anak-anak yang menjadi korban KS tidak sadar. Mereka tidak tahu bahwa mereka adalah korban. Sebab, anak-anak, terutama yang masih belia, belum memiliki pemahaman yang baik tentang KS. “Kebanyakan anak-anak kebingungan tentang apa yang telah mereka alami,” terang perempuan yang akrab dipanggil Tiwi tersebut.

Pendampingan psikologis yang diberikan juga harus sesuai dengan kebutuhan korban. Untuk bisa memberikan pendampingan yang tepat, pendamping harus mempertimbangkan siapa pelaku, seberapa dekat pelaku dengan korban, serta separah apa KS yang dialami. “Yang pasti, anak-anak harus dipisahkan dulu dari pelaku,” tegasnya.

Jika trauma yang dialami korban mengganggu aktivitas sehari-hari, pendamping harus mempertimbangkan penanganan. “Harus ada pendampingan dari psikiatri juga,” kata anggota tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Ubaya tersebut.

Selain berfokus kepada anak-anak korban KS, Tiwi menuturkan bahwa perlu ada pendampingan bagi pelaku. Khusus jika pelakunya juga anak-anak. “Sebab, bisa jadi mereka melakukan itu karena dulu pernah menjadi korban,” ungkapnya.

Tiwi menjelaskan, fase anak-anak adalah fase saat mereka cepat menyerap hal-hal unik dari lingkungan mereka. Lebih lanjut, perlu ditelusuri penyebab kelakuan menyimpang tersebut. Misalnya, akibat kebiasaan menonton film porno atau karena terpapar pergaulan negatif.

Setelah penyebabnya dikenali, anak-anak pelaku KS juga harus menjalani pendampingan psikologis klinis. “Di samping itu, dibutuhkan rehabilitasi cara berpikir untuk memulihkan psikologis anak tersebut,” tutur Tiwi. (leh/c14/hep)

Sumber : Jawa Pos